Fifth Cage

Kaito terus mengomel dalam hati sembari mencoba menutup telinga dari ocehan Honoka yang seolah tidak memiliki tombol pause. Pemuda itu bertanya-tanya, mengapa harus dia yang melakukan 'investigasi' bersama musuh bebuyutannya, sementara Ichiro yang mengajak justru kabur dengan kegiatan klub kendo sebagai alasan? Bukankah ini tidak adil?

Lelaki itu mengalihkan pandangannya pada dedaunan dari pohon maple di sekitar yang mulai berubah warna. Warna kemerahan di sepanjang jalan tampak sangat indah. Angin berembus terasa benar-benar menyejukkan. Daun-daun yang gugur menari bersama aliran udara.

"Kaito! Kau tidak dengar aku?!" Kaito refleks menutup kedua telinganya begitu menerima gelombang suara bervolume tinggi itu. Ia mendelik ke arah Honoka yang tanpa rasa bersalah berteriak dalam jarak yang sangat dekat. Andai saja Honoka bukan apa-apa bagi keluarga Ishida, dia ingin berkata kasar pada gadis itu sebagai balasan atas perbuatannya.

"Maaf." Honoka menangkupkan kedua telapak tangan lalu sediki membungkuk di hadapan teman sekelasnya. Namun, seringai yang tercetak di wajah gadis itu membuat Kaito enggan membalas. Tentu saja. Untuk apa ia memaafkan pada orang yang tidak sungguh-sungguh menyesal.

"Aku tidak dengar, dan aku tidak peduli," balas pemuda itu sembari mengalihkan pandangan. Honoka mencebik. Percuma saja dia menerangkan rencana investigasi mereka ke depan jika yang seharusnya menerima penjelasan malah tidak memerhatikan, bahkan tidak peduli.

"Kau sudah mengambil posisi sebagai 'ketua'. Kau mengatur semua yang harus aku dan Ichiro lakukan. Kau bahkan sudah mengajak tetanggamu, Seira untuk ikut bergabung. Jika posisimu sudah seperti itu, untuk apa aku mendengarnya. Lagi pula aku tidak akan bisa menolak rencanamu," lanjut Kaito.

Gadis berambut bob itu terdiam. "Apa benar jika aku sejahat itu?" pikirnya. Masalahnya, dia hanya ingin Seira yang merupakan teman kecilnya ikut bersamanya. Sejak dulu, mereka selalu bersama. Bahkan jika seandainya ia tidak dipaksa masuk klub renang oleh keluarganya, gadis itu ingin masuk klub sastra seperti Seira.

Soal posisi 'ketua', dia tidak menginginkannya sama sekali. Honoka tidak pernah berpikir jika yang dilakukannya adalah sebuah keegoisan. Ia mungkin hanya terlalu semangat karena akhirnya bisa melakukan aksi keren seperti dalam film detektif yang sering ditontonnya.

"Nee, Kaito." Ketua klub karate itu sedikit tertegun mendengar Honoka yang barusan meneriaki, kini berkata dengan suara lirih. "Sebenarnya ... apa kau berniat memecahkan misteri itu?"

Kaito menghela napas panjang. Berpikir apa yang harus dia gunakan sebagai jawaban. Masalahnya jika menuruti kata hati, ingin sekali ia keluar dari rencana investigasi Honoka. Sekalipun lelaki itu harus menghabiskan waktu membosankan dengan bermain game atau hanya sekadar tiduran di kamar, itu jauh lebih baik daripada harus menerima ajakan Ichiro.

Namun sekali lagi, ia tidak ingin hubungan dengan keluarga Shiratori retak hanya karena kemarahan Honoka -- anak tunggal yang diperlakukan bagaikan tuan putri. Akan tetapi, di sisi lain, Kaito merasa serba salah karena harus bertanggung jawab atas keselamatan gadis itu selama investigasi.

"Yah, sejujurnya ... aku sama sekali tidak tertarik," jawab pemuda berambut coklat kehitaman itu pada akhirnya. Kaito mendengus sebal. "Tapi ... ini juga demi dirimu." Honoka merasa tersentuh mendengar lanjutan dari jawaban paling dibencinya. Meskipun memiliki konteks yang berbeda jauh, gadis itu amat senang karena mendapat kalimat itu dari orang yang dia sukai.

Dengan terpaksa, Kaito berbelok menuju sebuah tikungan yang mengarah menuju sebuah jalan yang agak sempit. Ia tidak bisa menolak karena itu adalah permintaan Honoka, ketua yang baru. Tentu penyebabnya adalah rasa penasaran pada jalan yang kini mereka lalui, Akai Michi.

Namun, pandangan mereka berdua segera tertuju pada orang-orang yang berkerumun di sisi jalan. Entah apa yang menjadi penyebabnya. Beberapa di antara mereka tampak berseragam polisi lengkap. Tanpa disuruh, Honoka menarik lengan Kaito ke arah kerumunan itu.

Sesampainya di tempat itu, mereka hanya menemukan seorang wanita paruh baya yang tampak sedikit syok sedang diinterogasi petugas Kepolisian. Sementara yang lainnya sibuk mengurus sesuatu, memasukkannya ke dalam kantong khusus, lalu mencoba mencari hal lain yang kemungkinan ada di sekitar sana.

"Halo, Kazuhiko-san," sapa Kaito dengan senyum semringah. Polisi berwajah shinigami yang beberapa bulan lalu menyeret mereka pergi dari TKP menoleh. Honoka terperanjat. Tak disangka mereka akan bertemu dengan pria itu lagi.

