Path-09
Sebutir air hangat menetes ke pipiku. Aku mengerjap pelan. Rasa pusing masih terasa di kepala. Mataku menangkap gugusan bintang kecil bertaburan di langit malam. Telingaku menangkap suara ladam kuda.
"Akhirnya kau siuman, Eir!" kata Hunju, dengan mata memerah. Sepertinya tetesan air di pipiku berasal dari air matanya.
"DIAM KALIAN! JANGAN BERISIK!"
Bentakan itu mengagetkan kami bertiga. Hmm. Setelah kuperhatikan, kami berada di kereta gerobak tertutup. Dengan tangan yang diikat, tak pelak lagi, kami diculik. Sopir Taksi tadi kemungkinan makelarnya.
Puh! Mendekati seseorang yang kesusahan dengan taksi, membuat first impression yang keren untuk memikat hati target incaran, membuatku mual karena teringat mengatakan Pak Sopir itu orang baik.
"Kalian tidak apa-apa?" tanyaku. Peduli amat dengan situasi kami. Yang terpenting bagiku dulu adalah keselamatan temanku.
"Kami jauh lebih baik melihat kau sudah bangun, Eir," gumam Roas. "Kami pikir kau kenapa-kenapa karena sejak kecil kau alergi obat tidur. Kau tak bangun-bangun dari tiga jam lalu. Syukurlah kau siuman."
Aku menggeleng. Seharusnya aku yang berkata demikian. Hunju dan Roas sudah kuanggap sebagai orangtua keduaku. Kalau terjadi sesuatu pada mereka, aku tidak tahu apa aku bisa mengendalikan diri.
"Bisakah kalian berhenti alay? Sungguh drama persahabatan yang menggelikan," cetus salah satu dari dua orang di depan kami, juga merupakan korban penculikan.
Hunju dan Roas memperbaiki posisi duduk. Aku mengabaikan sindiran gadis barusan. Pakaiannya seperti seragam PERINGGI (Perguruan Tinggi). Apa dia mahasiswa?
Kalau orang di sampingnya... Aku menilik sosok itu dari atas sampai bawah. Jubah yang dia kenakan tampak familiar. Aku menelan ludah. Astaga! Bukankah dia sandera yang nyaris dibunuh Roh Jahat level 7 tadi pagi? Kebetulan macam apa ini.
"Kita akan dibawa ke mana?" bisik Roas.
"Aku lebih penasaran ini di mana."
Hunju terkantuk-kantuk. Maklum karena kurasa sekarang jam duabelas malam.
"Provinsi Itya," jawab gadis kuliahan itu. "Aku yang siuman pertama dan mendengar obrolan mereka. 'Kami telah mendapatkan tumbal yang segar dan segera mengantar mereka ke markas' begitu katanya."
Tumbal? Memangnya tumbal-tumbalan masih ada di Tora yang modern...
Dia bilang kami di Itya, kan? Aku dengar kepercayaan mistis ditinggalkan, namun di bagian pelosok Provinsi Itya, masih ada segelintir penduduk yang memeluknya.
"A-apa kita akan dibunuh?" cicit Hunju. Kantuknya sirna demi mendengar ucapan kakak kuliahan itu. "E-Eir, bagaimana ini?"
"Sudah, jangan takut." Roas menghibur Hunju yang gemeteran, menatap si gadis kuliahan. "Apa kalian tidak takut?"
"Takut buat apa? Ini memang rencanaku. Yah, kalau untuk dia..." Kakak kuliahan itu melirik pria berjubah yang pendiam. "Aku tak tahu. Ah, namaku Risica. Kalian?"
Aku menyebut namaku, Hunju, dan Roas.
Sebelum aku bertanya kenapa dia mau diculik sukarela, gerobak yang mengangkut kami berlima berhenti. Suara ringkik kuda membangunkan hewan-hewan nokturnal. Bunyi uhu-uhu terdengar dari hutan.
"A-apa yang terjadi?" kata Hunju panik.
Aku tidak menjawab. Sejak kereta kayu ini berhenti, udara terasa lembap. Perasaan ini tak asing. Bagai berdiri di depan kulkas.
Sebentar! Kami di Itya?! Kan itu tujuanku! Mikaf mendeteksi Roh Jahat level 7 di sini.
Kras! Tanpa babibu aku segera melepaskan ikatan tanganku—sumpah, aku tidak merasakan sakit di pergelangan tanganku. "Kalian diam di sini," seruku pada Roas dan Hunju yang terbengong-bengong, sebelum akhirnya melompat keluar dari kereta.
"Teman kalian kuat rupanya!" kata Risica.
*
Ternyata aku tidak perlu repot-repot memakai kupon teleportasi. Penculikan yang kualami memberiku kemudahan. Lagi, ternyata aku tidak perlu repot-repot mencari Roh Jahat. Dia sangat baik hati muncul sendiri di dekatku. Beruntungnya.
Alasan kereta kuda berhenti adalah Roh Jahat menghalangi jalan. Dua kusir telah babak belur olehnya, pingsan di tanah. Ketika dia bersiap memakan jiwa yang keluar dari mulut si kusir, BUGH!, Roh Jahat itu terpental karena tendanganku.
Aku menatap kusir-kusir itu, mendengus. Mana sudi aku menyembuhkan penculikku.
