42. His Story (2)

/Part 2/

.
.
.

Tatapan Naura terpaku pada batu nisan marmer di depannya.

Juwita Fourina Mavendra. Lahir di Singapura. Meninggal di New York. Berdasarkan tanggal-tanggal yang tertera disana, diketahui dia meninggal di usia sembilan tahun.

David meletakkan buket bunga yang dibawanya di dekat batu nisan, tepat di sebelah buket lain yang sudah ada di sana sebelumnya. Setelah itu dia kembali berdiri di samping Naura dan menunduk dalam diam. Naura ikut menekurkan kepala dan mulai memejamkan mata.

Mengetahui kalau Juwita adalah salah satu orang terpenting dalam kehidupan Dharma, Syila dan Rafisqi, membuat Naura merasakan suatu emosi tersendiri untuk gadis yang belum pernah ditemuinya itu. Juwita masih begitu muda dan masa depannya seharusnya masih panjang, tapi takdir memang tidak ada yang tahu. Naura hanya bisa berharap, semoga masa hidupnya Juwita selalu penuh dengan kebahagiaan. Lagi pula, mengingat adanya tiga orang kakak seheboh Mavendra bersaudara, tidak mungkin dia tidak bahagia, kan? Naura merasakan kedua sudut bibirnya terangkat saat memikirkan itu.

Selamat beristirahat dengan tenang, batinnya penuh kesungguhan.

Begitu kembali membuka mata dan menegakkan kepala, Naura mendapati David tengah memperhatikannya.

"Kenapa?"

David memperbaiki posisi kacamatanya dan kembali menoleh ke depan. Ekspresinya terlihat sendu. "Rasanya aku seperti baru saja melangkahi Fiqi. Harusnya dia yang membawamu kesini."

"It's okay." Naura kembali memandangi gundukan tanah berumput hijau di hadapannya. "Dia saja tidak pernah menyinggung tentang Juwita."

"She was so cute, you know? Siapa pun yang bertemu dengannya pasti akan langsung jatuh hati."

Naura mengangguk setuju. Dia teringat dengan foto yang ditunjukkan David tempo hari dan Juwita memang terlihat sangat berpotensi menjadi seorang heartbreaker seperti kakaknya.

"Tata lebih muda sembilan tahun dari Fiqi. Jarak umurnya lumayan jauh, membuatnya benar-benar dimanjakan semuanya. Konyolnya lagi, dia sering disangka anaknya mas Dharma."

Kali ini Naura ikut tertawa dengan David. Tidak heran banyak orang yang bisa salah paham. Perbedaan umur Rafisqi dan Dharma saja nyaris delapan tahun.

"Dari kecil jantungnya lemah dan sering sakit-sakitan. Makanya dia selalu ikut om Evan dan tante Ona. Kalau kondisinya lebih baik dari biasa, barulah dia bisa ke New York mengunjungi kakak-kakaknya."

Oke. Naura tidak menyangka ceritanya akan sesedih ini. Juwita bahkan jarang bertemu kakak-kakaknya? Rafisqi juga sempat tinggal terpisah selama beberapa tahun dan hal itu terbukti berdampak buruk pada kondisi mentalnya. Urgensi Naura untuk memastikan Juwita berbahagia selama hidupnya jadi semakin kuat.

Sebenarnya Naura sangat menyayangkan keputusan om Evan dan tante Ona yang membuat keluarganya jadi terpisah-pisah begitu. Tapi memangnya dia siapa bisa mengomentari cara orangtua membesarkan anaknya? Lagi pula kondisinya dulu juga sama saja. Orangtuanya lebih sering bepergian, meninggalkannya dan Naufal di tangan para pengasuh.

"Kepergiannya begitu mendadak." David kembali berjongkok dan mulai memunguti sampah dedaunan kering yang ada di atas makam. "Tapi bagi Fiqi, kehilangan Tata bukan cuma sekedar duka. Penyesalan, dendam, rasa bersalah, semuanya bercampur-aduk, dan−"

David berhenti mendadak dan menengadah menatap Naura.

"Sepertinya aku cerita terlalu cepat." Dia tertawa kecil. "Ngomong-ngomong, sepertinya kemarin Fiqi kesini." David memperbaiki posisi buket bunga lain yang ada di samping buket miliknya. Jenis bunga yang sama. Bedanya, kelopak dan daun-daunnya mulai terlihat layu. "Kecuali kalau sedang di luar kota atau luar negeri, dia selalu kesini tiap tanggal 19."

"Karena Juwita pergi di tanggal 19?" Naura memutuskan untuk duduk memeluk lutut di samping David. Tangannya kemudian terulur untuk menyentuh salah satu bunga merah muda yang ada di samping nisan. "Ini bunga favoritnya, ya? Bunga matahari pink?"

Naura menertawakan nama asal-asalan yang baru saja dilontarkannya. Namun, menyadari tatapan intens David yang tertuju padanya, dia segera bungkam.

"Eh, maaf. Aku hanya ... teringat sesuatu."

