Eighteenth Cage
Waktu istirahat makan siang pun akhirnya tiba. Karena hari ini Seira sudah masuk seperti biasa, Honoka memilih untuk menghabiskan waktu berdua di tempat yang cukup jauh dengan Kaito yang hampir tidak pernah berganti partner makan siang. Bahkan hingga sekarang, dia masih merasa sakit hati karena kejadian tadi. Meskipun sebenarnya itu adalah salahnya sendiri karena terlalu penasaran akan apa yang dilakukan laki-laki itu.
"Sudahlah, Honoka. Masih banyak laki-laki lain di sekolah ini." Hanya kalimat itu yang bisa diucapkan Seira untuk menenangkan sahabatnya. Akan tetapi, hingga sekarang masih belum tampak hasil yang memuaskan. "Lagi pula, kau tidak akan bisa menikmati makananmu jika kau masih menyimpan kemarahan," lanjut Seira yang sudah bosan dengan kalimat sama.
Honoka kembali mengembungkan pipi. Entah sudah berapa kali dia melakukannya hari ini. Ia benar-benar gusar, meskipun tidak ada orang lain yang bisa disalahkan atas kejadian tadi pagi kecuali dirinya yang terlalu penasaran dan tidak bisa membaca situasi. Sekalipun sudah bisa menebak ada apa dengan foto itu.
Sampai sekarang, dia memang masih menyimpan perasaan pada pemuda itu, tak peduli berapa kali ia dibuat kesal. Gadis itu juga tak tahu apa alasannya. Bahkan setelah dia tahu jika Kaito "menyukai" gadis lain, dia tidak bisa membuang rasa itu. Tak bisa dilepas seolah merupakan hal paling berharga yang dimiliki saat ini.
"Honoka! Honoka!" Seira melambaikan tangan tepat di depan mata temannya yang mulai melamun. Honoka mengerjap-ngerjap. Masih tidak percaya jika dirinya kembali melamun karena masalah itu. Seakan waktu dua jam pelajaran yang sudah terbuang sia-sia belum cukup.
"Maaf," gumam gadis berambut bob itu sembari melahap potongan terakhir.
Seira hanya tersenyum tipis sambil menutup kembali kotak bento-nya. "Ngomong-ngomong, apa aku harus ikut investigasi itu?" tanyanya lirih.
Honoka yang di saat bersamaan sedang minum hampir tersedak. Ia menatap bingung pada tetangganya. "Jangan salah paham, Honoka. Aku hanya merasa ... Kaito dan Ichiro sudah bisa menjadi tim yang lebih dari cukup. Mereka saling melengkapi satu sama lain. Sedangkan, aku mungkin lebih baik tidak ada daripada harus menjadi pengganggu," jelas Seira.
"Seira-chan, jangan berpikir seperti itu. Kau sama sekali bukan pengganggu. Lihat saja, kedua laki-laki sombong itu pasti akan meminta bantuan kita suatu saat nanti," ujar Honoka dengan nada berapi-api. Diam-diam Seira menghela napas. Helaan ribuan arti, yang bahkan satu pun di antaranya tidak bisa ditebak oleh gadis di hadapannya.
"Ayolah, Seira-chan. Kita buktikan jika perempuan tidak selemah yang mereka pikirkan," pinta Honoka dengan mata berbinar-binar. Seira yang tidak tahan dengan tatapan seperti itu mencoba berpaling. Akan tetapi, kedua mata gadis itu seolah sudah memberinya mantra agar menurut.
Seira menghela napas berat. Tidak punya pilihan lain agar bisa bebas. "Baiklah, aku tetap ikut," jawabnya singkat. Honoka berseru senang lalu memeluk erat tetangganya tanpa pikir panjang. Seolah tidak peduli dengan orang-orang di sekeliling mereka yang menoleh heran, sesaat kemudian kembali sibuk sesuatu di hadapan mereka.
Mereka tidak sadar jika ada sepasang mata lagi yang menatap tajam ke arah mereka dengan ekspresi tidak suka.
------x---x------
Tanpa terasa, waktu pulang sekolah tiba. Beberapa menit yang lalu, Honoka terus berusaha untuk tidak melamun dan tetap fokus pada pelajaran meskipun orang itu ada di belakangnya. Karena baginya, memikirkan seseorang yang tidak peduli itu tidak berguna. Akan jauh lebih baik jika seandainya dilupakan.
Seira tidak bisa pulang bersama gadis itu seperti hari-hari sebelumnya. Ia sendiri tidak mengerti. Mengapa jadwal klub sastra bisa sepadat itu sehingga mereka tidak bisa pulang bersama seperti dulu? Sebenarnya apa saja yang klub itu lakukan sehingga Seira selalu beralasan sibuk dengan berbagai kegiatan?
Tidak ingin bingung sendiri memikirkan apa yang dilakukan teman kecilnya, dia memilih untuk segera pulang. Sendiri, tentu saja. Ia sama sekali tidak berniat mencari Ichiro atau laki-laki menyebalkan yang satunya itu. Sekuat tenaga ia akan berusaha mengabaikan perasaan rindu karena tidak bertemu seharian. Lagi pula dia tidak peduli padaku, batinnya.
Langkahnya seketika terhenti saat seseorang dengan tingga badan yang terpaut dua puluh sentimeter darinya menghadang jalan. Ia bisa menebak satu-satunya orang yang rela menghabiskan waktu bertengkar setiap pagi dengannya di sekolah ini. "Apa yang kau lakukan?" Honoka bertanya dengan nada tak suka. Matanya bahkan menghadap tanah, alih-alih fokus pada lawan bicara.
