5. Ditya

Makasih banyak buat yang udah baca komen dan vote yaa
Such a mood boaster, i reaaally appreciate it 😄

Oke, chapter selanjutnyaa~
.
.
.

"Selamat datang, Ra. Lama tidak bertemu. Sendirian?"

Begitu memasuki Betelgeuse Café, seorang pria yang ada di balik konter pemesanan langsung menyapanya. Senyum Naura otomatis merekah waktu melihat sosok berambut cokelat gelap yang menyambutnya dan dia buru-buru melangkah mendekat.

"Halo, Dityaa!" sapanya dengan ceria. "Lesty, Della, Gilang lagi kerja." Dia menyebutkan nama para sahabatnya yang juga sering datang ke cafe itu.

"Begitu?" Pria itu, Ditya, tertawa kecil, menunjukkan sebuah gingsul kecil di deretan gigi sebelah kirinya. "Berarti kau kerja shift malam? Kalau begitu ... Caramel Machiato?Tiramisu?"

Naura mengangguk mengiyakan. Ditya memang selalu tahu apa yang dia butuhkan tiap kali datang kesana.  Ketika Naura kerja malam dan butuh bergadang, pria itu akan membawakan caramel machiato dan tiramissu tanpa diminta. Kalau hari hujan, Ditya pasti tahu kalau Naura akan mencari semangkuk sup ayam hangat beserta teh panas. Seandainya Naura terlihat bad mood, Ditya akan langsung memutuskan kalau itu saat yang tepat untuk mengeluarkan es krim atau gelato. Intinya, saking seringnya Naura kesana, Ditya jadi hapal pesanannya.

"Aku di tempat biasa ya."

Setelah mendapat anggukan dari Ditya, Naura segera mengambil tempat di meja paling sudut, tepat di samping jendela.

Naura dan teman-temannya memang sering ke café ini sejak zaman kuliah. Suasananya nyaman, menu-menunya enak dan wifi-nya juga kencang. Ditambah lagi pemilik cafénya, yang sering ikut turun tangan melayani pelanggan, adalah cogan macam Abditya. Kurang apalagi coba? Nongkrong berjam-jam pasti betah kalau disana. Bisa makan, ngobrol dan bikin tugas sambil sekalian cuci mata.

Naura sering datang kesana meski sendirian, lalu dia akan memesan apa pun dan memaksa Ditya untuk duduk menemaninya. Kalau sedang senggang dan cafe sepi pengunjung, Ditya akan bersedia jadi tong sampahnya dengan senang hati dan tanpa basa-basi lagi Naura akan curhat berjam-jam. Mulai dari tentang teman kuliah yang menyebalkan, tugas yang bejibun, revisi yang tak kunjung berakhir dan dosen yang PHP.

Café-nya Ditya sudah seperti bar halal bebas alkohol bagi Naura. Setelah lulus kuliah dan mulai bekerja, dia dan para sahabatnya yang lain jadi lebih jarang berkunjung. Makanya dia sangat bahagia waktu tahu Rafisqi mengajaknya ke Betelgeuse Cafe.

Sejak dulu hubungan Naura dan Ditya bisa dibilang unik. Mereka terlalu dekat untuk dibilang sekedar teman, tapi tidak memiliki ikatan apa-apa yang membuat mereka bisa disebut pacaran. Intinya, hubungan mereka berdua hanya begitu-begitu saja. Sering saling curhat, saling menggoda satu sama lain dan saling melemparkan kode. Ujung-ujungnya ... tidak pernah jadian. Begitu terus sejak 5 tahun yang lalu. Dari status friendzone, curhatzone sampai TTM, semua lengkap disandang mereka berdua. Orang yang paling frustrasi melihat hubungan mereka adalah Lesty, salah satu sahabatnya Naura.

"Lalu ada apa tiba-tiba kesini?" Ditya meletakkan secangkir caramel machiato dan sepotong tiramisu cake di atas meja, lalu ikut duduk di depan Naura. Jam masih menunjukkan pukul 11.27 dan waktu makan siang masih setengah jam lagi, sehingga wajar café masih sepi. "Mau memakai jasa tong sampah?"