David buru-buru mengalihkan pandangan dan tangannya refleks menyentuh gagang kacamatanya. Naura mulai menangkap itu sebagai gestur salah tingkahnya David.

"Tata juga selalu menyebutnya 'bunga matahari pink'. 'Gerbera daisy' memang kata yang sulit untuk anak kecil."

"Jadi itu namanya." Naura tertawa. "Di mata orang yang tidak paham bunga sepertiku, itu bunga matahari, tapi warnanya pink."

David ikut tertawa. Tawanya makin lama makin pelan dan hilang begitu saja seolah terbawa angin.

"Seharusnya aku tidak memperkenalkan Fiqi dengan Leah." David mengubah posisi jongkoknya menjadi duduk bersila. "Aku menyesalinya. Sampai sekarang."

Naura ingin bertanya siapa itu Leah. Namun, kegetiran dalam suara David membuatnya memutuskan untuk diam dan mendengarkan. David tidak langsung lanjut bercerita. Pria itu terdiam cukup lama dengan pandangan menerawang jauh ke depan. Apa pun yang tengah berkecamuk di kepalanya saat ini, Naura yakin itu bukan hal yang indah.

"Aku ketemu Fiqi di salah satu sekolah menengah di Manhattan, New York. Waktu kelas 3, Fiqi datang sebagai siswa pindahan. Kami sekelas dan karena sama-sama orang Indonesia, kami akrab dengan cepat. Atau mungkin karena dia juga tidak punya pilihan selain menempeliku kemana-mana." Kali ini David tertawa kecil. "Bahasa inggrisnya sebenarnya cukup bagus, tapi dia tidak terlalu PD berkomunikasi dengan yang lain. Cultural shock-nya juga parah. Melihat orang ciuman di koridor saja histeris. Butuh waktu setengah tahun sampai Fiqi terbiasa."

Tidak disangka. Seorang Rafisqi, si idola sekolah yang terbiasa dikerubungi banyak orang, ternyata juga pernah mengalami masa-masa cupu seperti itu.

"Kebetulan orangtuaku rutin ikut acara silaturahmi para perantau Indonesia tiap sebulan sekali. Aku mengajak Fiqi kesana dan memperkenalkannya dengan teman-teman yang lain." David menghela napas berat. "Termasuk Leah."

"Yang di foto waktu itu?" Akhirnya Naura bersuara.

David mengangguk dan mengeluarkan ponselnya dari saku. "Mau lihat lagi?" Sinar matanya berubah jahil. "Waktu itu pasti cuma lihat sekilas, kan?"

Saat itu Naura memang buru-buru mengembalikan ponsel ke David, beberapa detik setelah foto 'mesra' tersebut terpampang di layar.

"Memang," aku Naura. "Waktu itu aku tidak mau melihatnya lama-lama." Tapi sekarang, suka-tidak suka, Naura merasa harus tahu wajah mantannya Rafisqi. "Mana fotonya?"

David tidak langsung menyerahkan ponselnya. "Wow. Is that a confession?"

Naura hanya angkat bahu, tapi tidak berusaha untuk menyanggahnya. Tindakannya itu berhasil memancing tawa David.

"I knew it!" serunya puas. "Tata, dengar nggak yang barusan? Akhirnya calon kakak iparmu ini ngaku juga!"

"Heh!" bentak Naura, berusaha untuk menutupi rasa malunya akibat sebutan cringy barusan. "Sini ponselmu!"

David mengutak-atik ponselnya sebentar dan menyerahkannya ke Naura. Senyum jahil terpampang di wajahnya. "Tenang. Kali ini foto-fotonya aman kok."

Naura menerima ponsel tersebut sambil memberikan tatapan sebal. Dia membuat catatan dalam hati bahwa David ternyata memiliki sisi menyebalkan tersendiri.

David sudah bersama Rafisqi terlalu lama. Akan aneh kalau dia tidak tertular sikap menyebalkannya Rafiqi.

Naura berusaha memaklumi.

Yang pertama terpampang adalah foto Leah dengan latar belakang laut, dengan gaun one-piece berwarna biru selutut dan sebuah topi bundar berwarna krem di kepalanya. Kali ini rambut panjangnya yang berwarna kecokelatan dikepang dan dibiarkan tersampir melewati bahu kanan. Dalam sekali lihat, jelas sekali Leah ini adalah tipe gadis feminim yang selalu mengikuti mode. Naura memperbesar tampilan foto dan tidak tahan untuk tidak terpesona dengan sepasang mata biru keabu-abuan milik gadis itu.

"Yang orang Indonesia itu ibunya. Ayahnya orang Amerika keturunan Spanyol." David memberi penjelasan. "Tidak sepertiku dan Fiqi, Leah lahir dan tumbuh besar di Amerika."

