Epilogue: Far Outside The Cage
Kupandangi semua orang yang satu-persatu mulai beranjak pergi, hingga benar-benar menyisakanku, Papa, dan beberapa Polisi yang masih lalu lalang. Mereka tampaknya sibuk sekali dengan kegiatan masing-masing, sampai tak ada yang memerhatikan. Tapi ya sudahlah, setidaknya Mama sudah mendengar semua ungkapan perasaanku.
Aku tahu, sebenarnya Mama tidak jahat. Dia hanya belum menerima takdir yang memerintahkanku untuk pergi terlebih dahulu. Mama hanya kesepian. Karena itu dia sampai melakukan cara-cara aneh agar aku bisa kembali. Akan tetapi, itu malah menjadi PR besar untuk menyadarkannya.
Mama sangat menyayangiku, semua tahu itu. Andai saja waktu itu aku mendengarkan pesan Mama untuk menjauhi orang-orang tak dikenal, pasti semua kejadian ini tidak perlu terjadi. Ya sudahlah, kata Papa memikirkan yang sudah terlewat adalah sia-sia dan tidak akan pernah mengubah apa pun.
Selama empat belas tahun, aku mengamati setiap kegiatan Mama. Pada awalnya aku terkejut, kupikir dia bukan Mama lagi. Namun, ketika dia menangis saat melihat foto bertiga — saat masih ada Papa — dugaan tak berdasar itu akhirnya lenyap. Pada saat itulah aku menemui Seira lewat mimpi, berharap dia mau membantuku. Syukurlah, ternyata adik sepupuku itu berhasil mempertemukan kami kembali di saat yang tepat.
Akhirnya setelah sekian lama berdiam diri, aku memutuskan untuk pergi dari rumah yang sudah disegel garis kuning melintang. Entah bagaimana nasib bangunan itu nanti. Tampaknya Papa tidak bisa berhenti memikirkan hal itu. Dia berdiri tepat di depan pintu depan dengan wajah dipenuhi pikiran berat.
Sudah kuputuskan untuk berjalan-jalan keliling kota. Langit malam yang semakin gelap menambah keindahan Tokyo yang tenggelam dalam gemerlap cahaya lampu. Semua sudah jauh berbeda dengan empat belas tahu lalu, sampai-sampai aku tak henti-hentinya memandang kagum. Syukurlah, aku bisa sedikit lebih tenang karena sepertinya dunia tidak bersedih lagi atas kepergianku.
"Kagome kagome. Kago no naka no tori wa. Itsu itsu deyaru. Yoake no ban ni. Tsuru to kame ga subetta. Ushiro no shoumen daare?"
Kuulangi terus lagu tersebut seolah-olah tidak pernah merasa bosan dengan liriknya. Entah kenapa, aku sangat menyukainya. Terlebih ketika Mama yang bernyanyi dengan suara indah itu. Saat mendengarnya, perasaanku menjadi sedikit lebih baik seolah semua kesedihan menguap.
Aku memang burung dalam sangkar. Ya, itu bukanlah hal buruk. Mama dan Papa telah menjadi sangkar untuk melindungiku dari dunia luar. Bukan berarti mereka tak membiarkanku bebas. Karena kenyataannya aku hanyalah burung kecil yang bahkan belum mengerti cara untuk terbang.
Tanpa terasa, malam telah berganti menjadi pagi. Setelah puas berkeliling kota tanpa merasa lelah atau mengantuk, kini tiba saatnya aku akan mengunjungi taman bermain sesuai rencana. Itu adalah tempat penuh kenangan dimana dulunya aku sering menghabiskan waktu sepulang sekolah, bersama kedua sahabatku.
Di tengah-tengah taman, terlihat seseorang berdiam diri cukup lama. Meskipun posisi matahari sudah cukup tinggi, dia tetap bergeming di sana. Seolah-olah yang diinginkannya hanyalah menikmati angin musim gugur. Siapa sebenarnya dia? Mengapa ia enggan sekali meninggalkan tempat ini seolah ada suatu hal yang membuatnya merasa terikat?
Karena penasaran, aku akhirnya memberanikan diri melihatnya dari dekat. Sebelum akhirnya terkejut lantara melihat wajah yang dihinggapi kacamata bergagang plastik itu. Ya Tuhan! Tidak salah lagi, itu Keiko. Tidak kusangka, dia sudah tubuh besar dengan paras secantik itu, juga aura yang sudah jauh lebih dewasa.
