Extra Chapter: Nani o Kakushiteru no
Title: Love Words
By: DECO*27
Featuring: Hatsune Miku
*
"Polisi telah berhasil menemukan titik terang dari kasus Akai Michi. Dari hasil olah TKP, ditemukan ratusan organ tubuh yang sebagian sudah membusuk dan tinggal hanya tersisa tulang saja. Mereka juga menemukan beberapa senjata yang diduga merupakan alat yang digunakan pelaku untuk membantai korban.
"Dari hasil pemeriksaan juga didapat fakta bahwa wanita itu mengalami gangguan secara psikis akibat peristiwa tersebut. Pelaku menyatakan bahwa dirinya juga pernah menghabisi dua orang anggota pembunuh bayaran yang disewa seseorang untuk membunuh suami, serta anaknya yang secara kebetulan menjadi saksi mata.
"Hingga saat ini, Kepolisian masih terus melakukan penyelidikan guna mendalami kasus tersebut. Belum ada kepastian mengenai motif pelaku yang sebenarnya. Polisi saat ini sedang melakukan investigasi dengan mengumpulkan keterangan dari beberapa orang saksi." Kaito panjang lebar membacakan berita tentang kasus tersebut tanpa mengalihkan pandangan dari ponsel sedetik pun.
Ichiro yang berada tepat di samping kirinya mengembuskan napas panjang. Dirinya sudah cukup jenuh mendengar nada datar laki-laki itu saat membacakan fakta-fakta yang membuatnya semakin pusing. "Aku sudah tahu itu, Kaito. Dalam lima belas menit terakhir, kau sudah mengulanginya enam kali. Bisa-bisa aku malah lebih hafal isi berita itu ketimbang materi yang akan keluar di ujian perbaikan."
Akan tetapi, alih-alih mendengar protes tersebut kemudian menghentikan aksinya, pemuda itu hanya mengedikkan bahu tak acuh. "Baguslah kalau kau hafal. Aku hanya ingin memberitahu pembaca yang belum mengerti kronologi kasusnya, walaupun sudah membaca empat puluhan chapter."
Ichiro kembali membuang karbon dioksida dari dalam tubuh dengan kasar. "Yang benar saja. Kau itu justru membuatku bosan mendengarnya." Dia berbalik melihat pemandangan halaman sekolah lewat jendela kelas. Mereka memilih untuk diam di sana setelah pelajaran usai karena tidak ada kegiatan klub.
"Aku hanya tidak mengerti soal Haruki. Kenapa dia menyerahkan diri untuk menjadi bawahan Emi yang hampir membunuhnya? Ditambah lagi, masalah Seira jauh lebih membingungkan," papar Ichiro sambil melirik lawan bicara, memastikan jika ucapannya diperhatikan dengan baik.
Kaito bersandar pada dinding pojok kelas seraya menatap langit-langit. "Aku tidak tahu pasti. Tetapi sepertinya, Haruki-senpai menderita kondisi yang dikenal sebagai Stockholm Syndrome. Itu membuat pengidapnya merasa simpati pada si penculik. Tidak jarang malah membantu pelaku menjalankan aksi kriminal." Ichiro mengangguk-angguk. Meski tidak terlalu detail, penjelasan tersebut sudah cukup untuk memuaskan rasa penasarannya.
"Sedangkan Seira .... Ah, aku tidak terlalu mengerti soal dunia 'perhantuan'. Tetapi memang ada kasus dimana arwah seseorang menggunakan tubuh orang yang masih hidup sebagai media untuk berbicara kepada orang lain. Dan dalam kasus ini, terkadang arwah tersebut sampai menjadi alter ego, seperti pada penderita Dissociative Indentity Disorder," terang Kaito panjang lebar.
Anggota klub kendo itu memandang temannya heran. "Dulu kau bilang, kau tidak terlalu mengerti tentang ilmu psikologi. Lalu kenapa penjelasanmu bisa sedetail itu?" Pertanyaan tersebut hanya dibalas dengan alis yang terangkat.
