9. One "Blue" Day
Chapter 9 is here~
"Ini. Kalau memang nggak bisa datang, nggak usah memaksakan datang. Kalau bisa datang, awas kalau bawa teman yang lain. Tapi memang sebaiknya jangan datang sih."
Tiga orang di dekatnya itu hanya bisa melongo melihat undangan berwarna putih gading yang baru saja Naura letakkan di tengah-tengah meja.
"Dan tolong jangan bersikap alay, seperti memotret undangan ini dan menyebarnya di grup angkatan."
Della yang tadinya sudah siap dengan ponsel di tangan langsung merengek protes. Tatapan memelas milik gadis mungil berambut ikal sebahu itu langsung tertuju pada Naura. Untungnya Naura sudah mengenal Della cukup lama, sehingga puppy eyes itu tidak lagi berpengaruh padanya.
"Terakhir, tolong do'akan kalau besok ada badai, petir atau hujan es." Naura melanjutkan petuahnya.
"Apa-apaan, Ra? Niat tunangan nggak sih?" Satu-satunya pria yang ada di antara mereka langsung protes. Sepasang mata cokelat gelap yang ada di balik kacamata itu menatap Naura sangsi.
"Honestly? Big No, Lang."
Gilang hanya menghela napas berat. Dia melepaskan pandangan dari Naura dan kembali mengamati undangan yang masih tergeletak di tengah-tengah meja. Dalam sekali lihat saja Naura tahu kalau berita ini berhasil membuat shock tiga orang itu.
Naura menoleh ke seorang sahabatnya yang sejak tadi masih belum memberikan reaksi apa-apa. Gadis berambut pendek itu masih saja melongo memandangi undangan pertunangan Naura.
"Rafisqi... Sandy... Mavendra?" Sekalinya membuka mulut, sahabatnya itu malah mengeja nama Rafisqi dengan lambat-lambat. Dia bahkan sampai memperbaiki letak kaca matanya, memutar-mutar undangan itu, membolak-baliknya dan kembali mengeja nama Rafisqi berulang kali.
"Percuma dibaca berkali-kali, Les. Nama disana nggak mungkin tiba-tiba berubah jadi Sam Claflin." Naura mencoba memberi pencerahan.
"Suami orang, Beb," tegur Della.
"Ini... Rafisqi yang 'itu'?" tanya Lesty pelan.
"Yup! Rafisqi yang 'itu'."
"DAN KENAPA BISA BEGINI?!"
Naura spontan memundurkan tubuh ketika Lesty menggebrak meja di depannya tanpa ampun. Dia benar-benar kaget, ya ampun. Gilang yang duduk di sebelah Lesty langsung menahan lengan gadis itu, sementara Della buru-buru menjauhkan gelas jusnya dari meja, takut-takut Lesty mengamuk lebih parah. Pengunjung cafe lain yang ada disana serentak menoleh ke arah mereka berempat.
"Apa yang terjadi?! Kau bertunangan?! DENGAN RAFISQI?! Ya ampun, Ra! Apa yang terjadi?! Kenapa- Hmmhh!"
"Kenapa tidak pernah cerita?" sambung Gilang yang sudah membungkam mulut Lesty dengan tangannya. "Lalu tiba-tiba sudah ada undangan seperti ini! Acaranya besok pula."
"Tadi aku maunya saja." Lagipula Naura merasa tidak ada untungnya memberitahu dunia tentang pertungannya, toh tiga bulan lagi juga akan berakhir tanpa pernah ada yang namanya pernikahan. "Tapi kalian pastinya akan membunuhku kalau tahu aku tunangan diam-diam. Jadi, yaa, kukasih tahu."
"Sekarang pun aku sudah ingin membunuhmu!" protes Lesty yang sudah berhasil melepaskan diri dari Gilang. "Kenapa Rafisqi?! Dari banyak pria di dunia ini, kenapa harus si brengsek ini?"
"Memangnya Rafisqi ini siapa?" tanya Della yang memang tidak satu SMP dengan Naura dan Lesty. Gilang juga ikut-ikutan memasang ekspresi penasaran. Naura dan Lesty memang baru bertemu dengan Gilang dan Della ketika kuliah.
"Ingat cerita tentang orang songong waktu aku SMP?" tanya Naura. "Dia orangnya."
"Hah?!" seru Gilang dan Della serentak.
Naura menghela napas berat. "Takdir memang kejam," sesalnya. "Tapi tenang saja. Ini baru tunangan. Akan kupastikan tidak akan pernah sampai ke jenjang pernikahan!"
"Cerita dari awal, Ra!" ancam Lesty. "Se-mu-a-nya. Tidak boleh ada yang terlewat sedikit pun!"
