Fourteenth Cage
Kaito hanya bisa menuruti rencana itu dikarenakan paksaan dari musuh bebuyutannya. Entahlah, dia masih berpikir seperti itu karena keributan yang selalu tercipta setiap kali bertemu. Satu yang pasti, ia masih belum mengerti jika pernyataan cinta yang dilontarkan pagi tadi bukan sebuah gurauan belaka.
Ah, lupakan saja soal ketidakpekaan pemuda itu. Terlalu menyebalkan untuk diingat. Bahkan, Honoka yang masih menyimpan rasa memalingkan wajah, meskipun harus diakui jika berkali-kali ia telah gagal untuk membuat hatinya melakukan hal sama. Gadis itu sendiri tidak tahu apa yang menyebabkan hal tersebut.
Ichiro memimpin di depan. Sama sekali tidak mengacuhkan kedua teman sekelasnya yang tampak tidak sudi untuk saling menatap seperti anak kecil yang sedang berkelahi. Selain karena sudah telanjur lelah mengurusi keduanya yang hampir tidak pernah damai, lelaki itu sadar jika tujuannya kemari bukan untuk itu.
Mereka bertiga memilih untuk pergi melalui Akai Michi. Tentu saja kali ini mereka tidak menemukan apa pun dikarenakan TKP sudah dibersihkan oleh petugas beberapa jam yang lalu. Ichiro memandang sekeliling. Jalan ini tidak jauh, tetapi tidak juga terlalu dekat dengan pemukiman. Pantas saja rumor tentang tempat ini sangat cepat menyebar.
"Nee, Ichiro-kun. Sebenarnya apa yang kau cari di tempat ini?" keluh Honoka yang mulai merasakan pegal setelah cukup lama berjalan tanpa tujuan yang jelas. Ia juga merasa sakit pada leher akibat terus mencoba memalingkan wajah dari Kaito yang berada tepat di samping kirinya.
"Kita hampir sampai," sahut pemuda itu tanpa menoleh sedikit pun. Mengetahui jika salah satu temannya mulai tak sabar, ia mempercepat langkah hingga tampak lebih seperti seseorang yang berlari.
Mau tidak mau, keduanya berusaha keras menyamai langkah orang di depannya. Tentunya mereka tidak lagi berlari dengan menghadap ke arah lain jika tidak ingin mengalami hal-hal konyol, seperti terjatuh karena tersandung kaki sendiri. Termasuk Honoka. Gadis itu diam-diam melirik laki-laki di sebelahnya.
Rambut yang biasa menutupi bagian samping wajah lelaki itu tersingkap. Ekspresi wajah seriusnya tampak begitu memikat meskipun hanya tampak setengahnya. Jantung yang berdebar kencang sama sekali tidak bisa menghentikan aksi gila Honoka. Cukup lama gadis itu memandanginya, hingga tak sadar jika mereka sudah sampai di tujuan.
"Apa yang kau lihat?" tanya Kaito dengan nada curiga.
Honoka segera tersadar dari lamunan pendeknya kemudian menggeleng kuat-kuat. "Tidak ada," elak gadis itu sambil menoleh ke arah lain. Namun, tak urung pipinya bersemu merah.
"Ayo masuk," ajak Ichiro. Kedua orang di belakang serempak mengernyit. Pasalnya, yang ada di hadapan mereka hanya sebuah toko yang tampak sedikit sepi dari pembeli. Ichiro ikut mengerutkan dahi melihat reaksi teman sekelasnya yang jauh dari ekspektasi. "Ada apa?" tanyanya heran.
"Tunggu, Ichiro. Kau tadi berkata ingin melakukan penyelidikan. Tapi sekarang, kau malah membawa kami ke toko," protes Kaito.
"Iya, benar. Kau ini ingin melakukan investigasi atau berbelanja? Masalahnya, penyelidikan macam apa yang dilakukan di sebuah toko," sambung Honoka. Ichiro berdecak karena rencananya sama sekali tidak dimengerti.
"Ayo ikut, dan lihat saja nanti," ujar lelaki itu lalu melangkah masuk tanpa ragu. Kaito dan Honoka saling berpandangan. Meminta pendapat satu sama lain dengan bahasa tubuh. Gadis itu hanya mengedikkan bahu. Seolah lupa jika beberapa menit yang lalu mereka masih saling tidak menyapa.
"Sudahlah, kita ikuti saja," putus laki-laki itu lalu berjalan menuju pintu masuk toko. Honoka hanya mengekor. Ia tidak punya pilihan lain. Yang dia pikirkan hanya satu, diam di luar sampai waktu yang tida ditentukan bukanlah sebuah keputusan yang lebih baik. Selain itu, dia tidak sadar jika dirinya selalu menyetujui ucapan Kaito.
Bagian dalam bangunan itu tidak terlalu berbeda dari toko lain pada umumnya. Terdapat beberapa rak dengan barang-barang yang tersusun rapi. Tak jauh dari pintu masuk, ada sebuah meja kasir yang kebetulan tidak dijaga oleh siapa pun. Sebuah pintu tampak di bagian belakang toko yang sepertinya juga merupakan rumah pemiliknya.
