Eleventh Cage

Untuk yang ke sekian kali, di kelas 2-2 hanya tampak seorang pemuda yang tak lain adalah Kaito. Pagi ini sama seperti sebelumnya, lagi-lagi ia hanya duduk diam di bangku legendaris miliknya menopang dagu seraya menatap keluar jendela. Entah sampai kapan hal ini akan terus berulang. Tak ada tahu. Barangkali sampai ia menemukan orang yang juga 'fobia terlambat' seperti dirinya.

Seseorang pernah berkata jika dunia tidak pernah sama setiap detik. Namun, apa yang dialami Kaito seolah menyanggah hal tersebut. Hingga sekarang, hening menguasai seluruh penjuru, sama seperti pagi sebelumnya. Hanya ada helaan napas yang dapat didengar oleh dirinya sendiri yang tenggelam dalam dunia imajinasi tak berujung.

Keheningan yang nyaris sempurna tersebut seketika hancur ketika seseorang membanting pintu kelas. Dan ini ... masih sama seperti hari sebelumnya. Orang yang sampai di kelas kedua sudah pasti bisa ditebak oleh siapa pun, saking familiernya dengan adegan ini. Kaito menoleh perlahan, hingga kedua matanya bertemu dengan orang yang berdiri tepat di bawah bingkai pintu.

Orang itu berjalan mendekat. Langkahnya terlihat benar-benar mantap. Dengan wajah tanpa ekspresi, ia menatap tajam ke arah lelaki itu. "Ishida Kaito," katanya. Kaito mengenyit ketika menyadari ada hal yang berbeda pagi ini. Benar-benar aneh ketika orang itu memanggilnya dengan nama lengkap.

"A-aku ...." Ucapan orang itu terhenti. Seolah ada yang sengaja membuat tenggorokannya tercekat. Ia mengepalkan kedua tangan demi menyembunyikan jemari yang bergetar. "Aku .... Aku mencintaimu, Kaito!" serunya setelah berusaha keras berperang melawan keraguan yang masih terselip dalam dada.

"Honoka, apa kau sakit?" Kaito meraba kening gadis berambut bob itu. Ia menyingkirkan poni agar bisa leluasa memeriksa suhu tubuh layaknya seorang dokter. Mana peduli dia soal berapa jam waktu yang dibutuhkan gadis itu hanya untuk merapikan rambut.

Perempuan itu sama sekali tidak marah karena rambut bagian depan yang kini sedikit terurai. Honoka tiba-tiba berkeringat dingin meskipun suhu di ruangan itu cukup rendah. Dan tentu saja, irama jantungnya kembali berubah. Ia sangat gugup. Sungguh tak pernah disangka jika dirinya bisa berada dalam jarak sedekat itu dengan Kaito.

"He-hentikan itu ... Kaito-kun," katanya sembari menepis telapak tangan lelaki itu. Dia sudah tak tahan lagi. Tak peduli soal perasaan bahagia yang benar-benar aneh ini.

"Kau berkeringat dingin. Mungkin sebaiknya kubawa kau ke ruang kesehatan," ucap Kaito tanpa intonasi. Honoka mendengus, tak tahu harus bereaksi seperti apa. Di satu sisi dia merasa sedikit senang karena lelaki itu tampak perhatian padanya. Namun, di sisi lain gadis itu benar-benar sebal karena mendapat tanggapan begitu. Seolah pernyataan cintanya merupakan hal teraneh yang ada di dunia ini.

"Kau tidak bisa mempermainkanku, Honoka. Aku tahu, orang-orang sering mengejekku yang belum pernah memiliki kekasih. Tapi sayang, aku tak akan semudah itu tertarik pada ejekan cara barumu ini," papar laki-laki itu tanpa beban seraya kembali ke posisinya semula.

Honoka mengembungkan pipi yang memang dari awal sudah bulat. Gadis itu mengepalkan tangan hingga buku-buku jemarinya mengeluarkan bunyi gemertak. Ia kesal karena ushanya dalam meniru cara sang tokoh dalam novel yang dibeli kemarin justru ditanggapi seperti itu. "Kaito ...," geramnya.

"Kau ... benar-benar tidak peka. Baka-ito!" teriak Honoka marah. Seperti hari sebelumnya, reaksi Kaito hampir tak pernah berubah. Bangkit dari kursi, menatap garang musuh bebuyutannya, kemudian membalas dengan ejekan yang selalu sama seperti sejak pertama kali mereka bertemu.

Lagi-lagi, membuat siswa lain yang baru datang hanya bisa menggeleng melihat tingkah kekanakan mereka. Termasuk seorang lelaki yang berdiri di tak jauh dari mereka berdua. Dia hanya bisa menepuk dahi dengan gulungan koran berisi berita yang ditemukannya kemarin secara tidak sengaja. Niat ingin membahas rumor itu lenyap seketika melihat perdebatan pagi ini.

"Baik, sudah cukup. Ini sudah episode ke berapa juta dari pertengkaran kalian yang tidak pernah tamat." Ichiro menghentikan perdebatan dengan gulungan koran yang ia gunakan untuk menimpuk kepala mereka masing-masing. Kaito dan Honoka memang berhenti berteriak-teriak. Namun, sorot mata yang seolah bisa memancarkan sinar laser lebih dari cukup untuk menggantikan kata-kata.

"Hari ini, aku punya satu hal yang jauh lebih menarik daripada kata 'Baka-ito' dan 'Aho-noka'." Lelaki itu membentangkan lembaran koran yang sudah tampak lusuh di atas meja Honoka. Kedua pasang mata itu segera mengintip dengan antusias. Mencoba membaca beberapa tulisan yang tampak samar dimakan waktu.

