Seventeenth Cage
Seperti biasa, hari ini Honoka berangkat bersama tetangga sekaligus teman masa kecilnya. Ia tampil dengan cara biasa dengan rambut yang dibiarkan bebas tanpa penjepit. Gadis itu tidak peduli walaupun harus dikatakan kurang feminin. "Tidak ada satu pun yang boleh mengatur," itulah prinsip yang dia pegang.
Akan tetapi, alasan sebenarnya adalah karena dia masih kecewa dengan Kaito yang menolak dengan cara tidak masuk akal, yaitu menganggap jika semua itu hanya lelucon. Ia benar-benar tidak terima dengan perlakuan itu, walaupun kemarin mereka sempat berbicara sebentar sebelum pulang sekolah.
Honoka mendengus sebal setiap kali terbayang wajah laki-laki itu. Menurutnya, jika Kaito memang tidak suka, maka dia tidak perlu memoles penampilan agar terlihat seperti perempuan pada umumnya. Toh juga sekarang dia tahu jika pemuda itu memiliki selera yang sangat aneh.
"Kau ini kenapa, Honoka?" tanya Seira yang menyadari kerutan tidak senang di wajah bundar teman kecilnya itu. Yang ditanyai seketika tersentak lalu memasang senyum paksaan. Gadis berambut sepunggung itu mengerutkan dahi. "Kau ini aneh. Kemarin senyum-senyum sendiri. Sekarang malah cemberut."
"Etto ... bu-bukan apa-apa. Pasti hanya perasaanmu saja. Iya kan?" Honoka melambaikan kedua tangan sambil menyeringai. Akan tetapi, keringat dingin di wajahnya sudah cukup untuk memberikan sinyal akan adanya kebohongan. Hal itulah yang justru membuat Seira semakin memandangnya curiga.
"Pasti ada masalah dengan laki-laki itu, kan?" tanya Seira penuh selidik. Sukses membuat teman sekelasnya itu hanya bisa meneguk ludah. Melihat satu keberhasilannya, gadis itu semakin menajamkan sorot mata. Dengan begitu, ia sangat yakin Honoka akan mengaku.
"Kau ini .... Laki-laki yang mana? Mana mungkin. Aku kan tidak suka membuat masalah dengan laki-laki," jawab gadis bermanik coklat muda itu sambil berusaha menghindari tatapan tetangganya -- yang lama-kelamaan seperti ujung pisau yang baru selesai diasah -- kemudian tertawa kecil.
Honoka tidak tahan diperlakukan seperti itu. Di satu sisi, dia malas membahas Kaito yang hanya akan membuatnya merasa kesal. Sedangkan di sisi lain, ia masih belum bisa melupakan 'rasa' yang tersimpan indah dalam hati. Dia benar-benar tidak tahu harus bagaimana ketika berhadapan dengan laki-laki aneh itu.
"Oh ya, sebaiknya jelaskan padaku. Kenapa kau sampai tidak masuk kemarin?" tanya gadis itu mengalihkan pembicaraan. Seira tidak bisa melanjutkan aksi 'menginterogasi' teman sekelasnya. Karena memang seharusnya ia menjelaskan apa yang membuatnya sampai memilih untuk tidak masuk.
"Itu .... Aku tidak tahu bagaimana harus menjelaskannya," ujarnya tanpa intonasi berarti. Memang sekilas gaya bicaranya terdengar mirip dengan Honoka sebelumnya. Namun, perempuan dengan pembawaan tenang seperti dia tentu jawabannya lebih terdengar dingin.
Honoka terdiam. Keinginan untuk mengetahui alasan temannya sampai tidak masuk sekolah seketika lenyap. Ia merasa tidak enak setelah memerhatikan raut wajah Seira yang tampak sendu. Sedikit penyesalan ikut membuat rahang bawahnya terkatup rapat dalam waktu yang cukup lama.
Dia tahu jika Seira sudah melewati banyak hal kurang menyenangkan dalam hidup yang membuatnya kadang-kadang terkesan dingin. Ia sudah kehilangan kedua orang tua pada saat usianya masih belia. Bahkan sempat menyebabkan gadis itu kehilangan harapan dan hampir mengakhiri hidup.
