Fourth Cage

Keesokan paginya, Kaito kembali berangkat sekolah sebelum matahari terbit. Bedanya, kali ini dia mendesak Honoka untuk datang ke sekolah lebih awal. Gadis itu hanya menurut. Ia juga tak mengerti mengapa dirinya bisa setuju pada musuh bebuyutannya dalam waktu singkat. Akan tetapi yang jauh lebih aneh, ia merasa sangat gugup ketika jarak dengan sekolah semakin dekat.

Tidak usah gugup, Honoka. Dia hanya Kaito yang menyebalkan dan sering meminta yang aneh-aneh. Gadis itu terus mengulang mantra untuk menenangkan diri. Meskipun begitu, dia tidak bisa menutup fakta mengenai ketertarikannya pada ketua klub karate itu. Bahkan mungkin sudah lebih dari itu.

Sesampainya di kelas 2-2, langkah Honoka terhenti di bawah bingkai pintu. Dia tidak menemukan siapa pun di sana. Gadis itu mengernyit bingung. Tidak mungkin Kaito yang memiliki sindrom 'fobia terlambat' itu belum sampai pada saat jam menunjukkan pukul enam lebih lima belas menit.

Honoka beranjak menuju tempat duduk legendaris yang ditempati Kaito. Terlebih dahulu, ia meletakkan tas di bangkunya. Matanya tiba-tiba terpaku pada selembar kertas yang terletak rapi di atas meja belakang. Dia kembali mengernyit. Bukan apa-apa. Gadis itu hanya mencoba membaca tulisan asal-asalan yang tertulis.

"Temui aku di kolam renang."

Begitulah isi pesan yang ditinggalkan. Tanpa pikir panjang, Honoka segera berbalik menuju tempat yang diinstruksikan. Ia sama sekali tidak curiga mengenai asal pesan itu. Pasalnya, dia tidak pernah menemukan yang lebih jelek daripada tulisan tangan Kaito yang terburu-buru.

Honoka melihat kedua seniornya — Mine dan Naoko — yang tampak menunggu seseorang di sisi kolam. Gadis itu bermaksud ingin menyapa sekaligus menanyakan tujuan mereka ke sana sepagi ini. Namun belum sempat melangkah lebih jauh, seseorang tiba-tiba menarik lengan Honoka menuju tempat yang agak tersembunyi lalu membekap mulutnya.

Gadis itu benar-benar terkesiap. Ia menyesal karena menuruti pesan yang ditinggalkan di atas meja Kaito tanpa berpikir panjang. Sangat menyesal. Dia berusaha sekuat tenaga berteriak meminta bantuan. Matanya berkaca-kaca. Kaito, kau di mana? Tolong aku, batinnya.

Dengan sekuat tenaga ia mencoba berontak. Namun sia-sia saja. Tenaga dari orang yang kini mendekapnya jauh lebih kuat. Seluruh tubuhnya terasa mati rasa ketika ia merasakan napas hangat di telinganya ketika orang itu mencoba berbisik. "Hei, kamu kenapa? Ini aku, Kaito."

Honoka segera menoleh untuk memastikan. Ia menghela napas lega, sekaligus gugup karena suasana canggung yang tiba-tiba menyelimuti ketika dia menyadari jarak yang begitu dekat dengan teman sekelasnya itu. "Baka-ito, kau tidak perlu mengejutkanku seperti itu!" desis Honoka sambil membuang muka.

Setelah semua kepanikan yang dia alami, ternyata itu hanya prank dari Kaito. Honoka mendengus sebal. Dia benar-benar malu karena sudah mengharapkan pemuda itu datang menolongnya. Dalam hati, ia bertanya-tanya. Mengapa dia harus tertarik pada laki-laki menyebalkan seperti itu?

"Yah, salahmu sendiri karena terlalu sering menonton film aksi." Kaito mengedikkan bahu tidak peduli. "Aku sudah lama menunggu. Jadi kuputuskan untuk memberimu pelajaran. Terlambat datang ke sekolah itu tidak baik," terangnya. Honoka mencebik. Tentu saja ini belum terlambat. Lelaki itu saja yang terlalu berlebihan.

