Fifteenth Cage
Kaito membuka pintu depan rumah sembari berseru, "Aku pulang." Dia memandang sekeliling rumah, sejenak kemudian mengernyit karena merasa asing dengan suasana hening di setiap sudut. Namun, laki-laki itu tidak terlalu ambil pusing. Dia segera melepas sepatu lalu berjalan menuju kamar seraya mencoba mencari seseorang yang mungkin berada di salah satu ruangan.
Ia menggerakkan gagang pintu kamar setelah tidak bisa menemukan siapa pun di mana-mana. Alangkah terkejutnya ia ketika menyadari kakak perempuannya berada di dalam tengah membaca coretan di atas kertas tanpa suara. "Ah, Kaito. Kau sudah pulang rupanya," ucap gadis berkacamata yang baru saja pulang.
Kaito memandang kakaknya yang seolah benar-benar sibuk dengan coretan tak berguna itu dengan tatapan curiga. Sedetik pun, ia tak melepaskan pandangan dari Keiko meskipun tangannya sibuk merapikan belasan komik shounen [14] yang berserakan di atas tempat tidur. "Onee-chan, kenapa tiba-tiba ke kamarku?" tanyanya penuh selidik.
"Ehm ... tidak ada. Tadinya ... aku hanya ingin sedikit membersihkan kamarmu yang berserakan ini." Kaito mengernyit mendengar gaya bicara kakak perempuannya yang sedikit aneh. "Aku tak menyangkan kehidupan seorang otaku bisa menjadi seperti ini," ungkapnya. Membuat adiknya semakin bingung dengan apa yang salah.
Kaito mendekat perlahan. Mencoba membaca tulisan cakar ayam di atas kertas yang sedang dibaca Keiko. Laki-laki itu memang biasa menulis ide yang terlintas di pikirannya di sembarang kertas, tidak peduli walaupun itu merupakan lembar kosong di halaman terakhir buku. Karenanya, ia penasaran ide apa yang sebenarnya membuat gadis itu tertarik meski harus memaksa mata untuk membaca tulisan paling berantakan itu.
"Onee-chan, sebenarnya apa yang kau baca?" Kaito mencoba mengintip. Namun, Keiko dengan cepat menepis lalu berbalik agar adiknya tidak bisa melihat tulisannya sendiri.
Gadis itu menaikkan posisi kacamata sembari tertawa kecil. Kaito semakin bingung. Baru pertama kali ada yang membaca "buah pemikirannya" sampai tertawa begitu. Biasanya, orang lain akan bosan bahkan sebelum menyadari seberapa cemerlangnya ide yang dihasilkan otak genius lelaki itu.
"Tidak, ini bukan apa-apa kok," ujar Keiko sambil berusaha menjaga kertas itu agar tak direbut adiknya. Ia terus membaca coretan itu hingga bagian tengah, kembali tertawa kecil. Yang tidak diketahui Kaito, kertas itu bukan hanya berisi coretan biasa. Melainkan catatan yang paling dia jaga agar jangan sampai jatuh ke tangan orang lain.
"Beberapa hari yang lalu, Honoka kembali mengajakku bertengkar di dalam kelas. Masalahnya benar-benar sepele. Hanya karena aku berkata suaranya biasa saja. Padahal itu masih lebih baik daripada harus mengatakan suaranya mirip dengan software. Itu kan sama saja dia disamakan dengan go**le translate.
"Tapi ya sudahlah. Aku tidak mengerti mengapa laki-laki selalu dianggap salah. Padahal itu salahnya sendiri yang terlalu 'bodoh'. Seharusnya dia tahu kalau aku sebenarnya sedang berusaha membuatnya sadar. Ini tidak adil. Mengapa orang yang peduli seperti aku ini dikatai 'baka-ito'?
"Hari ini, aku menemukan sebuah surat di dalam loker sepatu. Aku tidak sempat membukanya, tapi aku tahu kalau itu dari Honoka. Tanpa menunggu lama, aku langsung mengembalikan surat itu padanya yang ternyata masih ada di sekolah. Anehnya, dia malah menangis.