Akan tetapi, jelas itu semua hanya sebagian kecil dibandingkan seluruh peristiwa pahit yang pernah dialami. Itulah yang tidak diketahui Honoka. Mereka sudah berteman sejak kecil -- sejak Seira dan keluarganya pindah ke Tokyo. Namun, ia sama sekali tidak pernah mengetahui peristiwa lain.
Penyebabnya sudah pasti karena sejak kecil, Seira memang sudah menjadi seseorang yang pendiam. Ia enggan menceritakan sesuatu tentang peristiwa sebelum kepindahan. Sebaliknya, Honoka-lah yang lebih banyak bicara, lebih banyak bercerita tentang keluarganya.
Itu juga yang terkadang membuatnya merasa malu. Mereka sudah lama bersahabat. Akan tetapi, sekalipun ia tidak pernah menanyakan apa yang dirasakan Seira selama tinggal seorang diri di rumah itu. Gadis itu juga merasa malu jika melihat keadaan keluarga mereka yang jauh berbeda. Seira dengan tegar melalui semua perasaan kehilangan itu sendirian. Berbeda dengannya yang tak pernah bisa jauh dari orang tua.
Sahabat macam apa aku ini, pikir Honoka.
------x---x------
Honoka berjalan santai ke dalam kelas. Lagi-lagi, entah apa yang membuat Seira lebih memilih untuk meninggalkan tetangganya itu di loker sepatu padahal mereka satu kelas. Gadis berambut pendek itu memang tidak pernah mempermasalahkan selama dia memberitahu terlebih dahulu dan tidak menghilang begitu saja seperti hantu.
Perasaan gugupnya sedikit berkurang karena kelas 2-2 yang tidak hanya berisi lelaki menyebalkan yang ingin dia lempari dengan kursi. Ia merasa lega karena tidak perlu berduaan dengan Kaito yang selalu mengajak Honoka melakukan pemanasan dengan berdebat setiap pagi.
Ia berjalan mendekat lalu meletakkan tas di bangku miliknya. Akan tetapi, mata Honoka menemukan sesuatu yang aneh di belakang tempat duduk itu. Di mengamatinya lebih dekat. Hingga pada akhirnya tatapan tajam penuh kecurigaan itu kembali tertuju padanya.
Anehnya, kali ini Kaito tidak langsung meladeni aksi musuh bebuyutan yang secara tidak langsung keberadaannya membuat ia harus menanggung malu di depan Keiko. Ia hanya terdiam lalu kembali melihat sebuah foto lama di tangannya. Ia memandangi benda itu cukup lama sebelum sebuah senyuman yang entah apa penyebabnya tercetak.
"Selamat pagi, Kaito." Honoka yang lama-kelamaan semakin dibuat penasaran mencoba untuk menyapa, tetapi respons lelaki itu sangat jauh dari ekspektasi. Ia hanya menyahut dengan sebuah gumaman tak berarti. "Apa itu? Boleh aku lihat?" pinta gadis itu. Kaito tidak merespons.
Honoka mendengus sebal. Akan tetapi, keinginannya untuk melihat foto itu sama sekali belum padam. Justru bertambah besar dikarenakan keseriusan Kaito memandang benda itu hingga mengabaikan sekeliling. Dalam hati ia terus bertanya-tanya, Sepenting apa sebenarnya foto itu?
"Nee, Kaito. Boleh aku lihat juga?" tanya Honoka lagi sembari berusaha mengintip. Kaito sama sekali tidak melakukan usaha apa pun untuk melindungi benda di tangnnya. Itulah yang menyebabkan gadis itu bisa dengan mudah melihatnya. Rasa penasaran memang terobati, tetapi malah digantikan oleh sesuatu yang lebih sakit.
Gadis itu menunduk dalam-dalam. Mengepalkan kedua tangan. Tak ingin disebut lemah hanya karena membiarkan air yang tertampung di pelupuk matanya meluncur karena sebuah sensasi mirip tusukan tajam. Sensasi yang tak mungkin dia rasakan jika orang dalam foto itu bukan wajah Kaito ketika kecil yang tampak begitu akrab dengan seorang gadis yang jelas lebih cantik dari Honoka.