"Ayo." Gadis berambut bob itu sedikit terheran mendengar ajakan dari orang yang baru saja menjebaknya. Ia terus saja memberi Kaito tatapan penuh tanda tanya. "Kenapa? Apa kau tidak mau tahu siapa yang membunuh Chika?" Tak ingin lebih lama tenggelam dalam rasa ingin tahu, Honoka segera mengekori detektif amatir itu.

Sejak tadi malam, ia memang hampir tidak bisa tidur karena terus memikirkan tentang penemuan mayat di kolam renang. Dia mencoba untuk mengaitkan semua fakta yang diketahui untuk menemukan kesimpulan. Itu semua dilakukannya agar bisa membuktikan pada Polisi berwajah shinigami itu jika dirinya bukan gangguan di TKP. Namun, Honoka tidak bisa membohongi diri bahwa tujuan utamanya adalah membuat Kaito kagum.

"Jadi, bisa kau jelaskan apa yang membuat kami harus menunggu di sini?" tanya gadis dengan rambut sebahu sembari melipat kedua lengan di depan dada saat melihat kedatangan Kaito bersama Honoka yang hanya bisa membuntuti. Tak salah lagi, dia adalah Naoko.

"Ya, bisa kau cepat beritahu siapa yang membunuh adikku?" sambung perempuan yang berdiri tak jauh dari Naoko. Raut wajanya menyiratkan kesedihan serta kekhawatiran yang bercampur menjadi satu. Dia semakin terlihat gundah ketika ia terus memegangi ujung lengan baju seragam. Akan tetapi itu wajar, ia baru saja kehilangan adiknya.

"Baiklah, akan langsung kukatakan pada kalian, Mine-senpai, Naoko-senpai. Pelakunya ada di antara kita," ucap Kaito.

"Cepat katakan! Aku tidak punya banyak waktu." Naoko terus mendesak.

"Tenanglah, Naoko-senpai. Akan kujelaskan," sahut lelaki itu santai. "Pelaku mengajak korban untuk bertemu di tempat ini, kemudian membunuhnya. Penyebab kematiannya bukan karena tusukan di perutnya, tetapi karena tenggelam. Terbukti dengan hasil pemeriksaan forensik jika massa paru-paru korban yang bertambah."

Hening selama beberapa saat. Honoka cukup takjub dengan fakta yang berhasil didapatkan Kaito dari penyelidikannya. Dia berpikir keras. Gadis itu tidak bisa menentukan orang yang paling mencurigakan di antara mereka berdua. Baginya, mereka berdua sama-sama tidak mungkin melakukan kejahatan.

"Aku benar kan, Mine-senpai?" tanya Kaito sambil tersenyum miring. Semua yang ada di sana nampak terkejut. Termasuk Honoka. Ia mencoba mencubit lengan untuk memastikan jika ini bukan mimpi.

"Mana mungkin Mine yang membunuh adiknya sendiri?!" Naoko berseru tidak terima. Honoka ingin melakukan hal yang sama. Namun hatinya masih berpihak pada Kaito, seaneh apa pun yang dikatakannya. Dia yakin jika lelaki itu mengatakan semuanya dengan alasan logis.

Kaito tertawa kecil melihat reaksi kakak kelasnya. "Coba kau tanyakan saja sendiri padanya, Naoko-senpai," balasnya. Namun, Naoko tetap tidak terima jika teman dekatnya dituduh begitu saja.

Mine menghela napas panjang. "Kaito, bisa kau jelaskan, mengapa kau begitu yakin jika aku yang bersalah?"

"Baiklah. Kau adalah kakak tiri dari Chika. Tentu saja kau adalah satu-satunya yang mengetahui kelemahan Chika yang tidak bisa berenang. Karena itu kau berpikir untuk menenggelamkannya. Tapi, karena kurang yakin jika dia sudah mati, kau mengangkatnya kembali ke permukaan untuk menusuk perutnya, lalu mengembalikannya ke air.

"Lalu, kau adalah ketua klub renang. Kau bisa dengan mudah membuat anggota lain yakin jika memang tidak ada kegiatan. Lalu, kau sedikit panik karena darah Chika masih ada di lengan bajumu. Karena itulah kau melipat ujungnya, hingga sekarang. Yah, kurasa kau perlu bersyukur karena seragam SMA Shirotsuki berwarna biru gelap, sehingga percikan darah yang sudah kering di sana tidak terlihat jelas," papar Kaito.