"Lagi-lagi aku tidak mengerti dengan sikapnya. Aku hanya mengatakan apa yang terlintas di pikiranku. Iya, pasti, ia menganggap aku ini menyebalkan. Karena itu tidak mungkin dia jatuh cinta padaku. Itu tidak salah, kan? Tidak akan ada perempuan yang mencintai orang yang selalu berdebat dengannya.
"Honoka, kau itu menyebalkan. Seharusnya kau tidak pernah ada dalam hidupku. Sayangnya, keluarga kita begitu dekat. Jika kau memang suka padaku, aku tak bisa melarang. Lagipula tidak semudah itu memanipulasi perasaan seseorang. Tapi ... aku tahu itu mustahil. Karena itu aku berusaha keras untuk tidak pernah tertarik padamu."
Keiko kembali tertawa. Kali ini ia tidak bisa menahan diri untuk tidak terbahak hingga mengeluarkan air mata. Ia benar-benar tak menyangka adiknya yang terkadang begitu cuek dan pemalas itu bisa menjadi sangat melankolis dalam catatan hariannya. Sampai-sampai ia bingung antara harus merasa geli atau prihatin atas kejadian yang menimpa laki-laki itu.
Kaito yang sudah bosan karena hampir tiga menit diabaikan di kamar itu semakin heran. Tanpa pikir panjang, ia segera merebut kertas itu. Akan tetapi, Keiko refleks menangkisnya. "Aku benar-benar tidak menyangka hubunganmu dengan Shiratori-chan sampai seperti ini," kekehnya.
Kaito tersentak. "Shiratori-chan" adalah panggilan yang diberikan kedua kakaknya untuk Honoka. Seketika itu ia tersadar akan catatan yang tidak sengaja ia tinggalkan di atas meja. Ia benar-benar malu. Dengan segenap kekuatan yang tersisa, ia mencoba merebut catatan tersebut dari genggaman Keiko. Akan tetapi, semua itu sia-sia. Keiko dengan cepat berkelit hingga tubuh adiknya malah jatuh di atas tumpukan barang.
Kaito meraba benda dingin di tangannya. Sebuah ide dengan cepat muncul dalam benaknya. Ia tersenyum licik sambil mendekatkan ujung benda itu ke punggung tangannya. "Onee-chan, jangan biarkan aku melakukannya," ancam laki-laki itu. Keiko terbelalak lalu segera menyerahkan catatan di tangannya. Ia sudah tidak mau melihat cairan merah itu lagi.
Tanpa menunggu lebih lama, Kaito segera meletakkan benda tajam itu di atas meja lalu menerima catatan yang malah mempermalukan dirinya. "Terima kasih banyak, Onee-chan." Lelaki itu segera menyobeki kertas itu, memasukkannya ke dalam plastik sampah lalu merapikan kamar sebelum Keiko menemukan sesuatu yang lebih memalukan.
"Oi, Kaito." Mendengar panggilan dari kakak perempuannya, Kaito segera berhenti menaikkan buku-buku tak terpakai ke atas rak. Ia menoleh, menunggu apa yang ingin dikatakan Keiko. "Lain kali, kalau kau merasa itu tidak boleh dibaca orang lain, tulis saja di buku khusus lalu sembunyikan." Kaito hanya mengangguk samar, tidak terlalu peduli.
"Oh ya, Onee-chan. Kau pasti kenal dengan seseorang yang bernama Mai, kan?" tanya pemuda itu. Ia sama sekali tidak menoleh hingga tidak menyadari perubahan ekspresi yang benar-benar kentara di wajah kakaknya.
Wajah dinginnya benar-benar tidak terlihat seperti Keiko yang biasa dikenal ramah dan menyenangkan. Tanpa pikir panjang, ia segera berbalik lalu pergi ke kamarnya tanpa disadari oleh Kaito. Membayangkan wajah perempuan yang disebutkan namanya membuat gadis itu semakin kesal. Ia benar-benar tidak tahan lagi dengan orang yang membuat persahabatan itu menjadi hancur.
Keiko membanting pintu kamar lalu bersandar padanya. Perlahan, air matanya mulai meleleh. Ia merasa jika Kagome yang tiba-tiba lenyap dari pandangannya adalah akibat dari perbuatan Mai. "Seharusnya ... aku tidak pernah mengenal anak itu," geramnya sambil memukul-mukul pintu yang sebenarnya tidak bersalah.