Naura mengangguk-angguk mengerti. Sekarang dia tahu dari mata Leah mendapatkan hidung bangir, dagu lancip dan tulang pipi tinggi seperti itu. Dia menggeser ke foto selanjutnya. Kali ini foto Leah bersama Rafisqi dan David. Leah lumayan tinggi untuk ukuran perempuan. Melihat mereka bertiga berdiri berjajar begitu, pasti ada banyak orang yang salah mengira mereka adalah sekumpulan model. Foto demi foto, Naura perhatikan dengan seksama. Leah dan Rafisqi. Leah dan David. Leah, David dan Rafisqi. Leah di taman. Leah di kampus. Leah di café.

Sial. Cantiknya keterlaluan.

Kalau dipikir-pikir, rugi sekali Rafisqi melepaskan gadis secantik ini.

"Seleranya Rafisqi menurun drastis," gumam Naura tanpa sadar.

David tiba-tiba menyemburkan tawa. Sejurus kemudian dia buru-buru membekap mulutnya dengan tangan, sepertinya sadar kalau mereka masih ada di kompleks pemakaman. Pria itu bahkan sampai terbungkuk-bungkuk karena mati-matian menahan tawa.

"Naura." Disela tawanya, David mencoba untuk bicara. Namun, dia gagal dan kembali menutup mulutnya untuk lanjut tertawa.

Naura menjentikkan jarinya di depan wajah David. "Oke, David. Fokus." Diam-diam dia merutuki diri karena kelepasan bicara seperti tadi. Tapi memang benar, kok. Leah sangat cantik. Membuat Naura bertanya-tanya kenapa sekarang Rafisqi malah memilihnya.

David berdehem sekali. "Seperti yang kau lihat, dulu kami bertiga sangat dekat. Begitu lulus, kami memutuskan masuk ke SMA yang sama. Long story short, mereka jadian tidak lama kemudian."

Naura mengangguk. Sejauh ini belum ada cerita yang aneh.

"Tapi kau tahu sendiri kondisinya Fiqi, kan? Pada titik tertentu, dia bisa kesulitan menahan emosi dan kalau tidak dikendalikan dia bisa kelepasan bertindak impulsif lalu merusak semua yang ada di sekitarnya." Kali ini David menghela napas. "Dia tipe orang yang harus selalu sibuk agar pikirannya tetap waras. Baginya pacaran itu cuma prioritas kesekian."

"Leah tahu tentang kondisinya?"

David mengangguk. "Awalnya Leah mencoba maklum. Dia cukup sabar walaupun Fiqi jarang ada waktu untuknya karena sibuk kegiatan ini-itu. Dia itu sebenarnya tipe gadis bebas, yang punya ruang lingkup pertemanan luas dan suka dengan yang namanya pesta. New Yorker sejati. Tapi sejak bersama Fiqi, dia dituntut banyak berubah. Tidak boleh mabuk. Dilarang merokok. Pakaian tidak boleh terlalu terbuka. Kontak fisik sewajarnya."

Sekarang giliran Naura yang ingin tertawa sepuasnya.

"Serius, Ra. Orang Amerika mana yang pacaran cuma sebatas gandengan tangan?" David memasang ekspresi tidak percaya. "Peluk pun kadang-kadang, kalau Leah terlanjur ngambek parah."

Oke. Naura tidak tahu apa dia ingin mendengar ini. Membayangkan Rafisqi bergandengan tangan dengan perempuan lain kemudian memeluknya, rasanya agak ....

Astaga! Aku mikir apaan? Naura refleks menepuk pipinya pelan.

"Tunggu. Cuma sebatas gandengan dan peluk?" Tiba-tiba Naura teringat sesuatu.

Pantas saja dia panik waktu diberi napas buatan. Naura teringat kejadian di laut dulu. Namun, sepertinya Naura salah karena memikirkan itu sekarang. Wajahnya otomatis memanas.

"Iya. Sebatas itu. Kenapa? Kalian sudah berbuat lebih?" David tiba-tiba menoleh dan Naura terlambat menyembunyikan wajahnya yang memerah.

"Napas buatan! Itu cuma napas buatan!" seru Naura, nyaris putus asa. "Sudah! Lanjutkan saja."

David memberinya senyuman penuh arti sebelum kembali bercerita.

"Intinya, Fiqi tidak bisa bertindak sebagai pacar yang baik, tapi disaat bersamaan, dia mengekang Leah. Perempuan mana sih yang tahan diperlakukan begitu. Akhirnya? Leah selingkuh dengan salah satu senior."

"Tolong jangan bilang senior itu akhirnya mati." Naura bergidik ngeri.

"Hmm, nyaris," jawab David dengan entengnya. "Mereka kepergok lagi making-out dan si Fiqi langsung kalap. Tapi memang dasarnya dia bucin kalau sudah jatuh cinta, Fiqi memaafkannya setelah Leah memohon-mohon."

Ternyata memang benar. Rafisqi bukan tipe yang bisa melepas seseorang semudah itu.

"Sekarang tentang bagaimana hubungan mereka berakhir."

.
.
.

P.s.
Part (3) will be updated in a moment ^^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top