41. Realization

Sudah cukup lama Naura menunggu, tapi lawan bicaranya di seberang telepon tidak juga kunjung bicara. Apa pertanyaannya sesulit itu? Seharusnya sih, tidak.

"Gian." Naura bangkit dari duduknya dan mulai mondar-mandir gelisah mengelilingi kamar. "Jangan diam saja. Aku mulai berpikir macam-macam."

Mengenai Gian, Naura memutuskan untuk mencari tahu sendiri. Rafisqi pernah bilang kalau Gian-lah dalang kejadian 12 tahun lalu dan Naura harus memastikan itu tidak benar. Setelah serangkaian berita buruk semalam, dia tidak mau lagi mendengar bukti lain dari kegilaannya Rafisqi.

"Apa benar?" Naura mengulangi pertanyaannya karena Gian tidak juga bersuara. "Gosip 12 tahun lalu beawal darimu?"

Terdengar helaan napas berat.

"Benar." Suara Gian seperti gumaman, nyaris tidak terdengar. "Naura, aku ... aku betul-betul menyesal."

Genggaman Naura pada ponselnya menguat dan tangan kanannya mengepal tanpa sadar. Sedetik kemudian, Naura berusaha mati-matian menahan diri agar tidak berteriak saat itu juga.

"Jelaskan," perintahnya singkat.

"Waktu itu aku tidak langsung pergi setelah menaruh surat. Aku mengintip dari jendela, penasaran dengan reaksimu, tapi," Gian tertawa hambar. "kau sama sekali tidak butuh waktu untuk mempertimbangkan perasaanku, kan? Karena Rafi."

Kali ini giliran Naura yang menghela napas berat. Dia mendudukkan diri di pinggir kasur dan mulai memijat kepalanya yang terasa pening mendadak. Gian salah paham. Dulu Naura menolaknya karena memang tidak ingin pacaran. Bukan karena Rafisqi.

"Lalu Rafi muncul. Waktu itu aku bersedia melakukan apa pun agar ada di posisinya, Ra. But no, that arrogant guy acted as if he was the king of the world. Seandainya jadi dia, aku akan langsung sujud syukur karena disukai olehmu."

Naura menyadari pergantian suasana hati Gian dari tekanan suaranya dalam berbicara. Sedih, kemudian kesal, lalu kecewa.

"Dan diriku yang kekanak-kanakan cuma mau membalas dendam karena ditolak cinta pertama." Setelah itu Gian kembali terdiam cukup lama. Naura bisa mendengar deru napas pria itu. Apa pun yang akan diucapkannya setelah ini, pastilah itu hal yang sangat berat. "Aku sungguh minta maaf. Aku kesal dan tanpa pikir panjang malah menyebarkan ke yang lain kalau kau menyukai Rafi. Aku ... tidak menyangka itu menyebar tidak terkendali dan makin lama makin menyimpang dari cerita aslinya."

"Itu saja?"

Seandainya sekarang Gian ada di hadapannya, Naura tidak akan segan melemparinya dengan kursi.

"Naura, maafkan aku. Kau sudah sangat tersiksa karena ulahku, tapi ... tapi aku terlalu pengecut untuk meluruskan semuanya. Aku takut seisi sekolah berbalik menyerangku."

JADI LEBIH BAIK BIARKAN SAJA AKU YANG DISERANG. BEGITU?

Betapa Naura ingin meneriakkan itu sekuat tenaga. Namun, yang terlontar dari mulutnya malah, "Egois sekali ya, Gian." Hatinya hancur dan Naura tidak menyangka dirinya masih punya tenaga untuk tertawa. "Kau luar biasa."

"Aku selalu menyesali ini, Ra. Dua belas tahun aku selalu diikuti rasa bersalah-"

"Seandainya kau tahu trauma yang mengikutiku selama ini," sela Naura. Tanpa sadar dia kembali ke kebiasaan buruknya menyela pembicaraan tiap kali merasa sangat kesal. Dia tidak punya stok kesabaran untuk mendengarkan pembelaan yang tidak lagi diperlukan.

Baginya palu sudah diketukkan tiga kali. Gian terbukti bersalah.