"Tidak ada. Lupakan saja," ujar Ichiro cepat. Dia kemudian mengalihkan pandangan ke arah lain, sebelum sebuah pertanyaan kembali melintas dalam benaknya. "Hei, apa kau dan Honoka masih bertengkar? Aku belum pernah melihatnya mencuri pandang seharian ini."
Kaito memajukan bibir karena membahas topik tersebut. Baginya hal itu sudah cukup membuatnya sangat jengkel. "Tidak usah dibicarakan. Itu terlalu menyebalkan untuk diingat," sahutnya.
Kemarin, Honoka melakukan siaran langsung — atas permintaan salah satu pengikut — dengan merekam dirinya yang sedang menyanyikan lagu "Love Words" sambil memainkan gitar sebagai instrumen. Namun, tempat yang digunakannya adalah ruang klub yang kebetulan kosong, tepat di sebelah dojo karate.
Tentu saja, konsentrasi Kaito yang sedang berlatih sendirian di sana terganggu. Sehingga, tanpa pikir panjang lelaki itu segera membuka pintu ruangan tersebut dan memprotes. Alhasil, suaranya ikut masuk ke dalam video live streaming. Itulah yang membuat Honoka kesal sampai hari ini.
"Itu kan salahnya sendiri. Dia pikir ruangan di sekolah ini hanya satu?" kesalnya. Mana paham ia soal niat tersembunyi dari Honoka yang ingin menjadikan lagu tersebut sebagai cara lain untuk menyatakan perasaan terpendam. Baginya, suara apa pun yang terdengar saat dia sedang latihan adalah pengganggu. Titik.
Tiba-tiba, pintu kelas kembali terbuka lebar. Orang yang baru saja dibicarakan berdiri di ambang sana. Keringat membuat wajah serta pakaian seragamnya basah kuyup seperti orang yang kehujanan. "Kaito-kun!" teriaknya seolah tidak peduli dengan napas yang memburu.
Dua laki-laki di hadapan gadis itu memandang heran. Yang menjadi perbedaan di antara mereka adalah salah satunya tampak sedikit khawatir, sedangkan yang lain tidak acuh. Yah, siapa pun pasti bisa menebak siapa yang peduli dan yang tidak.
"Kumohon ...." Honoka sedikit membungkukkan badan. "... jadilah pasangan duetku."
------x---x------
Sementara itu, Keiko yang memiliki banyak waktu luang mengundang Mai untuk datang ke rumah, dan memintanya menutup toko sementara. Dia tampak sangat antusias mengajak teman lamanya itu melakukan berbagai hal. Persis seolah-olah ia sudah amnesia mengenai kejadian yang membuat hubungan mereka sempat merenggang.
Kedua gadis itu menghabiskan waktu layaknya remaja perempuan mendekati dewasa pada umumnya. Seperti berbicara banyak hal tentang kesibukan masing-masing, menonton acara televisi dan drama, bahkan membicarakan kenakalan adik lelaki mereka masing-masing.
"Nee, Mai-chan. Jadi waktu itu, saat kita berbicara di taman, kau benar-benar mendengar suara seseorang yang mengucapkan terima kasih. Kau tidak berbohong soal itu?" tanya Keiko seraya mencomot salah satu kue yang dibawa langsung oleh sang pengelola toko.
Mai mati-matian meyakinkan temannya. "Ya ampun, Keiko-chan. Aku berani bersumpah. Itu terdengar sangat jelas di telingaku. Mana mungkin itu hanya halusinasiku saja. Lagipula, suaramu sudah jauh berubah sekarang, tidak lagi seperti perempuan yang masih anak-anak."
Sekeping kecil kue tanpa sengaja masuk ke saluran yang salah, sehingga membuat gadis bermata empat itu tersedak hingga terbatuk-batuk. Mai dengan segera menyodorkan segelas sirop yang sudah disuguhkan si pemilik rumah, menyuruh Keiko meneguknya perlahan. Setelah cukup membaik, ia berusaha mengatur napasnya.