Angin bulan September membuat rambut panjangnya yang kali ini tidak lagi diikat menjadi dua berkibar-kibar. Dia mengenakan seragam kebanggaan salah satu terbaik universitas di negeri ini. Aku yakin, Keiko pasti sudah meraih mimpinya. Tetapi ... kenapa wajahnya tampak murung begitu? Bukankah dia seharusnya senang?
Aku kembali tersentak ketika melihat satu orang lagi yang berdiri tepat di belakang Keiko. Dia juga tampak seperti seseorang yang bersedih, tetapi tampak lebih seperti ekspresi penuh penyesalan. Tunggu! Jangan bilang itu Mai. Iya, dia yang kini sudah berhasil mencapai cita-cita yaitu meneruskan usaha keluarganya. Kenapa mereka berdua tampak sedih begitu?
"Keiko-chan," panggil Mai ragu-ragu. Tangannya diluruskan ke belakang seolah mencoba menyembunyikan sesuatu di balik mantel. Yang disebut namanya hanya menoleh sedikit tanpa mimik wajah berarti. Hei, aku tidak salah lihat kan? Kemana Keiko yang dulunya ramah dan baik hati?
"Mau apa kau kemari?" dia menyahut ketus. Nada bicaranya benar-benar dingin. Tidak mungkin ini khayalan. Bukankah seharusnya aku sudah tidak bisa bermimpi lagi? Apa jangan-jangan ... mereka masih belum berbaikan sejak empat belas tahun lalu.
Kenapa kejadiannya seperti ini? Kenapa mereka masih tidak mau saling tegur sapa? Jelas ini bukan seperti yang kuinginkan. "Mai-chan, Keiko-chan ...," aku berbisik sembari meremas pita merah muda yang menghiasi gaun biru selututku. "... bukankah kita ... masih berteman?"
"Aku benar-benar minta maaf, Keiko. Maafkan keegoisanku," ucap Mai lirih dengan wajah tertunduk. Matanya yang terpejam seolah sedang melarang air mata agar tak jatuh. Akan tetapi, yang jauh lebih membuatku merasakan pilu adalah Keiko yang tetap berekspresi tak acuh seolah permintaan maaf itu hanya angin lalu.
"Mungkin sebaiknya aku jujur saja. Empat belas tahun lalu, aku tahu tentang kematian Kagome. Aku tidak sengaja mendengarnya dari para guru yang mencoba merahasiakan hal ini dari kita. Tapi ... aku tidak tega memberitahumu. Karena kau pasti akan sangat sedih menyalahkanku atas kejadian itu," terangnya sambil mengusap air mata.
Mai menarik napas panjang, seperti berusaha menahan diri agar tidak terisak. "Maafkan aku yang terlalu pengecut ... untuk mengatakan kebenaran padamu. Iya, semua ini salahku. Aku yang menyebabkan hubungan kita retak. Aku juga yang membuat Kagome menderita."
Tidak, Mai! Itu bukan salahmu. Sama sekali tidak ada hubungannya dengan kau. Berhenti menyalahkan dirimu sendiri.
"Pertengkaran kita ini ... pasti membuat Kagome sedih. Dan itu semua salahku. Aku mengerti alasan mengapa aku tidak pantas dimaafkan. Tidak masalah. Jika ini akan menjadi hari terakhir kita bertemu, tidak masalah kau akan melupakanku. Aku hanya ingin menyampaikan hal ini. Seandainya, waktu itu kalian berdua tidak pernah mengenalku, kurasa semua akan jauh lebih baik," ujar Mai panjang lebar.
Sudahlah, hentikan semua penyesalanmu, Mai. Itu sama sekali bukan salahmu. Aku pantas mendapatkan semua ini. Aku juga bersalah atas pertengkaran kita waktu itu. Aku salah karena diam saja dan tidak melerai kalian. Seharusnya waktu itu ... aku memaksa kalian berbaikan, bukan hanya diam menonton. Iya, ini semua adalah salahku.
Dadaku benar-benar terasa sesak. Andai saja aku masih memiliki air mata, maka tak ada kemungkinan untuk menahan tangis. Tidak, aku salah. Seluruh dunia memang sudah melupakan diriku. Tapi tidak dengan mereka berdua. Kepergianku rupanya masih meninggalkan konflik yang belum terselesaikan. Keiko, Mai, sudahlah. Lupakan masalah itu. Semua seharusnya sudah berakhir saat aku pergi.
