First Cage
Pagi yang sangat indah. Kehidupan di kota Tokyo baru saja dimulai. Jalan raya, stasiun, sekolah, kantor, bahkan departemen store, kini tampak hidup oleh orang-orang yang memulai hari dengan penuh semangat ditemani cahaya matahari terbit. Setelah semalaman tenggelam dalam mimpi indah, kini adalah saat untuk membuatnya menjadi kenyataan.
Tak terkecuali di SMA Shirotsuki. Seperti biasa, beberapa orang mulai tampak di bangunan sekolah yang begitu megah itu. Siswa yang baru datang segera mengganti sepatu dengan uwabaki kemudian berjalan menuju kelas masing-masing. Raut wajah ceria tampak di antara mereka ketika mulai saling menyapa.
Akan tetapi, kelas 2-2 tak seperti pintu gerbang yang mulai tampak ramai. Di ruangan itu hanya tampak seorang anak laki-laki yang duduk di bangku pojok paling belakang, dekat dengan jendela. Mata cokelat kemerahan itu memandang kosong keluar kelas, menopang dagu tanpa mengeluarkan suara apa pun.
Namun sebenarnya, kepala pemuda itu dipenuhi oleh pemikiran liar layaknya remaja lain. Di sudut hati terdalam, ia menggerutu karena belum ada siswa lain yang datang. Padahal itu adalah hal yang wajar di pukul enam pagi. Tentu sebab dialah yang terlalu rajin berangkat ke sekolah sebelum matahari terbit.
Pintu kelas yang tiba-tiba terbuka membuat perhatian pemuda itu teralihkan. Dia memicingkan mata. Mencoba fokus menatap seorang gadis berambut bob yang berjalan mendekat dengan senyuman yang entah apa pemicunya. Hingga kerutan di dahi laki-laki itu bertambah dalam.
"K-kenapa kau menatapku begitu, Kaito-kun?" Gadis itu sangat heran saat menyadari laki-laki bernama Kaito yang duduk di belakang mengernyit sembari menatapnya aneh. Ia sedikit risih saat berusaha menatap balik. Jantungnya berdebar kencang. Namun, senyuman di wajah bundar itu belum memudar.
"Kau yang kenapa?" Kaito balas bertanya tanpa intonasi. Tangan kiri yang ia gunakan untuk menopang dagu mencengkeram ujung meja. Dia bangkit sehingga bisa mendekati wajah lawan bicaranya lebih leluasa. Membuat gadis di hadapannya merasa seperti terintimidasi.
"A-akan kuberitahu, Ka-Kaito. Tapi ... tolong jangan menatapku begitu." Gadis di hadapannya menyengih. Kaito yang sudah tidak bisa menyembunyikan rasa penasaran segera menurut. Ia kembali ke posisi semula. Tentu saja dengan pandangan yang tidak terlepas dari gadis berambut bob itu.
"Yah, aku hanya sedikit senang karena mendapat komentar bagus di video cover lagu yang kuunggah." Kaito kembali menopang dagu, menunggu penjelasan lebih lanjut. Sedetik pun ia tak berniat memalingkan pandangan. Seperti seekor elang yang khawatir mangsanya akan terlepas jika dia berkedip.
"Komentarnya seperti ini. 'Shiratori-san, suaramu bagus seperti Hatsune Miku.' Yah, otaku sepertimu pasti mengerti kan," lanjut gadis itu sambil tertawa kecil. Kaito kembali menatap keluar kelas, mendengus samar. Hingga suara aliran udara itu hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri.
"Apa bagusnya?" tanya lelaki itu dengan suara berat miliknya. Gadis dengan nama belakang Shiratori itu tersentak, spontan menoleh ke arah Kaito. "Suaramu disamakan dengan software, Honoka. Apa bagusnya? Kakakku saja tidak pernah bangga walaupun suaranya mirip dengan go**le translate."
Honoka seketika itu terdiam. Usahanya membuat lelaki itu memuji suara emasnya gagal total. Alih-alih mendapat pujian, dia justru disamakan dengan mesin penerjemah yang sudah dikenal seluruh dunia. Ingin rasanya ia membantah. Walaupun keduanya adalah software, jelas itu tidak akan sama. Namun sesuatu yang lain, seolah menghalangi gadis itu berbuat kasar pada Kaito.
"Honoka Shiratori, kamu harus sadar. Orang itu sebenarnya sedang mengejekmu," Kaito kembali berujar dalam keheningan. Di sudut hati terdalam Honoka, dia begitu heran karena lelaki di belakangnya yang biasanya banyak bicara itu tiba-tiba berubah menjadi dingin. "Dan yah, kurasa kau harus berhenti berharap pada suaramu yang biasa saja itu," lanjutnya tanpa beban.