"Benarkah?" Keiko kembali mengulangi pertanyaan sebelumnya. Kali ini, Mai membalas dengan sebuah anggukan kecil. "Itu suara yang sama dengan yang aku dengar dua hari yang lalu, di saat yang sama," lanjutnya.
Mai terperangah. Dia menutup mulut dengan kedua tangan tidak percaya. "Berarti ... jika kita berdua sama-sama mendengarnya, itu bukan hanya dalam perasaanku!" serunya.
Keiko mengangguk mantap, menaikkan posisi kacamatanya. Raut wajahnya berubah menjadi serius. "Jangan bilang ...." Dia tidak meneruskan ucapannya. Sehingga membuat Mai penasaran setengah mati akan lanjutan kalimat itu. "Itu adalah arwah Kagome yang selama ini mengikuti kita."
Gadis bermarga Fujita itu tersentak. Dia mengusap bulu-bulu di lengannya yang bergidik. Meskipun dia begitu berharap bisa bertemu kembali dengan sahabatnya itu, membayangkannya hadir dalam wujud hantu jelas akan menjadi hal yang sangat mengerikan. "Keiko, tolonglah. Berhenti membuatku takut, atau aku tidak akan bisa tidur nyenyak malam ini!" pekiknya.
Akan tetapi, Keiko sama sekali tidak mengindahkan protes yang dilayangkan kepadanya dan terus melontarkan spekulasi-spekulasi mengerikan. "Mungkin saja, selama ini arwahnya tidak bisa tenang karena keinginan terakhirnya belum terkabul. Dia selalu mengikuti kita kemana-mana karena yang dia inginkan adalah melihat kita berbaikan."
Mai semakin ketakutan. Ia membayangkan sesosok hantu anak kecil dengan rambut terurai mengikuti dirinya kemana pun. Sampai-sampai lehernya seolah menjadi kaku saat ingin menoleh ke belakang saking takutnya. "Sudah cukup, Keiko! Teganya kau menceritakan kisah seram itu padaku!" serunya dengan mata berair.
"Lagipula, aku tidak pernah menyuruhmu membayangkan cerita itu!" balas Keiko. Dia tampak seolah menganggap hal tersebut tidak semenyeramkan kedengarannya. Padahal gadis itu juga tengah menyembunyikan rasa takut yang diakibatkan oleh cerita seram yang dia karang sendiri.
Suara bel pintu menghentikan aksi gila yang dilakukan keduanya. Tanpa pikir panjang, Keiko segera bangkit untuk memberi izin kepada si pemencet bel. Mai tidak bisa menahan rasa penasarannya ketika selama hampir tiga menit temannya itu tidak kembali atau membawa seseorang masuk. Dia pun memutuskan untuk melangkah mendekat.
"Sekarang kau mau apa? Aku sudah telanjur mengundang temanku kemari. Tidak mungkin aku menyuruhnya pulang hanya supaya aku bisa pergi keluar denganmu. Lagipula, penyelidikanmu itu jauh lebih penting daripada aku, kan?" Keiko melipat kedua lengan. Dengan muka kesal, ia tampak enggan melirik lawan bicaranya.
Mai begitu terkejut ketika melihat temannya tengah berbicara dengan seorang anggota kepolisian yang waktu itu datang menginterogasi dirinya. Dia hanya bisa menatap keduanya bergantian dengan raut wajah tidak percaya, sampai akhirnya Kazuhiko terpaksa mengalah dan memilih untuk pergi.
Sebelum lelaki itu benar-benar pergi, Mai memutuskan untuk bertanya. Akan tetapi, pada akhirnya tetap saja kalimatnya tersangkut di tenggorokan. "A-ano ... jadi, kalian berdua ini ... sepasang kekasih?"