"Mai nee-san! Ini aku, Ichiro!" Terdengar sebuah seruan tak jauh dari tempat mereka berdiri. Kaito semakin heran dengan apa yang didengarnya. Ia yakin tidak salah dengar dengan panggilan 'kakak' dari teman sekelasnya. Yang membuatnya bingung, investigasi macam apa yang direncanakan Ichiro hingga harus melibatkan kakaknya?
"Mai nee-san, perkenalkan mereka teman sekelasku. Ini Honoka, dan di sebelahnya adalah Kaito," ujar Ichiro pada seorang gadis ber-yukata yang tampak seusia dengan Keiko. Mereka berdua yang ditunjuk segera membungkukkan badan, mengucapkan salam kenal.
"Senang bertemu kalian. Aku Fujita Mai, kakak sepupu Ichiro," ucap gadis itu seraya membungkukkan badan. Mereka berdua tersenyum sebagai balasan. Namun, diam-diam menyimpan kekesalan pada Ichiro yang malah membawa mereka ke tempat saudara sepupunya tanpa alasan yang jelas.
"A-ano ... apa Onee-san tinggal di sini sendirian?" tanya Honoka mencoba membuat percakapan demi mengalihkan perhatian dari Ichiro yang mendadak menjadi sangat menyebalkan.
"Ya, begitulah. Toko ini adalah milik ayahku. Beliau sudah meninggal. Ibu juga. Jadi, akulah yang harus menjaganya," jelas gadis bernama Mai itu. Tampak sedikit ekspresi sedih di wajahnya. Akan tetapi, dia bisa cepat menyembunyikannya dengan senyuman ramah yang selalu ia tunjukkan pada para pelanggan.
"Maaf, Mai nee-san. Kami datang bukan untuk membeli sesuatu," ucap Ichiro yang sudah lama terdiam seolah bisa membaca pikiran kedua temannya. Mai yang sibuk memeriksa barang dagangan menatap adik sepupunya lamat-lamat. "Kami ingin bertanya sedikit. Onee-san sudah pasti tahu tentang rumor Akai Michi, kan?"
Mai tampak sedikit tertegun, kemudian kembali melanjutkan pekerjaannya seolah tak terjadi apa-apa. "Sebagai orang yang tinggal paling dekat dengan tempat itu, tentu saja aku tahu," jawabnya tanpa intonasi berarti.
"Setiap kali ada yang mendengar lagu 'Kagome Kagome' di malam hari, mereka akan mati atau hilang secara misterius. Hanya itu yang aku tahu. Dan itu karena aku tidak terlalu tertarik," jelas gadis berambut panjang itu sambil merapikan barang yang sedikit berantakan di atas rak.
Ichiro menoleh ke arah dua temannya, menunggu reaksi. Namun, yang ia dapati hanya wajah datar tanpa ekspresi yang masih menunggu hasil dari investigasi yang dilakukan. "Lalu, apa Onee-san kenal anak yang bernama Kagome?" laki-laki itu kembali bertanya. Mai tampak sedikit tersentak. Beberapa barang di tangannya juga hampir terjatuh.
"Ichiro-kun, apa aku tidak salah dengar? Kau membicarakan Kagome?" tanya gadis itu sembari meletakkan kembali barang yang terjatuh begitu saja di atas meja kasir. Lelaki itu hanya mengangguk sebagai jawaban. Melihat hal itu, Mai bergegas masuk ke dalam rumah melalui pintu kecil di dekat Kaito, kemudian kembali dengan sebuah bingkai foto.
"Aku tidak akan tanya dari mana kalian tahu tentang Kagome. Akan kujelaskan semua yang kutahu. Dulunya, Kagome, Keiko, dan aku adalah teman baik," jelas gadis itu sembari menunjukkan bingkai foto itu kepada tiga orang detektif amatir di depannya. Kaito memandangi salah satu anak perempuan di foto dengan rambut diikat dua. Tak salah lagi, itu memang Keiko.
"Tapi, sebuah masalah membuat aku dan Keiko saling membenci waktu itu. Kami berdua tak lagi bermain bersama. Tapi tidak dengan Kagome. Dia selalu bermain bersama kami berdua, secara bergantian. Ia juga selalu membujukku agar berbaikan dengan Keiko. Tapi, aku begitu keras kepala dan selalu menolak.
"Hingga akhirnya, Kagome tidak lagi terlihat setelah kematian ayahnya. Dari kejauhan, aku selalu memerhatikan Keiko yang tampak sedih. Sejak awal, aku tahu kalau Kagome sebenarnya dibunuh seseorang. Tapi ... aku tidak tega memberitahu Keiko. Aku benar-benar merasa bersalah," jelas Mai panjang lebar dengan diakhiri dengan embusan napas berat.
"Andai saja waktu bisa diputar kembali, aku pasti akan menuruti permintaan terakhir Kagome, dan berbaikan dengan Keiko. Dengan begitu, tragedi itu pasti tidak akan terjadi," ungkap Mai lagi sambil mengusap mata yang mulai berkaca-kaca.
Kaito berpikir keras. Mencoba menemukan petunjuk dari cerita tadi. Meskipun lelaki itu masih belum menyangka Keiko dulunya memiliki persahabatan yang berakhir tragis. Sekarang, ia tidak heran mengapa gadis berkacamata itu selalu tampak sedih setiap membicarakan tentang Kagome.
*
Satu fakta baru terungkap. Apa ada yang udah bisa nebak pelakunya siapa? 😁
Oke, jangan lupa vote dan comment ya 😊.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top