"Aku selalu mencarimu. Kita bertemu waktu reuni enam tahun lalu, tapi kau bersama pacarmu dan aku-"

"Dan kau masih terlalu pengecut untuk mengakui semuanya." Naura melanjutkan. "Keputusan bagus. Seandainya kau mengaku waktu itu, wah, Gilang bakalan mengamuk habis-habisan."

"Di reuni kemarin, aku sudah berniat memperbaiki semuanya-"

"Caranya? Dengan memberiku surat versi dua?" Naura masih ingat yang dikatakan Gian di reuni itu, beberapa detik sebelum Rafisqi membuat keributan dengan menggebrak meja. "Menurutmu ini lelucon? Kau pikir bisa memperbaiki semuanya dengan bersikap baik padaku?"

"Naura ...."

Gian mulai terdengar putus asa, tapi sayangnya, rasa kasihan Naura sudah tidak berlaku untuk pria itu.

"Gian. Kau yang membuat masa SMP-ku terasa seperti neraka dan, sungguh, rasanya aku mau langsung ke tempatmu sekarang juga. Aku mau marah, memukuli dan meneriakimu sepuasnya, dan setelahnya aku mungkin bisa mempertimbangkan untuk memaafkanmu." Naura mengambil jeda untuk menstabilkan napasnya yang memburu. "Tapi, tidak! Tidak mungkin semudah itu. Gara-gara kau, aku membenci orang yang salah selama dua belas tahun!"

Setelah mengatakannya, Naura memutus sambungan telepon dan melempar ponselnya ke sembarang arah. Tanpa peduli di mana benda ungu itu mendarat, Naura menyembunyikan wajahnya di balik telapak tangan dan mulai menangis.

Jadi sebenarnya apa yang sudah dia lakukan selama ini?

***

Naura tidak tahu bagaimana kronologisnya dia bisa sampai tertidur. Samar-samar dia mendengar suara ketukan dan saking kagetnya, dia langsung terduduk. Gerakan tiba-tiba itu membuat kepalanya terasa sakit berdenyut-denyut. Naura masih berusaha menenangkan nyeri di kepalanya saat suara ketukan kembali terdengar. Kali ini disertai suara Naufal.

"Ra? Uda pulaang!"

Mendengar itu Naura buru-buru melompat dari tempat tidur, mengabaikan kepalanya yang masih pusing, dan membukakan pintu kamar.

"Kok lama? Ketiduran-"

Pintu tersebut bahkan belum separuhnya terbuka, tapi Naura kembali membantingnya menutup tepat di depan wajah Naufal.

"Naura!" Naufal kembali mengetuk pintu, kali ini dengan lebih keras dibanding sebelumnya. "Ini enggak sopan! Teganya banting pintu pas Uda bicara!"

Sementara itu, Naura yang masih shock cuma bisa diam bersandar di balik pintu yang baru saja dia kunci. Dia masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Kenapa bisa ada Rafisqi?

Naura cuma melihat Rafisqi selama sepersekian detik, sedang berdiri tepat di belakang Naufal, dan refleksnya adalah kembali menutup pintu rapat-rapat.

Dia belum siap bertemu Rafisqi lagi.

Di balik pintu, terdengar suara Diana. Wanita itu sedang berusaha meyakinkan Naufal dan Rafisqi agar meninggalkan Naura sendirian.

"Naura, kita harus bicara setelah ini."

Naura meneguk ludah berat. Dia sudah membuat Naufal marah. Padahal hal terakhir yang ingin dia lakukan saat ini adalah menghadapi kekesalan udanya.

Di balik pintu, Diana masih mencoba membujuk Naufal dan tidak lama kemudian terdengar langkah kaki menjauh. Tadinya Naura ingin menghela napas lega, tapi sekali lagi ada yang mengetuk pintunya.

"Kau habis menangis?" Suara Rafisqi.

Tangan Naura refleks terangkat menyentuh wajah. Dia belum sempat bercermin. Memang matanya sesembab itu?

"Kenapa?"

Naura memutuskan untuk tetap diam.

"Karena aku?"

Iya, jawab Naura dalam hati.

"Naura, jangan menghindariku lagi." Rafisqi, tidak peduli meskipun didiamkan, terus berbicara. "Aku berusaha memperbaiki semuanya. Untukmu."