"Yah, sebenarnya bisa dikatakan begitu. Memangnya ada apa?" Keiko bertanya balik dengan wajah yang tampak lebih segar. Mai hanya bisa menggeleng cepat sebagai respons. Mimik wajah yang ditampakkan seharusnya bisa membuat gadis itu sadar jika sedang ada yang disembunyikan temannya.
Awalnya, Mai memang ingin berkata terus terang jika sebelumnya polisi muda itu pernah mengunjungi rumahnya dalam rangka investigasi, lalu diam-diam mencuri pandang seperti seorang playboy — meski akhirnya ketahuan oleh sang senior. Kazuhiko yang hampir sampai di depan gerbang segera membungkam gadis itu meletakkan telunjuk di depan bibir dengan tatapan mengerikan.
Untungnya Keiko tidak terlalu menyadari hal itu. dia tidak ambil pusing dan mengajak Mai kembali masuk. Tanpa mengacuhkan kekasihnya yang hanya mengembuskan napas berat dari depan gerbang.
------x---x------
"Oi, oi. Jangan melantur. Kau tahu sendiri kan suaraku ini jelek. Aku tidak mau dokter spesialis THT se-Jepang kewalahan menangani pasien dengan gangguan telinga karena mendengarku menyanyi," dalih Kaito. Walaupun alasan sebenarnya adalah dia masih kesal dengan gadis berambut bob itu dan berusaha sebisa mungkin menghindar.
Honoka memajukan bibir beberapa senti. "Kau terlalu berlebihan. Kalau suaramu memang separah itu, aku pasti sudah jadi tuli karena setiap hari berdebat denganmu," responsnya tidak terima.
"Kau punya warna suara yang mirip dengan partner duet Hatsune Miku di lagu itu. Ini kesempatan untukmu untuk bisa dikenal orang secara luas, Kaito." Percuma saja. Tentu saja bujukan perempuan itu gagal karena kalimat itu diberikan kepada seseorang yang sejak dulu tidak ingin terlalu menonjol.
Ichiro yang tanpa sengaja terlibat dalam pembicaraan itu, tersenyum miring. Tentu saja dia merasa itu merupakan kesempatan bagus bagi dirinya. "Nee, Honoka-chan. Daripada kau menunggu dia setuju sampai matahari terbit dari selatan, bagaimana kalau aku saja yang menggantikannya?" ia menawarkan.
Honoka melirik pemuda itu dengan tatapan sinis. Siapa pun pasti sudah bisa menebak akhir ceritanya jika hal itu benar-benar terjadi. Dia berjalan mendekati Kaito dengan wajah tertunduk. "Aku ini temanmu kan, Kaito?" lirihnya sambil mengepalkan dengan tangan. "Tidakkah kau berniat membantuku, kali iniiii saja," pinta perempuan itu dengan mata berbinar penuh harap.
Kaito melengos menghidari tatapan itu. Dia berdecak kesal. "Iya, iya. Asal jangan salahkan aku jika fans-mu itu langsung kabur dalam sehari."
Gadis itu sontak berseru girang. "Ayo, kita lakukan di tempat kemarin. Sudah kuputuskan untuk memilih lagu 'Cantarella'. Sekarang, mana yang lebih baik kita merekam video dance atau lagunya terlebih dahulu? Oh ya, kalau kau tidak mampu mengikuti gerakan aslinya, tidak masalah. Kita bisa membuat gerakan sendiri." Honoka antusias menarik lengan Kaito keluar kelas, tidak peduli dengan Ichiro yang hanya bisa menghela napas berat, meratapi nasibnya yang begitu menyedihkan.
Akan tetapi, ia tidak tinggal diam. Lelaki itu tanpa pikir panjang menyusul mereka menuju ruangan yang dimasksud Honoka. Langkahnya terasa berat, terlebih ketika melewati tangga. Masih jauh lebih berat memikul rasa iri karena gadis yang dia suka ternyata lebih menyukai teman baiknya.