Dan Naura tidak ada pilihan lain selain bercerita selengkapnya. Tentang acara perjodohan 14 hari yang lalu, rencana papanya dengan Om Evan, dan juga tentang kesepakatannya dengan Naufal dan Dharma untuk masa percobaan tiga bulan.
"Dan terakhir, aku berencana mencarikan gadis yang bisa dijadikan tumbal," tutup Naura. "Apa di antara kalian ada yang bersedia?" Dia memandangi Della dan Lesty bergantian.
"NOPE!" Sesuai dugaan, Lesty langsung menolak mentah-mentah.
"Orangnya seperti apa?" tanya Della penasaran.
"Kalau mau tahu, datang saja ke acaranya," tukas Gilang yang memutuskan untuk merebut undangan itu dari tangan Lesty dan membaca isinya. Keningnya mulai berkerut samar. "Mavendra...? Naura, jangan bilang kalau dia dari keluarga Mavendra yang 'itu'!"
Naura mengangguk singkat. "Memang yang 'itu'."
"Waah! Pernikahan kalian pasti akan disiarkan di TV dan akan jadi headline di setiap berita infotainment, tabloid dan surat kabar!" Sekarang Della yang memancing kehebohan. Dia bahkan sudah memukul-mukul bahu Naura saking antusiasnya. Untuk yang kedua kalinya, perhatian semua orang tertuju ke meja mereka. "Nanti judulnya, 'Pernikahan Akbar Putri Anhar Company dan Putra Mahkota Mavendra Corp. Pernikahan terheboh Indonesia dekade ini!'"
Dan jitakan Naura langsung melayang ke kepala Della. "Sudah kubilang. Tidak akan ada pernikahan!"
"Aku pasti datang!" seru Della bersemangat. "Siapa tahu ketemu artis!"
"Tidak akan. Acaranya tertutup untuk keluarga, teman-teman dan orang terdekat saja. Juga tidak ada wartawan. Syukurlah!" Naura menambahkan dengan lega. Ada wartawan sama saja dengan mengumumkan pertunangannya ke seluruh dunia. Terima kasih pada Dharma yang merancang konsep pertunangan tertutup ini. Setidaknya Naura tetap dapat berkeliaran bebas tanpa orang-orang tahu kalau dia adalah tunangannya Rafisqi Mavendra. Selain itu, seandainya pertunangannya batal nanti, tidak akan ada kehebohan yang tidak perlu.
"Dan asal kalian tahu, aku hanya mengundang kalian bertiga. Jadi tolong jangan ajak yang lain." Naura bahkan tidak mengundang rekan kerjanya di rumah sakit.
"Ditya?" Lesty malah mengingatkan hal itu.
"Aku tidak mengundangnya. Tentu saja," jawab Naura.
"Sekarang aku tahu kenapa kau mengajak kumpul disini," tukas Gilang. "Bukan di cafénya Ditya seperti biasa."
"Tidak usah memberitahunya. Ini hanya tiga bulan."
"Bagaimana kalau dia tahu sebelum tiga bulan?" tanya Lesty lagi.
"Kalau dia tetap tidak bereaksi apa-apa," Naura mengangkat bahu. "Berarti memang selama ini aku yang baper."
"Ya Tuhan! Hubungan tidak jelas ini membuatku frustrasi!" gerutu Lesty. "Yang satu tidak berani nembak duluan, yang satu lagi terus nunggu tanpa berbuat apa-apa. Begitu saja terus sampai Della menikah dengan Park Bo-gum!"
"Amin." Della mengaminkan dengan sepenuh hati.
***
Naura benci dengan betapa cepatnya waktu berlalu. Entah kenapa 15 Maret terasa datang begitu cepat dan dia bahkan belum menemukan cara untuk lolos dari perjodohan. Besok malam sudah acara pertunangannya, tapi disinilah Naura sekarang. Berdiri memandangi Betelgeuse Café dari seberang jalan dan sedang menimbang-nimbang apa harus masuk atau tidak.
Aku sedang apa sih? gerutu Naura setelah dia hanya berdiri diam disana seperti orang bodoh.
Dari tempatnya saat ini, dia tetap dapat melihat suasana di dalam café dengan jelas. Pandangannya terus tertuju pada Ditya yang sedang mondar-mandir membantu mengantar pesanan. Sekarang memang jam makan malam, sehingga café jadi lebih ramai dari biasanya. Walau terlihat agak kewalahan pria itu tetap melayani pelanggan dengan sigap, sesekali dia bahkan mengobrol dengan mereka dan jangan lupakan senyuman yang tidak lepas sedikitpun dari wajahnya.