Naura tertawa mendengarnya. "Memangnya tong sampah pribadiku ini nggak sibuk?"

"Untukmu apa sih yang nggak?"

Seandainya Lesty ada disini saat ini, dia pasti sudah mengacak-acak rambutnya kesal dan melancarkan sindiran khasnya : "Jadian saja sanaa, jadiaan."

Sejujurnya Naura sudah berkali-kali baper karena pria yang satu ini, dan dari tindak-tanduknya, dia merasa kalau Ditya juga menyukainya. Sayangnya dia bisa apa? Ditya tidak pernah menunjukkan tanda-tanda akan menyatakan cinta dan tidak mungkin Naura yang mulai duluan.

Namun untuk saat ini Naura memang tidak ingin pacaran sih. Maunya langsung dilamar saja, tapi sekalinya ada yang datang ke rumah, malah si brengsek Rafisqi.

Sebuah ide muncul di pikiran Naura.

"Dit, aku dijodohkan."

Sekarang amati ekspresinya lekat-lekat. Naura membantin.

Pupil mata Ditya membesar sesaat. Dia mengerjap sekali, dua kali dan ... tiga kali. Sudut bibirnya berkedut pelan, dan terakhir dia tersenyum lebar.

"Selamat, Naura. Calonmu orangnya gimana?"

Naura sudah bersorak dalam hati. Ditya tersenyum, tapi senyumnya tidak sampai ke mata. Apakah ini pertanda cemburu? Benarkah ini?

"Hmm, melihat caramu tersenyum, sepertinya orang baik, ya?"

"E-eh? Bukan. Bukan begitu," bantahnya cepat-cepat. Naura kan tersenyum bahagia karena berhasil menangkap tanda-tanda kecemburuan seorang Ditya.

"Kapan-kapan bawa calonmu kesini, oke?"

"Nggak deh. Nanti kau cemburu." Lagi-lagi Naura memperhatikan ekspresi pria di depannya.

"Iya juga, ya. Bagaimana kondisi hatiku nanti?" Dan Ditya tertawa.

Ya Tuhan, sampai kapan begini terus, sedih Naura dalam hati.

"Langgananmu banyak yang cantik. Pilih saja satu," lanjut Naura. "Jangan kayak nggak laku."

Café itu sering dikunjungi mahasiswa sepulang kuliah. Namun di kalangan para mahasiswi, daya tarik Ditya jauh lebih kuat dibanding daya tarik menu yang ditawarkan.

"Kalau nggak laku di mata gadis yang disukai, apa gunanya?" seru Ditya sambil tersenyum tipis.

Apa aku harus memancingnya sedikit lagi? Naura sedikit ragu-ragu.

"Jadi ada gadis yang kau sukai? Ayo cerita!"

"Ada deeeh." Ditya lagi-lagi mengelak dengan lihainya. Kalau sudah begitu, artinya dia tidak akan cerita.

"Jahatnya," komentar Naura sambil meminum caramel machiato-nya.

"Jadi? Kau menerima perjodohan itu?"

"Tidak," jawab Naura mantap. "Aku sedang mencari alasan untuk membatalkannya."

"Kenapa?"

"Aku menunggu pria lain yang, sialnya, tidak pekanya keterlaluan."

Ditya kembali tertawa setelahnya. "Siapa pria bodoh itu?"

Kau, Bodoh!

"Ada deeeh." Naura membalas perlakukan Ditya sebelumnya dengan sukses. Seandainya Ditya peka sedikit saja, pasti sudah dari dulu Naura membawanya ke hadapan Naufal dan memperkenalkannya sebagai calon adik ipar.

Terdengar denting pelan dari arah pintu masuk dan Ditya buru-buru berdiri.

"Selamat datang!" Salah seorang karyawan sudah mendahului Ditya mengucapkan sambutan itu.

"Oh, ternyata kau," seru Ditya yang langsung menyongsong ke arah pintu masuk. Dari cara bicaranya, jelas sekali dia mengenali pelanggan yang baru datang itu.

Naura tidak terlalu mengurusi hal itu dan lanjut menikmati tiramisu di hadapannya.