Pemandangan memukau menyambut ketika pintu ruangan tersebut digeser. Di depan kamera, mereka berdua tampak begitu lihai berdansa mengikuti alunan musik. Meskipun itu jauh berbeda dengan gerakan aslinya, esensi yang ada di dalamnya sama sekali tidak hilang. Untung saja bayangan Ichiro tidak sampai ikut terekam. Pasalnya, tarian tersebut terlalu indah jika harus diulang dari awal.
Tidak sampai tiga menit, musik pun berakhir. Honoka meneguk saliva, bersamaan dengan debar jantungnya yang berpacu kencang. Tangan kanan yang saling berpegangan itu menjadi bergetar, juga tangan satunya yang bergelayut di bahu Kaito. Wajah mereka hanya berjarak beberapa sentimeter hingga desah napas pemuda itu dapat terdengar jelas.
Untungnya Ichiro dengan segera menekan tombol stop di kamera tersebut, lalu berdeham sebelum suasana semakin terasa canggung. Dia bertepuk tangan. "Gerakan yang bagus. Kuakui, aku takkan bisa melakukannya sebaik itu," pujinya, tanpa intonasi. Karena sudah pasti api cemburu semakin membara setelah melihat gerakan dansa keduanya yang tampak begitu serasi.
Honoka mengecek kembali hasil rekaman tersebut dari awal, beberapa saat kemudian tersenyum puas. "Itu sangat keren, Kaito," ungkapnya tanpa memedulikan Ichiro, seolah teman sekelasnya yang satu itu tidak ada di sebelahnya. "Tapi ini sangat melelahkan. Kita lanjutkan besok saja ya," ujarnya sambil menyeka keringat.
Saat sedang sibuk memandangi perempuan yang disukainya, Ichiro terlonjak dengan seseorang yang tiba-tiba menepuk pundaknya. "Aku sudah bicara dengan dia. Dan aku berhasil membujuknya untuk menjadikanmu partner duet lain kali," bisiknya. Kalimat itu sukses membuat orang yang hampir kehilangan semangat hidup kembali bergairah.
Tentu saja, itu hanya usaha agar mood temannya itu kembali membaik.
"Nah, sebagai tanda terima kasihku, aku akan mentraktir kali– Hwaaa!" Honoka terlalu semangat hingga tanpa sadar kakinya tersandung hingga jatuh tersungkur. Namun, secara tiba-tiba, muncul tangan yang menarik tubuhnya kemudian menahan agar tak jatuh seperti gerakan akhir dansa itu.
Gadis berambut bob itu terperangah menyadari jaraknya yang lebih dekat dari sebelumnya. Hari ini saja, sudah dua kali ia mengalami hal itu. "K-Kaito ...."
Kaito berdeham seraya mengalihkan pandangan. Tidak membiarkan matanya bertatapan dalam situasi tidak mengenakkan seperti itu. "Y-yah, maaf. Sepertinya ... aku hanya terlalu menghayati."
Honoka hanya bisa terperangah. Jika menuruti kata hati, ingin sekali ia berteriak sekencang mungkin. Dia hanya dapat bergumam.
"Nani wo kakushiteru no, Kaito?"
*
https://youtu.be/0HAFjnOF77Q
Song: Cantarella ~Grace Edition~
By: White Flame (KurousaP)
Featuring: KAITO, Hatsune Miku
.
.
.
.
.
.
23 Oktober 2020, 13:50 WITA.
Nani wo Kakushiteru no? : "Apa yang kau sembunyikan."
Ending dari bonus chapter yang agak menggantung begini, sudah tanda-tandanya kalo Ichi berniat bikin sequel 🤭.
Kenapa Ichi milih judul panjang banget kayak di atas? Karena di chapter ini, ada beberapa hal yang mungkin terkesan remeh (salah satunya suara Kagome yang ternyata bisa didenger Keiko dan Mai), tapi mungkin jadi pertanyaan bagi sebagian dari kalian. Jadi, judulnya seolah mewakili rasa penasaran gitu.
Dan seperti biasa, jangan lupa vote dan comment 😊.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top