Nineteenth Cage
Mereka berdua saling membuang muka selama hampir setengah menit, hingga tidak memerhatikan sekeliling. Sejak dulu, mereka memang tidak pernah peduli pada tatapan aneh dari siswa lain. Akan tetapi, ketidakpedulian mereka sepertinya sudah berlebihan sampai-sampai tidak bisa mendengar suara langkah yang mengendap-endap ke arah sana.
"Oi! Ternyata kalian masih di sini, ya?" Kaito dan Honoka tersentak kaget dengan lengan yang tiba-tiba merangkul bahu mereka dari belakang. Refleks keduanya segera menoleh kemudian berdecak kesal melihat seringai tanpa dosa dari orang yang baru saja membuat mereka hampir terkena serangan jantung.
"Ichiro, sudah kuduga. Ternyata memang kaulah pelakunya," ujar Kaito sambil memindahkan lengan temannya yang sepertinya memang sedang ingin menjahili mereka.
"Apa yang kau lakukan di sini? Bukannya kau sedang latihan kendo?" Honoka berusaha melepaskan diri. Namun, gagal karena tenaganya tidak sebanding dengan kekuatan otot lengan Ichiro yang sudah terlatih.
"Pertanyaan bagus, Honoka-chan. Sebenarnya aku memang harus latihan. Tetapi setelah mendengar rencana Kaito untuk menemui seorang saksi penting, aku terpaksa membatalkan latihan itu," jelasnya sambil membebaskan Honoka yang sudah tampak lelah. "Lagi pula, tanpa latihan pun aku memang sudah hebat," lajutnya.
Kaito dan Honoka serempak memasang ekspresi datar sambil memandang teman sekelasnya yang mulai menjadi besar kepala itu. Ichiro tidak peduli dan tetap tersenyum bangga seolah baru saja berhasil mengalahkan satu pasukan seorang diri layaknya seorang samurai dalam film. Dasar sombong, keduanya mencibir dalam hati.
"Tapi ... kalau kau ketahuan membolos, Takehiko-senpai bisa marah besar." Honoka mencoba mewanti-wanti -- sekaligus menakuti -- dengan maksud agar lelaki yang seolah tidak punya pekerjaan lain itu segera pergi meninggalkan mereka berdua di sana. Dengan begitu, ia bisa menghabiskan waktu sore bersama Kaito. Walaupun itu tidak akan sama seperti ekspektasinya.
"Ah, soal itu tidak usah khawatir, Honoka-chan. Aku sudah meminta tolong adikku, Seijiro untuk menggantikan. Kemampuannya tidak perlu diragukan. Yah, sesekali aku memang perlu memanfaatkan wajahnya yang membuat kami seolah kembar," jelas pemuda itu sembari menyingkirkan rambut yang digerakkan angin hingga mengenai matanya.
Ekspresi datar yang tercetak di wajah kedua siswa SMA Shirotsuki itu semakin jelas ketika mereka menyadari seberapa aneh -- dan gila -- pemikiran laki-laki itu. Wajah mereka memang hampir tidak bisa dibedakan. Akan tetapi, jelas itu bukan jaminan rencana busuknya akan berhasil seratus persen.
"Tapi ... bukankah Seijiro juga anggota klub kendo? Jika dia pura-pura menjadi kau, Takehiko-senpai pasti akan berpikir Seijiro yang tidak hadir," sambung Kaito. Namun, Ichiro tidak menggubris. Ia malah menarik lengan kedua temannya seolah benar-benar tidak bisa mendengar pertanyaan yang dilontarkan untuk dirinya.
"Ayolah, kalian ini mau menginterogasi siapa? Aku atau saksi yang dimaksud Kaito?" tanya pemuda itu sambil menyeret keduanya tanpa mempedulikan interupsi dari mereka. Dia mengeratkan genggaman sehingga mereka berdua tidak berhasil melepaskan diri. Sebagai orang yang mengusulkan investigasi ini, ia memang memiliki semangat paling besar di antara yang lain.
Kaito akhirnya hanya bisa pasrah ke mana pun dirinya dibawa oleh laki-laki aneh itu. Hingga matanya mulai bisa menangkap bayangan seorang wanita yang dia hubungi dua puluh menit yang lalu. Ichiro yang menyadari jika wanita itulah yang dimaksud temannya segera mempercepat langkah. Mau tidak mau keduanya menyamai langkah agar cengekeraman itu tidak membuat lengan mereka lebih sakit.
"Kaito-kun," panggil Emi ketika Kaito dan kedua temannya sudah cukup dekat. Ketiganya segera mengulas senyum ramah, termasuk Honoka yang hanya bisa menggerutu selama perjalanan menuju tempat itu.
"Maaf, kami sedikit terlambat. Apa kau sudah menunggu lama?" tanya Kaito berbasa-basi sembari memandangi langit sore yang mulai berubah warna. Emi hanya menggeleng sebagai jawaban. Ia membuka tas tangan kecil. Kaito memerhatikan tangkah aneh wanita paruh baya yang tampak seperti memerhatikan hal aneh di dalam sana dengan dahi terlipat.
"Kalau kau terburu-buru, kita bisa bicara lain kali," ucap laki-laki itu. Honoka dan Ichiro hampir tersedak saliva ketika mendengar ucapan Kaito. Gadis berambut bob itu hampir saja berteriak marah tepat di depan telinga pemuda yang dia sukai, sebelum akhrinya Emi kembali menjawab dengan gelengan.
Ichiro menghela napas lega. Ia hampir saja kehilangan kesempatan untuk menggali informasi dengan cara mewawancarai seorang saksi. Jika saja itu benar-benar terjadi, ia pasti akan menimpuki Kaito dengan shinai [27]. Dia tidak terima. Setelah susah-susah merencanakan semua ini dengan adiknya, dia malah kehilangan kesempatan karena teman sekelas paling tidak peka itu.