"Kagome? Sepertinya aku pernah mendengar nama itu?" gumam Kaito sambil mencoba mengingat-ingat. Dia tidak tahu apa pun soal pemilik nama itu, kecuali kemiripannya dengan judul lagu yang dia bicarakan dengan kakak perempuannya beberapa malam yang lalu.

Itu dia! batin laki-laki itu. Ia sekarang ingat. Kagome adalah nama sahabat kecil Keiko yang hilang setelah kematian ayahnya. Awalnya ia sedikit tersentak ketika melihat anak itu diberitakan tewas secara misterius di jalan yang sekarang dijuluki Akai Michi empat belas tahun yang lalu.

Jika Kagome memang seumuran dengan Keiko, maka bisa dipastikan anak itu meninggal pada usia sebelas tahun. Menurut informasi yang beredar, itu persis beberapa waktu sebelum rumor mengenai Akai Michi beredar luas. Apa pun itu, Keiko pasti akan sedih jika mengetahui nasib sahabatnya yang begitu tragis.

Aku justru lebih familier dengan wajahnya, pikir Honoka sembari mengamati foto anak perempuan berambut seleher itu. Namun, tetap saja ia tak kunjung menemukan apa yang familier serta siapa yang mirip dengan wajah dalam koran. Ia menghela napas panjang. "Kenapa aku tidak bisa mengingatnya?"

"Oh ya, Honoka. Di mana Seira? Jika dia sudah termasuk tim kita, maka dia harus ikut berdiskusi," sela Ichiro setelah cukup lama mengamati kedua temannya yang berusaha keras menemukan petunjuk.

Honoka sedikit tersentak ketika menyadari hal yang sama. Sejak pagi, ia memang tidak bisa menemukan tetangganya itu. Karena itu dia memilih untuk berangkat sendirian. Tentunya, selain karena ingin menyatakan perasaan pada seseorang yang selalu datang paling awal tanpa diketahui siswa lain.

"Ehm ... tadi malam dia bilang, dia ada urusan. Tapi ... tidak mungkin juga sampai bolos sekplah." Gadis berambut bob itu malah bingung sendiri akan keberadaan Seira. Membuat kerutan pada kening Ichiro kembali tercetak jelas.

------x---x------

Sementara itu di tempat lain.

Keiko menatap laki-laki seumuran kakaknya itu. Dengan tatapan penuh tanda tanya, ia mendengarkan pembicaraan kekasihnya dengan seseorang lewat sambungan telepon. Gadis berkacamata sungguh tidak bisa menahan rasa ingin tahu walaupun hanya sebentar. Dia bahkan rela mengabaikan minuman favoritnya yang dibeli dengan harga yang benar-benar tidak bersahabat.

"Baik, saya akan segera ke sana," ucap Kazuhiko lalu mematikan sambungan telepon. Sedikit terkejut dengan wajah Keiko yang tampak seperti seekor anak kucing menanti diberikan ikan dari kaleng sarden. "Maaf, Keiko. Aku harus pergi." Lelaki yang bahkan masih berseragam itu berjalan meninggalkan meja dengan dua gelas kaca berisi milkshake yang hanya tertinggal sepertiga.

"Tunggu sebentar, Kazu-chan! Aku rela begadang mengerjakan tugas kuliah agar aku bisa berkencan denganmu hari ini. Dan sekarang, kau meninggalkanku begitu saja. Tidak akan kubiarkan. Paling tidak, biarkan aku ikut denganmu!" sergah Keiko sembari mencengkeram pergelangan petugas penegak hukum itu.

Kazuhiko menghela napas panjang. Ia tak bisa melawan perintah atasannya. Akan tetapi, membuat kekasihnya marah tetap saja mengerikan. "Kazu-chan, kau tidak mau aku melakukan itu lagi kan?" pinta gadis berkacamata itu sambil meremas jemari hingga mengeluarkan bunyi. Sehingga lelaki itu hanya bisa menelan ludah.

"Baiklah, kau boleh ikut," putus Kazuhiko setelah membuang napas sepanjang-panjangnya. Dia pasti akan mendapat masalah yang lebih besar jika tidak segera pergi ke tempat atasannya sekaligus membuat Keiko marah dalam waktu yang bersamaan.

Kedua mata Keiko melebar. "Benarkah?" gadis berkacamata itu meminta konfirmasi. Kazuhiko hanya mengiyakan sembari berjalan keluar kafe tanpa menoleh. "Terima kasih, Kazu-chan!" serunya sambil memeluk erat-erat lengan polisi yang bisa berubah menjadi shinigami jadi-jadian itu.

Lelaki berseragam lengkap itu tersenyum tipis. Keiko tampak sangat manis dalam situasi seperti ini. Akan tetapi, bisa berubah menjadi lebih menyeramkan daripada monster jika berada dalam dojo karate. Bahkan preman paling garang pun bisa babak belur jika mencari masalah dengannya.

Kafe yang mereka pilih untuk menghabiskan waktu kebetulan tak jauh dari TKP yang tak lain adalah Akai Michi. Entah karena sebuah kebetulan atau bukan, angin kecang tiba-tiba berembus. Hampir bersamaan dengan suara langkah pelan di belakang mereka. Membuat firasat buruk muncul di benak Kazuhiko.

Tidak, ini pasti salah. Tidak mungkin aku dibuntuti, pikirnya.

*

"Nasib punya pacar pinter karate."

Ichi lupa kemarin siapa yang komen gini? Yang merasa, angkat tangan dong ✋.

Intinya makasih ya. Ichi dapet ide buat bikin adegan ini. Juga buat kalian semua yang udah ngasi vote dan komen, makasih ya 😘.

Notif dari kalian bikin Ichi pengen daily update terus. Tapi sayang, mood kadang tidak mengizinkan. 😂

Oke, jangan lupa vote dan comment ya 😊.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top