Roh Jahat tertawa nyaring. "Aku sudah dengar ada Keeper baru. Apa itu kau? Tidak buruk," katanya, meludahkan darah.
Dia mendugas ke arahku. Kuda-kudaku kokoh. Aku sudah menunggunya dari tadi.
Kusambut pukulannya, sedikit meringis sebab intensitas kekuatan tinjunya bukan main, lalu melemparnya ke pepohonan, membuat pohon rusak. Aku melenting menyerangnya. Roh Jahat itu berhasil memulihkan keseimbangannya, menghindar. Kepalan tinjuku terbenam di batang pohon.
Sadar memiliki peluang untuk melakukan counter (serangan balasan), Roh Jahat itu menendang perutku yang kesusahan menarik keluar tangan. Aku terbanting ke kereta—kudanya sudah kabur ke hutan.
"EIR?! Apa itu kau? Apa yang terjadi??"
"Jangan keluar! Tetap diam!" teriakku, menyeka ujung bibir yang berdarah. "Ada pembunuh bayaran," bohongku.
Aku tidak mungkin mengatakan: Roh Jahat hampir membunuh penculik kita! Sebagai pelindung arwah, aku harus bertarung dan mengalahkannya lalu mengantarnya ke UD!
Roh Jahat memukul pohon. Aku melongo. Padahal yang kulihat itu hanya tepukan pelan, tapi pohon tersebut roboh olehnya.
"MENJAUH DARIKU, DASAR BUDAK SURGA TOLOL!" gerungnya, mengayunkan pohon yang dia tebang seperti pemukul kasti.
Kalau ayunannya menyerong begitu, kereta kayu akan kena imbasnya. Roas dan Hunju bisa terluka, begitupun Kak Risica.
Aku mengepalkan tangan, berlari cepat.
KRAS! Pukulanku telak membelah batang pohon menjadi dua bagian. Kuambil belahan pohon yang jatuh, lantas melontarkannya ke Roh Jahat—dia hendak menebang lagi.
Naas! Dia melompat tinggi, lagi-lagi berhasil menghindar. Aku mendesis kesal.
"Kekeke. Kau tak bisa mengalahkanku—?!"
Matanya terbelalak melihatku sekejap tiba di depannya. GEDEBUK! Dia terbanting ke belakang. Aku terus mendesaknya sambil membatin, jangan sampai dia bangkit.
"DASAR BOCAH BAJINGAN!"
Tidak bisa. Aku tidak cukup kuat menahan pukulan counter-nya. Tubuhku terempas jauh, keluar dari hutan, membentuk kereta kayu untuk kedua kalinya. Batuk darah.
Kurasa tulang rusuk dan ligamenku patah.
"Eir! Sebenarnya apa yang terjadi di luar? Roas, kenapa kau lama sekali melepaskan ikatannya?!" Suara Hunju terdengar risau.
"Aku juga berusaha! Simpulnya sulit tahu!"
Pria ini lebih kuat dari yang tadi pagi. Aku memejamkan mata. "Bibi Senya... Apa kalian sudah selesai menangkap Roh Jahat di Hega? Aku kesusahan menghadapi roh ini."
Tidak ada respon. Lagian ya, aku pingsan selama tiga jam. Aku telat. Roh Jahat ini sudah membunuh dan memakan setidaknya satu jiwa. Makanya kekuatannya berbeda.
"Bibi Senya? Bibi Mikaf? Paman Evre? Apa kalian baik-baik saja di sana?" Ini aneh. Kok Senya dan yang lain tak menjawabku—
"Siapa yang menyuruhmu istirahat?"
Aku mendelik, tidak sempat membangun perlindungan. Aku terpelanting masuk kembali ke hutan, menghantam pepohonan.
Lenganku patah. Pahaku bengkak. Aku tak bisa melawan dan terpaksa bulan-bulanan menerima serangan bertubi-tubi Roh Jahat itu. Dia menendang punggungku, tepat mengenai tulang belakang. Sakitnya!
"Sudah kubilang kan." Dia menjambak rambutku. "Keeper lemah ditambah pemula sepertimu, tidak bisa melawanku. Apa ini?" Cahaya hijau seukuran kelereng menguap ke udara. "Hoo, apa ini kekuatanmu—?!"
Aku mencengkeram tangannya yang masih menjambak rambutku, beranjak bangkit. Roh Jahat itu memekik kesakitan karena cengkeramanku yang kuat. "Kau pikir... sudah berapa tulangku kau patahkan?"
PLAK! Tamparan yang bertenaga, kentara dari hidungnya mimisan. Karena staminaku telah memulih ke awal pertarungan, aku tak merasa lelah atau capek sekali pun.
Aku melayangkan sepuluh tamparan tanpa mengurangi kekuatanku. Alhasil muka Roh Jahat itu bonyok. Aku mengernyit enek melihat wajahnya tidak lagi berbentuk.
"Huhu... dasar curang... kau bisa sembuh sendiri... itu tidak adil sialan..." gumamnya.
"Mengoceh lah sesuka hatimu." Tanganku memegang kepalanya, merem supaya tingkat konsentrasiku jernih. Roh Jahat itu menghilang seperti abu. Aku menyengir.
"Pengiriman paket ke Upside Down selesai."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top