"Jadi, apa yang ingin kau bicarakan, Kaito-kun?" tanya Emi ramah. Kaito terdiam cukup lama. Membuat kedua temannya semakin tidak sabar. Mereka mengangkat kedua tangan seolah ingin mencekik leher Kaito yang mendadak menjadi overthinking. Padahal, bertanya yang mana saja terlebih dahulu tidak akan menjadi masalah.
"Waktu itu, kau melapor pada Polisi soal penemuan mayat kan?" Emi mengangguk, menunggu inti dari pertanyaan itu disampaikan. Kaito kembali berpikir. Membuat kedua makhluk di belakang semakin marah dan ingin mencekik, menghalangi jalan napas di lehernya seperti sosok arwah pendendam.
"Bisa kau jelaskan sedikit tentang kondisi mayatnya?" Kaito akhirnya bertanya to the point. Ichiro serta Honoka kembali memasang senyum lebar ketika Emi mengernyit akan keanehan dari mereka.
"Hmm ... waktu itu, kondisi mayatnya sangat mengerikan. Korban bernama Ookiya Yui, aku mendengarnya dari Polisi. Dia mendapat luka di bagian vital tubuhnya. Terlihat seperti sayatan pisau dapur. Tapi ada beberapa bagian yang tampak aneh. Entahlah, aku tidak tahu pasti. Tapi sepertinya dia juga disiksa dengan kapak," jelas Emi sambil berusaha mengingat-ingat.
Tidak tampak sama sekali ekspresi apa pun di wajahnya. Terlihat benar-benar serius. Ia menghela napas panjang. "Semoga ia tenang di alam sana," ungkapnya.
Honoka menutup mulut dengan telapak tangan kanan. Membayangkan kondisi korban membuatnya mual. Tergores sedikit saja oleh pisau dapur rasanya benar-benar perih. Lalu bagaimana dengan kapak. Benda itu sudah pasti akan menimbulkan pendarahan hebat. Orang yang melakukan semua ini pasti memiliki masalah dengan kewarasannya hingga tidak peduli dengan rasa sakit orang lain.
"Begitu rupanya," gumam Kaito sambil berusaha mengabaikan perasaan ngeri akibat terlalu membayangkan kondisi yang dideskripsikan oleh Emi. "Lalu, aku dengar kau tahu banyak soal rumor itu. Jadi, apa aku boleh bertanya satu hal lagi?" ia kembali bertanya. Dalam hati, Ichiro berharap pertanyaan yang sudah lama ia pendam tersampaikan.
"Tentu, kenapa tidak? Menurutku, misteri itu cukup menarik perhatianku." Emi tertawa kecil.
Kaito tersenyum tipis sembari melipat kedua tangan di depan dada. "Soal nyanyian 'Kagome Kagome' pada malam hari yang dibicarakan itu, apa tidak ada yang tahu pasti seperti apa suaranya? Maksudku, apa itu lebih mirip suara laki-laki atau perempuan? Orang dewasa atau anak-anak?"
Ichiro berdecak kesal. Mengapa anak ini malah memberikan pertanyaan yang benar-benar konyol? Mana ada yang tahu soal itu? gerutunya.
Namun, Emi tetap tampak berpikir serius untuk menjawab pertanyaan Kaito. "Soal itu ... aku juga tidak tahu pasti. Ada yang berkata jika suaranya lebih mirip suara anak-anak. Ada juga menganggap suaranya lebih mirip seorang wanita tua. Sebagian ada yang bilang suaranya terdengar parau seperti kakek-kakek. Entahlah, aku tidak tahu mana yang benar. Lagi pula, apa tidak ada pertanyaan lain?"
Kalimat terakhir Emi mendapat dukungan berupa anggukan dari Ichiro yang kesal karena ketidakpekaan si ketua klub karate yang sudah semakin parah. Namun anehnya, Kaito malah menggeleng, enggan memberikan pertanyaan lain. "Tidak, terima kasih. Sampai jumpa, Emi-san. Aku akan meminta bantuanmu lagi besok," ucapnya sambil membiarkan wanita itu pergi melalui arah yang berlawanan.
"Baka-ito!" teriak Honoka. Sesaat kemudian mengernyit ketika menyadari kalimat sama yang juga dilontarkan Ichiro. Kaito tetap melanjutkan perjalanan pulang, tidak acuh pada kemarahan kedua temannya.
"Kenapa kau malah membuang-buang kesempatan dengan bertanya hal konyol seperti itu?! Ada banyak hal lain yang lebih membantu penyelidikan daripada itu," protes Ichiro dengan kekesalan yang sudah sampai puncaknya. Honoka mengangguk lalu menambahkan beberapa alasan lain dari kemarahan mereka.
Kaito hanya menggeleng samar sebagai balasan. "Tidak, itu sudah cukup untukku."
*
[27] shinai: senjata berupa pedang bambu yang dipakai dalam kendo.
Wow, nggak terasa banget. Ini udah chapter ke-19. Dan teka-tekinya masih aja samar. Kerasa banget kan gimana lambatnya alur ItC dibandingin sama sodara-sodaranya 😂.
Yah, niatnya sih pengen ngejar 50K kata sebelum bulan September biar bisa ikutan wattys 2020. Tapi ... ini baru 23 ribu kata. Masih tinggal 27 ribu lagi. Masih jauuuuuhh .... 😅
Kalian bakal kuat nggak nungguin cerita ini tamat tinggal 20++ bab lagi? tolong komen dong 😄.
See you soon. Jangan lupa tinggalkan jejak 😁.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top