"Kaito, sepenting apa gadis itu bagimu?" tanya gadis itu lirih. Hanya untuk mendapatkan sebuah harapan kecil dan semu. Meskipun dia sudah bisa menebak jawabannya. Jika seseorang sampai menyimpan foto, kemudian selalu tersenyum ketika memandanginya, sudah jelas dia sangat berharga.
"Beritahu aku, Kaito. Siapa itu? Sepenting apa dia sampai kau menyimpan fotonya ketika masih kecil ... sampai sekarang?" Kaito akhirnya menoleh setelah sadar akan pertanyaan teman sekelasnya yang semakin aneh. "Tolong beritahu aku. Apa kau menyukainya?" tanya Honoka lagi.
Kaito yang sama sekali tidak mengerti dengan arah pembicaraan ini menjawab dengan begitu santai. "Tentu saja, dia sangat berharga bagiku. Kau tanya apa aku menyukainya? Itu sudah pasti. Dia sudah mengajariku banyak hal. Walaupun dia harus menanggung semua rasa sakit sejak kecil."
Kaito memandang gadis berambut bob di sampingnya heran. "Lagi pula, kenapa kau harus peduli siapa saja yang berharga bagiku?" Honoka menelan ludah. Benar-benar menyesal karena terlalu penasaran akan hal itu. Jika dia tidak pernah bertanya, semua pasti akan jauh lebih baik jika dia tidak tahu. Semua rasa sakit itu tidak perlu ada.
Tanpa berkata lebih banyak, Honoka segera berbalik meninggalkannya. Dia tidak ingin seluruh penghuni kelas membicarakan mereka lebih jauh. Semua itu sudah cukup. Ia tidak tahan lagi. Hingga tanpa sadar air matanya mulai mengalir. Semua perasaan itu lebih baik lenyap daripada menyiksa diri seperti sekarang.
Sementara itu di dalam kelas, Kaito hanya bisa kebingungan melihat reaksi Honoka yang sama persis seperti kemarin. Dia tidak mengerti. Ia hanya mengatakan apa yang sebenarnya dirasakan, tanpa dibuat-buat. Mengapa gadis itu malah lari setelah mendapat jawaban yang membuatnya penasaran.
"Hei, kau apakan dia?" tanya Ichiro yang tiba-tiba datang sembari menggebrak meja. Kaito menoleh dengan sorot mata yang bisa menggantikan sejuta pertanyaan. "Honoka. Aku melihatnya menangis di koridor," lanjut lelaki itu seolah bisa membaca pikiran teman sekelasnya yang sedang dalam mode pemalas itu.
"Kenapa selalu aku yang kau salahkan?" Kaito bertanya balik. Ichiro tertegun kemudian tertawa kecil seraya menepuk pundak laki-laki di hadapannya.
"Kau benar juga. Ada ratusan laki-laki di sekolah ini. Kenapa hanya kau yang aku salahkan?" pemuda itu bertanya pada diri sendiri. Matanya segera menangkap sebuah benda yang tanpa sengaja terlihat jelas di tangan Kaito. "Oh ya. Tentang itu ... bisa kau jelaskan siapa gadis yang berfoto denganmu?"
"Dia itu Kira, sepupuku. Ada apa? Dia cantik kan? Aku bisa sampaikan salam padanya kalau kau suka." Dengan bangga lelaki itu menunjuk gambar seorang anak perempuan yang berdiri di sebelah kanan foto.
"Ooh, pantas saja," gumam Ichiro. Kaito kembali mengernyit. "Tidak ada," lanjutnya cepat.
Laki-laki dengan nama belakang Ishida itu mengedikkan bahu. Kembali memandangi foto itu. Hingga sebuah getaran di handphone membuatnya tersadar. Tanpa pikir panjang, ia segera membukanya. Ternyata itu adalah pesan dari seseorang yang ia coba hubungi berkali-kali tadi malam.
"Temui aku nanti. Aku tunggu di Akai Michi."
*
Nggak tau mau geregetan sama yang mana. Cowoknya yang nggak peka atau ceweknya yang cemburuan 😂.
Dan .... Oh ya. Ichiro, mendingan kamu jangan pernah tertarik sama Kira, ya. Auto mati soalnya 😅
Oke, jangan lupa tinggalkan jejak.
See you soon.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top