Ninth Cage
"Menurutmu, apa dia juga menyukaiku?" ia bergumam.
"Kaito?" Gadis berambut bob tersentak kaget ketika mendengar sahutan dari sahabatnya. Ia benar-benar tak menyangka jika Seira bisa mendengar. Padahal dia sudah berusaha untuk mengucapkannya selirih mungkin. Namun, entah karena telinga Seira yang terlalu peka atau Honoka yang terlalu ceroboh, rahasianya terbongkar dengan cara konyol.
"Te-tentu saja bukan! Untuk apa aku mengejar laki-laki kekanakan dan menyebalkan seperti dia?! Kau pikir tidak ada laki-laki lain di dunia ini?" elak Honoka, mencoba menyembunyikan pipinya yang kembali memerah seperti tomat segar. Akan tetapi, tentu saja temannya tidak akan semudah itu percaya pada kebohongan kecil itu.
"Honoka, kau berkata tidak suka. Tapi wajahmu berkata lain," ujar Seira. Kedua mata Honoka melebar. Dengan segera ia menangkupkan kedua pipinya. "Lagipula, aku sudah tahu sejak lama. Tenang saja. Keluarga kalian sangat dekat kan? tidak menutup kemungkinan kalian akan dijodohkan nantinya," lanjut gadis itu.
Darah Honoka seakan mendidih. Dijodohkan ... dengan Kaito yang selalu mengajaknya bertengkar di kelas? Itu bisa jadi merupakan mimpi paling buruk yang pernah ada. Ia tak bisa membayangkan bagaimana nasib hubungan mereka ke depan jika sehari tanpa perdebatan saja tidak pernah ada.
Di samping itu, Honoka seakan merasa hatinya berbunga-bunga. Jika benar ia akan dijodohkan, maka ia tidak perlu susah-susah memberikan surat itu pada Kaito. Tinggal menunggu waktu yang tepat untuk melakukan semuanya. Maka ia akan mendapatkan apa yang dia inginkan tanpa bersusah payah.
Namun, jaminan bagi pemuda itu untuk menerima keputusan kedua pihak keluarga -- yaitu perjodohan -- hampir tidak ada. Seperti dalam film drama, banyak lelaki yang rela ditendang keluar dari keluarga hanya untuk menikahi wanita lain yang mereka cintai. Itulah yang sangat dikhawatirkan Honoka.
Seira menepuk bahu sahabatnya yang melamun. "Tidak usah khawatir. Aku akan mendukung kalian," ucapnya sembari mengacungkan ibu jari. Honoka terdiam. Bimbang antara harus senang atau sebaliknya.
Honoka tiba-tiba merasa perasaan kagumnya yang begitu sederhana telah mengalami metamorfosis menjadi sesuatu yang sangat rumit. Ia tak mengerti mengapa rasa senang dan khawatir bergabung menjadi satu hingga sulit sekali dijelaskan. Dia bisa marah sekaligus tersenyum dalam waktu bersamaan. Baginya, itu benar-benar aneh.
------x---x------
SMA Shirotsuki, kelas 2-2.
Honoka hanya diam menopang dagu sembari memandangi jendela kaca. Seira langsung pergi bersama anggota klub sastra yang lain begitu sampai di kelas. Meninggalkan teman kecilnya dengan sejuta tanda tanya. Salah satunya, mengapa hanya dia sendiri yang tersisa di kelas?
Gadis berambut bob itu menghela napas panjang. Ke mana sebenarnya Kaito yang biasanya tetap bergeming selama berjam-jam seperti mobil yang kehabisan bahan bakar itu? Mengapa setelah ia berusaha keras menata penampilan, yang diharapkan justru menghilang tanpa jejak seperti hantu.
Honoka melirik amplop biru yang diembunyikan di bawah lengan. Ia khawatir pada jawaban pemuda itu jika benar-benar menerimanya. Masalahnya, sejak dia mengenalnya, hampir tidak pernah sama sekali lelaki itu terlihat tertarik pada perempuan manapun. Apakah dia melakukan itu ... karena ia juga menyukaiku? batin gadis itu.
Dia kembali menggeleng kuat-kuat seperti yang dilakukannya semalam demi mengusir khayalan yang semakin tidak karuan. Ia benar-benar tidak tahan dengan perasaan yang disimpannya. Namun, rasa khawatir akan penolakan tak pernah sudi beranjak dari lubuk hati terdalamnya.
"Kau ini kenapa?" tanya suara yang tiba-tiba terdengar di telinga Honoka. Dengan segera gadis itu mengangkat kepala. Hingga kedua matanya bertemu dengan itu .... Iris berwarna kemerahan seperti daun maple.