Honoka mendelik. Ia tidak percaya akan ada yang merendahkan suara emas yang membuatnya menjadi runner up lomba menyanyi tingkat nasional sekaligus membawanya masuk ke SMA Shirotsuki yang dikenal sebagai salah satu sekolah terbaik lewat jalur rekomendasi.
Gadis itu sudah seperti seekor singa yang terbangun tidur lelap ketika mendengar ejekan yang ditujukan untuknya. Ia mendengus sebal. Tidak peduli walaupun hati kecilnya menolak untuk marah pada Kaito. "Sebenarnya kenapa kau sebenci itu padaku, Baka-ito!" serunya.
Pemuda itu segera bangkit menyadari adanya perlawanan. Tatapan dari manik cokelat kemerahan itu seolah hendak menguliti seseorang di hadapannya. Sifat asli yang pergi entah kemana sejak ia bangun tidur kembali lagi. "Aku mengatakan yang sebenarnya. Dasar, Aho-noka!"
"Apa kau pikir dirimu keren dengan sikap dingin itu?! Ketahuilah, kau sama sekali tidak lebih dari seorang pemalas, Baka-ito!" balas Honoka tidak mau kalah.
"Lagi pula siapa yang mau menjadi keren? Aku hanya ingin jadi Kaito Ishida yang baru. Tapi kau menghancurkannya, Aho-noka!" Tak peduli dengan tenggorokan yang sakit, pemuda itu terus berusaha berteriak menyamai suara Honoka yang terpaut satu oktaf dengannya.
"Baka-ito!"
"Aho-noka!"
"Baka-ito!"
"Aho-noka!"
Satu orang yang tidak disadari keberadaannya oleh mereka berdua mengembuskan napas panjang. Lelaki itu mengacak-acak rambut yang sudah lelah dirapikannya satu jam yang lalu. Ralat. Ia sama sekali tidak lelah menata rambut agar mirip penyanyi idolanya. Dia jauh lebih lelah melihat dua orang teman kelas yang saling meneriaki setiap pagi. Seolah sudah menjadi rutinitas kelas 2-2 sebelum bel masuk kelas berbunyi.
Namun yang membuat seluruh penghuni kelas heran, ketika salah satu dari mereka berdua tidak masuk, maka yang satunya akan tampak resah seharian. Itulah yang membuat mereka semua terkadang mengganti nama belakang Honoka dengan 'Ishida' yang merupakan nama keluarga Kaito, sehingga terkesan seperti pasangan yang sudah menikah.
Setelah cukup bosan melihat dua orang yang saling melempari dengan kata kasar yang sama itu, laki-laki yang beberapa menit yang lalu bergeming di depan pintu memilih untuk berjalan mendekat. "Oi oi! Sekarang apa yang membuat kalian bertengkar seperti anak kecil?!"
"Dia memanggilku 'Aho-noka'!" seru gadis berambut bob itu dengan telunjuk yang tepat ke arah Kaito seperti anak balita yang hendak melapor ke orang tuanya.
"Jangan bodoh, Ichiro! Dia lebih dulu memanggilku 'Baka-ito'!" balas Kaito tidak terima sambil menepis lengan orang yang menuduh serta berusaha menghakiminya. Tatapan tajam di antara keduanya kembali menggantikan kata-kata yang tertahan di ujung lidah.
Laki-laki bernama Ichiro itu untuk ke sekian kalinya mengembuskan napas panjang. Menjauh menuju tempat duduknya hanya untuk meletakkan tas. Keheningan yang begitu langka di kelas itu membuat langkah Ichiro yang kembali ke arah mereka berdua terdengar jelas. "Kaito, daripada kau bosan menonton anime yang sama setiap hari, lebih baik bergabung denganku ... menyelidiki 'Akai Michi'."
*
[1] uwabaki adalah sejenis alas kaki yng khusus untuk digunakan hanya di dalam ruangan.
[2] -kun: panggilan akrab untuk laki-laki
[3] -san: panggilan kehormatan untuk orang yang belum tetlalu dekat.
[4] Baka dan Aho sama-sama memiliki arti 'bodoh.'
Hai, Mina-san! Yang udah mampir ke sini, arigatou gozaimasu. Sebenarnya ini adalah cerita pertama yang Ichi buat dengan dua versi sudut pandang. Yang satu POV1 yang satunya POV3 (yang barusan kalian baca).
Tapi karena Ichi ngerasa sudut pandangnya Kaito agak ngawur, jadilah pake POV3.
Yah, mungkin nanti kalian bakalan jadi geregetan sama si Kaito ini. Kenapa? Yah, karena dia nggak jauh beda sama sepupunya yang dari High School of Mystery. Jadi, siepin aja kesabaran kalian sebanyak mungkin 😆.
Jangan lupa vote dan comment ya 😊.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top