"Kaito, mau apa kau kemari?!" hardik Kazuhiko yang tak sesibuk rekannya. Kaito hanya menyeringai. Anehnya, polisi itu menghela napas panjang saat melihat ekspresi jahil adik dari tunangannya. "Baiklah, aku tidak akan marah. Tapi awas, jangan berani beritahu itu pada Keiko," ancamnya. Kaito hanya mengangguk sembari mengacungkan jari kelingking, berjanji.

"Nee, Kazuhiko-san. Sebenarnya ada masalah apa ini?" Kaito memutuskan untuk bertanya setelah tidak bisa menemukan jawbaan dari hasil pengamatannya.

"Kau tidak perlu bermain detektif-detektifan seperti dulu. Serahkan saja pada kami. Ini sudah menjadi tugas para Kepolisian," sahut Kazuhiko idealis. Honoka mencebik. Ternyata mendapat informasi dari Polisi yang satu ini sangat sulit. Sayang sekali, dia selalu saja terlibat dalam setiap penyelidikan.

"Bukan aku. Dialah yang ingin bermain menjadi detektifnya," dalih Kaito sembari menunjuk Honoka. Gadis itu tersentak saat Polisi bermuka shinigami itu mengamatinya dari atas hingga bawah lalu tersenyum licik.

Kazuhiko menepuk bahu Kaito yang lima belas sentimeter lebih rendah darinya. "Apa dia pacarmu?" tanyanya. Polisi itu segera bergumam 'Sayang sekali' saat Kaito merespons dengan sebuah gelengan.

"Hei, aku ini dulunya selalu menjadi rebutan para siswi di sekolah. Kalau kau mau, aku bisa ajari cara menarik perhatian para gadis," tawar Kazuhiko. Kaito kembali menggeleng. Bagi pemuda itu, apalah arti penting dari perhatian para gadis? Toh juga mereka akan berubah menjadi menyebalkan suatu hari nanti.

"Tidak, terima kasih," ujar Kaito singkat. Bersamaan dengan itu, seorang anggota kepolisian lain berpangkat inspektur memanggil Kazuhiko agar segera kembali. Pria itu segera menurut. Mengingat jika tugasnya tak lebih berat dari rekannya.

Kaito menghela napas panjang. Sejenak memandangi daun-daun maple dengan wajah sendu. Lelaki itu memejamkan mata. Ia mulai merasakan ketenangan ketika angin sejuk kembali membelai surai coklat kehitaman itu.

"Kaito! Sudah kuduga itu kamu!" Lelaki itu tersentak ketika mendengar teriakan dari belakang bersamaan dengan sebuah lengan tang tiba-tiba memeluk. Awalnya ia berpikir jika itu adalah kelakukan Honoka. Namun ia segera tersedar jika gadis yang selalu disangka pacarnya juga direngkuh dari arah belakang.

Kaito segera berbalik setelah orang yang tiba-tiba memeluk dari belakang melepaskan mereka. Dia mengernyit mencoba mengingat-ingat wajah yang terlukis di depan matanya. "Moriya-san?" ia mencoba untuk menebak.

"Ah, sudah kuduga kamu belum melupakanku. Dan kamu cukup panggil aku Emi saja. E-mi," ucap wanita paruh baya yang sebelumnya diinterogasi Polisi sembari mencubit kedua pipi Kaito. Honoka tak bisa menahan tawa saat melihat ketua klub karate yang biasanya agresif hanya tampak pasrah saat kedua pipinya menjadi korban.

Wanita dengan nama belakang Moriya itu menoleh ke arah Honoka yang memegangi perutnya yang terasa sakit setelah cukup lama tertawa. "Hai, apa kau pacar dari Kaito?" tanya wanita bernama Emi itu. Honoka tercengung. Ingin rasanya dia mengiyakan pertanyaan semacam itu walau hanya sekali.

"Dia teman sekelasku, hanya itu," sahut Kaito. Emi hanya melenggut. Tentu saja ia tahu jika ada banyak anak muda yang memilih untuk merahasiakan hubungannya di depan orang yang lebih dewasa. Ia juga tidak mengerti alasan di balik semua itu.

"Sayang sekali. Padahal dia cantik sekali." Honoka tersipu mendengar pujian yang jelas ditujukan untuknya. Kaito hanya membuang napas dengan kasar. Ia sudah bosan mendengar hal itu, termasuk dari kedua kakaknya.

"Maaf, Mori ... eh, maksudku Emi-san. Kami harus segera pulang," pamit Kaito lalu menarik lengan baju seragam Honoka. Namun baru beberapa langkah, keduanya sontak berhenti ketika Emi kembali memanggil mereka.

"Aku lupa mengatakan sesuatu pada kalian. Hari sudah mulai gelap. Jika kalian mendengar seseorang menyanyikan lagu 'Kagome Kagome' di belakang, jangan pernah menoleh. Lebih baik cepat lari sampai kalian menemukan keramaian," jelas Emi. Keduanya lekas mengangguk.

Kaito terdiam beberapa saat. Ia berpikir jika dia mungkin bisa mendapat beberapa informasi penting dari Emi. Karenanya, ia segera memanggil wanita paruh baya itu agar segera menghentikan langkah. "Emi-san, bisa beritahu aku lebih banyak tentang rumor itu?"

*

Jadi ini waktunya sekitar bulan September-Oktober ya. Keliatan dari setting musim gugurnya 😁

Emi mungkin bakalan jadi tokoh yang lumayan penting di cerita ini. Dari awal, dia udah jadi orang yang nemuin mayat. Jadi dia bukan sekedar kameo biasa 😂.

Oke, jangan lupa vote dan comment ya 😊.

🍂🍁🍂

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top