Sementara itu, Kaito yang kebingungan mencari kakak perempuannya yang tiba-tiba menghilang tanpa suara. Ia mencari ke sana kemari. Hingga ia sampai di depan pintu kamar Keiko. Ia sungguh tidak mengerti kenapa nama "Mai" saja sudah cukup membuatnya kesal. Ada puluhan ribu orang di luar sana yang bernama Mai. Mengapa Keiko sampai sebegitu sensitif?
Baru saja ia hendak mengetuk pintu, suara gebrakan lain dari gadis berkacamata yang menganiaya pintu membuatnya terlonjak. Ia tahu seberapa sakit jika pukulan itu mengenai badan. Karenanya, lelaki itu memilih untuk pergi sebelum melihat pintu kamar itu hancur karena pukulan pemiliknya.
Pemuda itu memilih untuk turun ke dapur seraya berharap semoga masih ada camilan yang tersisa untuk menemani siaran anime sore kali ini. Memang, sejak kue kering di toples habis dilahap kakak perempuannya sembari menonton film drama, ia tidak pernah melihat ibunya pergi membeli lagi.
Kaito membuka pintu kulkas. Dugaannya terbukti, tidak ada apa pun di dalam sana kecuali ikan yang masih utuh serta beberapa bahan makanan mentah lain. Lelaki itu mendengus sebal. Tidak mungkin ia memakan semuanya sebagai pengganti pastry. Karena itu, ia memilih untuk kembali berbalik ke kamar.
"Kau mencari apa?" Ia hampir meloncat saking kagetnya mendengar suara orang yang tiba-tiba muncul di hadapannya.
Kaito menggaruk tengkuk yang tidak gatal. "E-eh ... Okaa-san. Ergh ... tidak ada, bukan apa-apa," elaknya sambil melambaikan kedua tangan.
Fumiko tidak ambil pusing untuk menginterogasi anak bungsunya. Ia segera meletakkan barang belanjaan di atas meja makan, kemudian mengeluarkannya satu-persatu. Kaito kembali berjalan mendekat. Tentu saja karena benda yang dia cari ada di tangan ibunya.
"Apa yang kau lihat?" tanya Fumiko tiba-tiba. Membuat putranya kembali tersentak dan bereaksi sama persis seperti sebelumnya.
"Oh ya, Okaa-san. Aku lupa memberitahumu," ucap Kaito memecah keheningan. "Beberapa hari yang lalu, aku bertemu dengan Moriya-san," lanjutnya. Fumiko hanya tersenyum tipis, menanti kelanjutan cerita pemuda itu.
Melihat reaksi sang ibu, Kaito kembali bertanya. "Apa Okaa-san masih menyimpan nomornya?" Ia menanyakan hal itu tentu saja tak lain adalah karena ingin meminta penjelasan soal mayat yang ditemukan waktu itu yang sampai sekatang belum ia ketahui secara jelas.
"Masih," jawab Fumiko singkat lalu memasukkan sebungkus kue kering ke dalam toples yang sudah kosong. Wanita itu menghela napas panjang. "Tapi ... dia menjadi sulit dihubungi beberapa tahun terakhir. Padahal, Ibu hanya ingin berbincang ringan dengannya," jelasnya.
Kaito mengangguk. Setidaknya, satu kemungkinan masih terbuka untuknya.
*
[14] Shounen: genre cerita yang ditujukan untuk pembaca remaja laki-laki.
Cukup panjang ya chapter ini. Yah, semua gara-gara "Suara Hati Tokoh Utama." Eaa ... 😆
BTW, apa cuma Ichi di sini yang ngerasa kalo alur cerita ini agak lambat kalo dibandingin sama cerita Ichi yang lain?
File 15 di "Crimson Case" udah hampir klimaks. Di "Cinereous Case", Steve udah hampir tau siapa pelakunya di File 15. Chapter 15 di "Tsuki no Ko" malahan udah mendekati ending.
Nah, Kaito. Kenapa cerita kamu lambat banget? Nggak liat cerita sebelah? (Yang buat alur siapa, yang diomelin siapa 😂)
Tapi ya udahlah. Selambat-lambatnya cerita ini, harus dijalani sampai ending 😁.
Oke, curhatnya kepanjangan. Jangan lupa tinggalkan jejak ya 😊.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top