"Menurutmu apa?" laki-laki itu balik bertanya dengan suara berat khasnya. Honoka hanya menghela napas panjang, tidak menjawab. Ia benar-benar tak habis pikir dengan hal aneh yang dilakukan anak itu sekarang. Bukankah dia sudah berkata jika dia menyukai gadis lain?
"Sudahlah, Kaito. Kau suka pada gadis itu, kan? Lakukan saja apa pun yang kau mau dengannya. Dan ... jangan pernah cari aku lagi," ujarnya datar sambil mencoba melewati tubuh pemuda itu, tetapi selalu gagal.
Kaito merentangkan kedua lengan dengan ekspresi serius. Kalimat Ichiro saat makan siang terngiang-ngiang di telinganya. "Perempuan itu memang sulit dimengerti. Karena itu, kau harus lebih berhati-hati dengan ucapanmu. Sebab jika mereka tersakiti, mereka takkan mengatakannya secara langsung. Sehingga mau tidak mau, kita sebagai laki-laki harus lebih peka."
Kaito menurunkan kedua lengan setelah memastikan gadis berambut pendek itu tidak akan kabur, memasang raut wajah menyesal. "Maaf soal yang tadi pagi," ungkapnya singkat. Honoka tetap membisu. Hanya merespons dengan gelengan samar.
"Kau tidak perlu minta maaf. Itu salahku sendiri," balasnya tanpa intonasi. "Seharusnya ... aku tidak ikut campur dalam hubungan kalian," lanjutnya.
Kaito balas menggeleng. "Tidak, itu salahku. Aku lupa bilang jika anak perempuan dalam foto itu adalah sepupuku. Kupikir detail semacam itu tidak akan penting untukmu. Itu sebabnya aku hanya diam," jelas lelaki itu.
Honoka tertegun. Kemarahannya seketika padam mendengar penjelasan itu. Ia benar-benar merasa bodoh karena telah berprasangka buruk tentang gadis dalam foto itu. Dia mengangkat wajah semi melihat ekspresi menyesal yang ditunjukkan Kaito. "Sudah kubilang. Tidak usah minta maaf. Itu bukan salahmu," ucapnya dengan nada yang bersahabat.
"Tapi kau marah padaku, kan?" tanya Kaito lagi.
Honoka menggeleng samar. "Aku tidak marah. Sudah kubilang, kau tidak perlu minta maaf soal itu," ucapnya sambil menyisipkan poni ke telinga, tanpa ekspresi. Akan tetapi, ia tidak bisa berbohong soal perasaan bahagia yang muncul setelah mengetahui fakta itu.
"Ya sudah. Kalau begitu, boleh aku bertanya satu hal?" Kaito kembali bertanya. Honoka menatapnya antusias. "Kau yakin soal Seira yang ikut dalam investigasi ini?" Gadis itu mengernyit bingung. Ada masalah apa dengan teman kecilnya hingga pertanyaan semacam itu muncul. Dia tahu jika Seira memang hampir tidak pernah ikut dalam aksi apa pun yang mereka lakukan. Namun, apa hanya karena masalah itu?
"Kenapa?" tanya Honoka tidak mengerti.
"Yah, aku hanya merasa ada beberapa hal yang tidak beres darinya. Apa kau tidak sadar?" Kaito bertanya balik. "Dia seperti sedang menyembunyikan sesuatu dari kita. Itu benar-benar mencurigakan," lanjutnya.
Honoka mengerutkan dahi. "Aku tahu, dia memang menyembunyikan sesuatu soal masa lalunya. Tapi, kurasa itu tidak bisa membuat Seira menjadi tersangka," jelasnya.
"Asal kau tahu saja. Saat makan siang dia meminta izin padaku untuk meninggalkan investigasi ini. Aku berpikir itu bisa membuktikan segalanya. Jika dia memang pelakunya, dia pasti akan memastikan kita percaya seratus persen padanya. Jadi, dia bisa mendapatkan informasi soal perkembangan penyelidikan ini," dalihnya panjang lebar.
"Justru itu lebih mencurigakan. Bisa saja dia sengaja melakukan itu karena tahu jika kau tidak mungkin memberi izin. Jadi, dia berusaha membuatmu percaya padanya dengan cara itu," sanggah Kaito.
"Baiklah, akan kubuktikan jika analisismu salah," ujar Honoka yang tidak terima teman kecilnya dicurigai sambil menunjuk wajah Kaito yang jauh lebih tinggi darinya.
"Oke, bukan masalah. Akan kutunjukkan jika kaulah yang salah," balas lelaki itu. Mereka berdua melempar tatapan tajam satu sama lain, lalu melengos beberapa detik kemudian.
Dari kejauhan, seseorang mengamati tanpa mereka sedari dengan raut wajah yang entah apa maksudnya. "Baguslah," gumamnya.
*
Yei! Akhirnya Ichi bisa update lagi 😄. Ada yang nungguin nggak?
Setelah ini, Ichi nggak janji buat daily update lagi. Karena satu dan lain hal, Ichi nggak yakin bisa nulis 1000++ kata per hari. Tapi tenang aja. Ichi akan tetep berusaha update teratur. Paling lambat dua kali semunggu.
Tapi kalo sibuknya kebangetan, mungkin cuma bisa sekali seminggu. Tapi ... nanti aja kita liat. Semoga nggak sampe slow update. Soalnya, Ichi juga serasa diteror (walaupun nggak ada yang nanyain update 😆)
Okeh, don't forget to leave vote and comments 😊.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top