"Kyaaa ...!!" Spontan, teriakan lantang meluncur dari pita suara gadis itu. Tanpa pikir panjang, Kaito menutup kedua telinga dengan telapak tangan yang awalnya bersembunyi dalam saku celana. Dia mengernyit karena suara yang sudah cukup untuk menerbangkan semua burung yang hinggap di atap seluruh bangunan di Jepang itu.
"Dasar aneh," olok lelaki itu ketika jeritan Honoka mereda. Dengan santai ia berlalu menuju bangkunya yang terletak tepat di belakang. Ia mendengus sebal. Seakan teriakan Keiko yang tak sengaja terluka ketika memotong ikan di pagi buta belum cukup membuat telinganya sakit.
Honoka mematung. Ia sangat menyesal karena mempermalukan diri sendiri hanya karena hal bodoh. Sekarang ia tidak tahu harus melakukan apa. Menyerahkan surat itu secara tiba-tiba jelas bukan pilihan bagus. Itu bisa membuat Kaito semakin curiga dengan hal aneh pada gadis itu.
"Nee, Kaito." Gadis itu berbalik badan agar bisa berhadapan langsung dengan lelaki yang disukainya itu.
"Hm?" sahut Kaito tanpa menoleh sedikit pun. Membuat gadis itu semakin merasa gugup untuk bicara. "Apa?" tanyanya. Honoka tersentak. Jika sudah seperti ini, mau tidak mau dia harus segera bicara.
"A-ano ... aku hanya ingin bertanya sedikit." Kaito melirik musuh bebuyutannya yang masih saja menunduk menatap lantai kelas. "Aku hanya ingin tanya, makanan favoritmu apa?" Alih-alih segera melakukannya to the point, ia malah mencoba berbasa-basi di suasana canggung seperti itu.
"Kenapa kau bertanya?" Kaito bertanya balik. Gadis itu kembali tersentak. Ia menggigit ujung bibir bawah. Kini ia menyesal karena melakukan hal bodoh itu. "Apa yang kau rencanakan?" tanya Kaito lagi seraya mengalihkan pandangan ke arah jendela.
Honoka semakin merasa terpojok, tak tahu harus berkata apa. Ia sadar jika tak akan ada gunanya menyembunyikan apa pun pada lelaki itu. Cepat atau lambat, ia akan segera tahu. Dan barangkali itu termasuk soal perasaannya. Seharusnya gadis itu bisa mengerti setelah melihat pertunjukan analisis di kasus pembunuhan di kolam renang secara langsung.
"Apa maksudmu itu ...."
"Ya, tepat sekali. Aku ingin memastikan, apa kau tidak ada rencana untuk membunuh ... dengan meracuniku?" potong lelaki itu. Honoka terpegun. Ternyata semuanya berbeda dari dugaannya. Kaito memang cukup teliti dalam banyak hal, kecuali satu hal. Karena, dia malah berpikir tentang rencana kejahatan, alih-alih mengetahui jika gadis itu tengah berusaha mengungkapkan perasaan.
"Aku sedang berusaha berbuat baik. Tapi kenapa kau selalu menganggapku seperti itu, Baka-ito!" pekiknya seraya menggebrak meja. Kaito terpegun melihat aksi gadis itu. Akan tetapi, ia tak bisa melakukan apa-apa selain memandangi punggung Honoka yang berlalu dengan mata berkaca-kaca.
Lelaki itu menghela napas panjang. Meletakkan kepala di atas meja dengan kedua lengan yang terlipat sebagai bantal. Memangnya apa salahku? pikirnya.
------x---x------
Sesuai rencana mereka paginya, Seira memilih untuk pulang sendirian. Berhubung hari ini klub sastra tidak ada kegiatan, ia sudah menyiapkan rencana untuk berjalan-jalan keluar rumah. Mencari novel shoujo yang dibaca Honoka kemarin hingga merasa terbawa oleh konflik yang mirip seperti yang tengah ia alami.
Seira segera membuka pintu rumah yang sangat sepi. Hanya ia sendiri di rumah itu. Kedua orang tuanya telah pergi beberapa tahun lalu. Namun itu tak meruntuhkan semangat gadis itu dalam meraih cita-citanya di kota ini. Tentu saja ia tidak lupa pada kakek dan neneknya yang masih menunggunya di Osaka.
Gadis itu segera meletakkan tas ransel kemudian berganti pakaian. Saat ia hendak turun dari kamar, kedua matanya tertuju pada sebuah foto lama dengan seluruh keluarga besarnya. Seira mengelus wajah seorang anak perempuan yang sedikit lebih tua sambil tersenyum. Meskipun hatinya seperti teriris mengingat kenangan bersamanya.
"Kagome nee-san ...," lirihnya. Seira menghela napas lalu perlahan menjauhi foto itu. "Akan kulakukan apa pun untukmu," lanjutnya seolah anak perempuan dalam foto itu bisa mendengar suaranya.
*
Okey, jangan lupa vote dan comment ya 😊.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top