Melihat itu, tanpa sadar Naura jadi ikut tersenyum sendiri.
Dia baru akan beranjak meninggalkan tempatnya mematung selama 10 menit terakhir ketika Ditya menyadari keberadaannya. Dari balik jendela café, Ditya melambai ke arahnya sambil tersenyum lebar dan Naura tidak ada pilihan lain selain balas melambai. Tanpa bisa dikendalikan, dengan yakin kakinya bergerak menyeberangi jalan dan tahu-tahu Naura sudah ada di depan pintu masuk café.
"Selamat datang!" seru Ditya yang langsung membukakan pintu untuknya. "Sendirian saja? Baru pulang kerja?"
"Begitulah," jawab Naura yang entah kenapa malah merasa salah tingkah. Padahal itu kalimat rutin yang diucapkan Ditya tiap kali dia datang.
"Caramel macchiato?"
Naura hampir saja mengatakan 'ya', tetapi dia kembali teringat acara besok. Tanpa kopi saja dia tidak yakin bisa tidur malam ini, apalagi kalau minum kopi?
"Hot vanilla milk saja."
"Sok-sok an," cibir Ditya. "Bilang 'Susu Vanila Panas' saja udaah."
Naura hanya tersenyum simpul. Rasanya dia sedang tidak ingin diajak bercanda.
Untung Ditya orangnya cepat membaca situasi. "Segera datang. Silahkan duduk, Ra."
Naura mengangguk dan mengambil tempat di salah satu meja yang baru saja ditinggalkan penghuni sebelumnya. Seorang karyawan cafe datang menghampiri dan dengan sigap membersihkan meja tersebut.
Sebenarnya apa yang kulakukan disini? pikirnya sambil melamun memandang keluar jendela.
Pesanannya datang tidak lama kemudian dan diantar oleh Ditya sendiri.
"Ini pesananmu," ujarnya sambil meletakkan segelas susu vanilla panas di depan Naura. "Maaf nggak bisa menemanimu. Café ramai sekali."
"Tidak masalah," jawab Naura maklum. "Selamat bekerja."
"Tunggu aku. Oke?" Ditya mengedipkan mata dan tertawa setelahnya.
"Ya. Ya. Sana kerja."
Sebenarnya kita ini apa sih, Dit?
Naura tidak mengakuinya pada siapa pun, tetapi dia sangat berharap bisa mendapatkan kepastian dari seorang Ditya. Setidaknya sebelum dia resmi bertunangan. Harapan yang sangat konyol memang. Lagian kalau dia memang mendapat kepastian, dia bisa apa? Pertunangan besok tidak mungkin lagi dibatalkan 'kan?
Mungkin untuk yang keseribu kalinya dalam hari ini, Naura menghela napas berat. Dia memutuskan untuk mengenakan earphone dan mendengarkan musik saja sambil melamun. Dia sedang malas pulang ke rumah dan harus diingatkan lagi tentang pertunangan menyebalkan itu.
Dia tidak tahu sudah berapa lama waktu yang terlewat saat sadar ada seseorang menghampirinya. Naura menoleh dan langsung melepas earphonenya saat mendapati Ditya sudah duduk di depannya. Begitu menoleh ke sekeliling, Naura menyadari bahwa café sudah mulai sepi.
"Ini." Ditya meletakkan secangkir teh di samping gelas susu vanilla Naura yang sudah kosong.
Naura tertawa kecil ketika melihat isi cangkir putih itu. "Mint-tea?"
"Akhirnya setelah lima tahun aku melihatmu seperti ini lagi. Datang kesini malam-malam, tampang kusut banyak pikiran, duduk diam dan melamun di pojokan selama berjam-jam," tukas Ditya sambil meminum mint-tea miliknya sendiri.
Naura pertama kali bertemu Ditya 5 tahun yang lalu. Saat itu dia sedang kabur dari rumah setelah mendapat kabar kalau udanya akan segera menikah. Iya, dulu Naura memang punya brother complex akut. Malam itu dia terus mengemudi tanpa arah dan terdampar di dekat cafe Ditya karena mobilnya tiba-tiba mogok. Merasa tidak ada yang bisa dilakukannya, dia memutuskan untuk masuk ke cafe dan meminjam telepon untuk menghubungi bengkel. Saking kesalnya, Naura sampai lupa membawa ponsel dan dompetnya saat kabur.
Lalu disanalah Ditya, menawarkan diri untuk memperbaiki mobilnya. Tidak hanya itu, pria itu bahkan memberinya sepiring nasi goreng dan secangkir mint-tea secara cuma-cuma. Seakan kebaikan hati Ditya belum cukup, Naura malah memaksa pria itu untuk berjam-jam mendengarkan curhatannya mengenai Naufal.