"Soal Naoko, ia langsung datang kemari setelah bel pulang sekolah berbunyi. Aku berpikir, mungkin saja dia panik dan tidak tahu harus melakukan apa. Sehingga dia segera kembali ke ruang loker dan kebetulan bertemu dengan Honoka," lanjut laki-laki itu. Honoka terdiam. Kini ia mengerti mengapa Naoko tampak berkeringat dingin saat bertemu dengannya.

"Mine, kenapa kau sampai ... membunuh Chika?" tanya Naoko dengan mata terbelalak. Ia menutup mulut dengan kedua tangan. Gadis itu masih belum percaya jika sahabat yang selama ini dia jadikan sebagai pendorong untuk lebih semangat dalam belajar, berani melakukan hal sekeji itu.

Mine menghela napas panjang sembari membuka lipatan pada lengan seragam. Hingga noda darah yang sudah menghitam tersebut terlihat samar-samar. "Aku sudah tidak tahan. Anak itu sudah mengambil seluruh perhatian ayahku. Sampai-sampai Ayah memilih untuk batal berziarah ke makam Ibu demi merayakan ulang tahun Chika. Aku tidak bisa menerima itu," jelas gadis itu.

"Mine-senpai, kami mengerti apa yang kau rasakan. Tapi ... kau tidak perlu sampai membunuh. Apa senpai tidak tahu betapa Chika mengagumi senpai?" timpal Honoka yang sudah lama membisu.

"Chika pernah berkata padaku tentang hal itu. Dia berkata jika mereka jika mereka pergi ke makam ibumu setelah perayaan itu. Tetapi dia tidak bisa mengajakmu karena kau memilih untuk kabur dari rumah, seharian," sambung Honoka. Dia masih terus berusaha menahan air mata yang mendesak keluar.

"Mine, aku tahu jika dia sangat menyayangimu. Kau mungkin tidak tahu. Aku pernah melihatnya diam-diam memasukkan coklat di lokermu saat hari valentine. Saat aku bertanya mengapa dia memberikan padamu dia hanya menjawab, 'Tidak ada yang pantas menerima ini selain Mine nee-chan. Dia sangat baik. Sampai-sampai aku malu memberi secara langsung'" Naoko menyentuh bahu sahabatnya dengan wajah prihatin.

Mine menunduk dalam-dalam. Sadar jika tidak seharusnya ia menjadi seorang pembunuh, sebenci apa pun ia pada Chika. Seharusnya dia bisa melanjutkan pendidikan ke University of Tokyo berkat usahanya mendapat nilai tertinggi selama ini. Namun, keputusan yang salah justru mengantarkannya menuju penyesalan tanpa akhir.

Lidahnya terasa kelu. Air mata mulai mengalir membasahi pipi. Ia benar-benar menyesal karena telah menghancurkan keluarga serta masa depannya sendiri hanya karena sebuah tindakan konyol. Kakinya terasa lemas hingga akhirnya tak mampu berdiri lagi. "Chika ..., maafkan aku. Aku menyesal .... Aku benar-benar menyesal," lirihnya di tengah isak tangis yang tidak bisa dia tahan.

Honoka mengusap air yang masih tersisa di pelupuk mata. Andai waktu bisa diputar kembali, dia yakin tak akan ada penyesalan. Namun sekarang sia-sia saja. Bahkan kalaupun seandainya Mine mengelurarkan air mata darah, Chika takkan kembali hidup. Memang miris jika mengingat penyebab kematiannya hanya karena kesalahpahaman bodoh antara sepasang kakak-adik yang sebelumnya tak pernah bertengkar.

Sekilas ia melirik Kaito yang tetap membisu. Wajahnya tidak menunjukkan emosi apa pun. Honoka tersenyum tipis. Tak disangka lelaki yang sering tertidur di kelas saat pelajaran matematika itu malah berhasil menuntaskan kasus pembunuhan di sekolah. Alih-alih mendapat pujian, justru gadis itu yang kagum pada Kaito.

*

Yah, adakah yang tebakannya bener. Kalo ada, Ichi ucapkan selamat deh. Selamat karena bisa menebak plot twist permulaan ini.

Semoga plot twist di cerita ini nggak se-menyebalkan High School of Mystery keempat 😂.

Jangan lupa vote dan comment ya 😊.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top