Keiko tampak terdiam cukup lama, entah apa yang dipikirkannya. "Kagome ...," lirihnya.
Mai mengembuskan napas panjang. Menyeka air mata yang masih belum berhenti mengalir. "Jika sudah tak ada maaf bagiku, tidak apa-apa. Aku hanya ingin kau menyimpan ini. Setelah itu, kau boleh melupa–"
Reaksi dari Keiko benar-benar membuatku terkejut. Kukira dia akan menyahut dengan perkataan dingin dan sinis seperti sebelumnya. Ternyata salah. Dia berbalik kemudian memeluk erat Mai dengan air mata berderai. "Mai-chan!"
Mai tampak begitu syok, perlahan membalas pelukan Keiko dengan tatapan bingung. "Maafkan aku juga. Aku yang terlalu keras kepala sampai tidak mau merespons permintaan maafmu sejak dulu," lanjut gadis yang kini memakai kacamata itu.
"Kalian berdua ...." Kini aku tak bisa menahan sedan yang menjadi pengganti air mata. Melihat mereka seperti itu benar-benar membuatku bahagia. Terima kasih banyak, Mai-chan, Keiko-chan. Dengan begini aku tidak perlu lagi menanggung penyesalan.
Setelah cukup lama, mereka berdua melepaskan pelukan. Mencoba tersenyum meski tampak benar-benar dipaksakan. "Kagome tidak mungkin kembali. Tapi, setidaknya kita mewujudkan keinginan terakhirnya," ungkap Mai. Keiko mengangguk setuju, tentu saja bukan dengan wajah dingin itu.
Itu benar. Terima kasih banyak sudah melakukannya ... untukku.
"Oh ya." Mai sepertinya hendak mengeluarkan benda yang disembunyikan sejak tadi, aku dapat melihatnya sedikit. Keiko melirik penuh rasa ingin tahu. "Aku ingin memberimu ini," katanya. Dia menunjukkan sebuah kotak kayu yang masing-masing sisinya berukuran lima belas sentimeter dengan ukiran halus, tampak sangat familier bagiku.
Keiko terperangah, ragu-ragu menerima kotak tersebut. "Aku ingat sekali. Dulu kau menyukai kotak musik seperti yang menjadi salah satu koleksi di rumah Kagome. Jadi, aku mengumpulkan uang selama bertahun-tahun, agar dapat membeli benda ini dengan kualitas terbaik. Selera bibiku benar-benar bagus. Walaupun mungkin tidak akan sama dengan yang waktu itu, tetapi anggap saja ini sebagai permintaan maafku karena telah membuatmu kehilangan Kagome," jelas Mai sambil memainkan ujung lengan mantel, kebiasaannya yang sampai sekarang tidak pernah berubah.
Gadis berkacamata itu mengelus kotak tersebut sembari tersenyum haru, kemudian kembali memeluk Mai hangat. Akhirnya ..., aku senang sekali kalian kembali berbaikan. Tetaplah menjadi sahabat sampai kapan pun, sampai kita bertemu kembali suatu hari nanti. Aku akan selalu memerhatikan kalian.
Tiba-tiba, tanganku mengeluarkan cahaya aneh. Angin mendadak bertiup lebih kencang, hingga daun-daun maple beterbangan. Tubuhku berubah menjadi serpihan kecil yang melayang ke atas langit. Ini saatnya aku kembali. Tugasku sudah selesai. Semua orang sudah menerima takdir kematianku. Senyuman kalian telah mengangkat segala penyesalan yang masih tersisa semasa hidupku.
"Minna, arigatou."
END
https://youtu.be/x92jwlXRfBA
*
Songs ini Multimedia
Ichiban no Takaramono (Angel Beats Ending)
Singer: LiSA
Reboot
By: Jimmy Thumb P
Featuring: Hatsune Miku, Megurine Luka, Samune Zimi (Vocaloid)
21 Oktober 2020, 13:40 WITA
Alhamdulillah, akhirnya bisa tamat juga cerita ini 😄.
Menurut kalian gimana? Apa feel-nya kerasa, atau garing?
Komen juga dong, apa perlu dibikin bonus chapter atau side story? Kalo iya, maunya tentang apa? Ichi tunggu jawaban kalian.
See you on another work 😁.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top