"Makanya kali ini pun kau memberiku mint-tea?" tanya Naura sambil meraih cangkir putih di depannya. Ditya memang punya obsesi berlebihan dengan teh yang satu itu. Katanya mint-tea bagus untuk relaksasi. "Ternyata sudah lima tahun saja. Tidak terasa," gumamnya sambil menyeruput mint-tea hangat itu dengan pelan.
Ditya tertawa mendengarnya. "Dulu galau karena udamu menikah. Sekarang galau karena apa?"
Karena perjodohan, pesta pertunangan dan kau terutama.
Tentu saja Naura tidak berani mengatakan itu.
"Dit, kau 'kan sudah tua-"
"Jarak umur kita hanya DUA tahun," potong Ditya sambil menekankan pada kata "dua".
"Iya, deh. Kau 'kan lebih tua," Naura langsung meralat kalimatnya. "Menurutmu pernikahan itu apa?"
Ditya tersedak dan nyaris menyemburkan mint-tea yang sedang dia minum. Naura langsung tertawa.
"Reaksimu lebay," ujarnya sambil mengulurkan serbet ke arah Ditya.
"Jadi, sekarang galau karena KAU yang menikah?" seru Ditya yang telah berhenti dari batuk-batuknya. "Lima tahun tidak terasa ya, Ra. Dulu curhat karena masalah kuliah dan dosen, sekarang sudah curhat tentang pernikahan saja."
"Jangan menggodaku." Naura merengut kesal, lebih karena kecuekan pria itu. Ini dia disuruh nikah loh? Tidak ada reaksi tertentu atau bagaimana gitu? Padahal waktu itu Naura sempat melihat aura cemburu pada Ditya, atau itu cuma perasaannya saja? "Jadi menurutmu pernikahan itu apa?"
"Menurutku... pernikahan itu tentang komitmen, tanggung jawab, kesetiaan dan... cinta."
"Hm? 'Cinta' bukan yang pertama?" tanya Naura heran. Padahal selama ini dia selalu beranggapan kalau yang terpenting itu adalah cinta. Love conquers all. Bukankah begitu?
"Cinta tanpa komitmen tidak akan menghasilkan pernikahan itu sendiri, cinta tanpa tanggung jawab adalah hal yang sia-sia, dan cinta tanpa kesetiaan adalah awal dari perpisahan." Ditya mengubah posisi duduknya jadi bertopang dagu dan tersenyum tipis pada Naura. "Tapi komitmen, tanggung jawab dan kesetiaan akan makin sempurna kalau ada cinta."
Sekarang Naura malah terpaku memandangi pria di depannya.
"Setidaknya... itu menurut versiku," lanjut Ditya yang mulai mengusap-usap tengkuknya salah tingkah. "Dan jangan memandangiku begitu! Aku jadi malu!"
Naura langsung bertepuk tangan. "Kau persis orang tua! Bijaksana sekaliii!" Kata-kata barusan benar-benar membuatnya takjub dan terkesima.
"Aku tidak tahu itu pujian atau sindiran." Ditya memutar bola mata malas. "Tapi pernikahan menurut tiap orang 'kan bisa beda-beda."
"Versimu seribu kali lebih baik dibanding seseorang yang menikah karena kewajiban."
"Eh? Apa? Kewajiban?"
"Lupakan," jawab Naura sambil tertawa canggung. Buat apa dia ingat-ingat Rafisqi waktu sedang bareng Ditya? Akhirnya dia ikut duduk bertopang dagu dan menatap Ditya penuh arti. "Lalu kenapa Mas Ditya ini belum menikah juga? Teorinya 'kan sudah mantap. Tinggal praktik. Ingat umur loh."
Nah, sekarang kau akan menjawab apa? Naura membatin penasaran.
Ditya mengulas senyum kecil. "Aku baru punya cinta dan kesetiaan, dan masih proses pengumpulan komitmen dan kesiapan untuk selalu bertanggung jawab."
"Dan pasti kau tidak ingin memberitahuku untuk siapa semua itu," sindir Naura.
"Bingo! Tepat sekali!"
Siapa pun gadis itu, dia beruntung sekali.
Seandainya Naura juga dilamar dengan bermodalkan komitmen, tanggung jawab, kesetiaan dan, tentu saja, cinta. Pasti bahagia sekali.
***
Hmm, ya gitu deh :'
Naura dan semua kegalauannya
Wkwk
Makasih udah bacaa
Btw, chapter depan itu pesta tunangannya
Xoxo,
MTW :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top