"Pesan yang biasa 'kan? Duduk di tempat biasa juga?"

Tetap saja Naura malah menyimak Ditya berbicara.

"Sebenarnya aku ada janji dengan seseorang."

Naura sontak menoleh waktu mendengar suara bariton itu dan mendapati Rafisqi yang masih berdiri di dekat pintu masuk juga sedang menoleh ke arahnya. Menilik dari kemeja biru tua lengan panjang dan dasi krem yang dikenakannya, pasti pria itu baru saja dari kantor.

"Itu dia. Aku duduk disana," ujar Rafisqi pada Ditya dan melangkah menuju meja yang ditempati Naura. Dia duduk di kursi yang tadi ditempati Ditya.

"Kau datang lebih awal," komentar Rafisqi setelah duduk.

Naura kembali menyesap minumannya dengan santai. "Mumpung lagi senggang. Kau juga datang 20 menit lebih awal." Diam-diam dia kecewa. Waktu mengobrolnya dengan Ditya kan jadi berkurang.

"Takut macet."

"Jadi, kau juga sering kesini? Kayaknya kenal baik sama Ditya."

Rafisqi mengangguk. "Lumayan."

"Aku juga sering kesini sejak 5 tahun terakhir dan anehnya kita tidak pernah bertemu. Tahu apa artinya?"

Rafisqi tersenyum tipis. "Bad timing?"

"Artinya kita benar-benar tidak berjodoh." Naura pura-pura terlihat prihatin.

"Luckily, I don't believe in trivial thing like soulmate," jawab Rafisqi dengan kalem.

Naura yang mendengarnya malah kesal sendiri.

"Aku tidak tahu kalian saling kenal." Ditya tiba-tiba muncul dan menaruh pesanan Rafisqi, secangkir greentea dan sepiring chicken cordon bleu. Setelah itu dia tetap berdiri di samping meja.

"Kami-"

"Kami ada urusan bisnis." Naura cepat-cepat memotong perkataan Rafisqi sebelum pria itu sempat membocorkan hal yang tidak perlu. "Ayahnya Rafisqi punya suatu penyakit dan aku ingin memastikan Rafisqi paham prosedur penanganan daruratnya. Begitu, Dit."

"Ooh, urusan pekerjaan," tukas Ditya sambil mengangguk-angguk paham. "Memang ayahmu sakit apa, Raf? Bukannya selama ini orangtuamu di Singapura?"

"Jantung," jawab Rafisqi singkat.

"Begitu? Semoga ayahmu baik-baik saja. Dengarkan saja petunjuknya Naura baik-baik. Meski tampangnya bodoh, dia bisa diandalkan," lanjut Ditya seolah Naura tidak ada disana dan ikut mendengarkan semuanya

"Apa? Siapa yang tampangnya bodoh?"

Ditya hanya menyengir dan membentuk simbol peace dengan dua jarinya. "Kalau begitu aku pergi dulu, Rafi, Naura. Silahkan dilanjut mengobrolnya."

Ditya memanggil Rafisqi dengan sebutan "Rafi". Berarti Ditya sudah dianggap sebagai teman, bukan? Lagi-lagi Naura teringat kenangan sialan 12 tahun yang lalu, saat dia disindir karena berani memanggil "Rafi".

"Kenapa bohong?" tanya Rafisqi penuh selidik.

"Kenapa jujur?" balas Naura tidak peduli. "Kalau bisa aku mau menyembunyikan perjodohan ini dari dunia selama-lamanya."

Rafisqi tersenyum sinis. "Mustahil. Tidak lama lagi kita tunangan."

Naura hanya mendengkus pelan.

Setidaknya biarkan aku menyembunyikan ini dari Ditya selama mungkin.

***

Jadiii, sebenarnya seberapa penting sih peran si Ditya dalam cerita ini? Sampai2 tu orang terhormat banget dapet satu chapter, judul pake namanya pula. Sangat penting atau penting banget?

Jujur, aku bikinnya karakter Ditya ini dengan sepenuh hati banget TT

Okay, stay tune yak

xoxo,
MTW :)

/25 Juli 2018/

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top