Sesuatu yang kau sebut 'memperbaiki' itu malah menghancurkan orang lain, Rafisqi.

Naura masih tidak mengerti jalan pikiran pria itu. Mengirim Gilang jauh-jauh, menyebabkan kebakaran di cafe Ditya, pembalasan dendam ke Angel dan kawan-kawan. Naura yakin Rafisqi juga melakukan sesuatu ke Gian, tapi untuk yang satu itu, Naura tidak mau tahu lagi.

Lalu apanya yang 'memperbaiki'?

Dan yang terpenting, kenapa Rafisqi yang harus bertanggung-jawab memperbaiki semuanya?

Padahal dia sama sekali tidak bersalah.

"Rafisqi."

Naura tidak menyangka suaranya akan terdengar seserak itu. Dia jadi ragu Rafisqi yang ada di balik pintu bisa mendengarnya.

"Ya?"

Ternyata Rafisqi langsung menyahut. Entah kenapa Naura merasa bersalah mendengar nada antusias yang terselip dalam suara pria itu. Naura sudah membuka mulut, bersiap mengatakan hal yang memenuhi pikirannya sejak pembicaraannya dengan Gian. Namun, sedetik kemudian dia berubah pikiran dan memilih bungkam. Ingatan tentang Gilang dan Ditya membuatnya mengurungkan niat untuk mengatakannya terang-terangan.

"Naura?" Rafisqi kembali mengetuk pintu pelan.

"Tidak jadi," dalih Naura. "Tolong tinggalkan aku."

Naura melangkah menjauh, mengabaikan Rafisqi yang masih mengetuk pintu sambil menyerukan namanya. Dia kembali menghempaskan tubuh ke kasur dan membenamkan wajahnya di bantal.

Rafisqi, maaf. Maafkan aku.

Sekali lagi Naura terpikir tentang waktunya yang terbuang untuk mendendam ke orang yang salah.

***

Butuh waktu seharian bagi Naura untuk menenangkan diri. Setelah memastikan Rafisqi benar-benar sudah pergi, dia keluar kamar dan mendatangi Naufal di ruang kerjanya.

"Uda, maaf. Aku bukannya tidak mau ketemu Uda, cuma-"

"Karena Fiqi?" Naufal melirik Naura sekilas. "Tetap saja, Ra. Itu tidak sopan."

Naura cemberut melihat udanya yang kembali fokus ke laptop. Sepuluh menit selanjutnya, dia benar-benar diabaikan. Naura sudah hapal tabiatnya Naufal. Udanya itu lebih suka menunjukkan rasa marahnya dengan cara diam. Sangat berbanding terbalik dengannya.

Namun, asal tahu saja, silent-treatment seperti ini jauh lebih mengerikan. Apalagi yang melakukannya adalah Naufal, yang notabene, jarang sekali marah.

Rasanya Naura ingin menangis saja.

"Lusa sudah tiga bulan."

"Ya?" Naura buru-buru menyahut.

"Lusa sudah 15 Juni. Tiga bulan pertunanganmu." Naufal menutup laptopnya dan melipat tangan di atas meja. Naura merasa ciut di bawah tatapan serius itu. "Jadi, bagaimana?"

Bagaimana ... apanya?

"Tapi dari kejadian tadi, kayaknya Uda tahu jawabannya." Naufal meraih ponsel yang ada di atas tumpukan dokumen dan mulai mengotak-atiknya. "Oke. Bagaimana pun, keputusan ada di tanganmu. Sebelum kasih tahu papa sama bundo, kita bicarakan dulu dengan Mas Dharma tentang pembatalan-"

"Jangan!" Naura yang akhirnya sadar dengan rencana udanya, buru-buru berdiri dan merebut ponsel tersebut. "Tunggu dulu!"

"Kenapa? Uda mau urus pembatalan pertunanganmu loh? Tidak boleh?"

"Tidak!"

Naura sendiri tidak menyangka dia bisa memberikan jawaban secepat itu. Selang beberapa detik kemudian, dia jadi malu sendiri. Terlebih ketika melihat Naufal yang tertawa kecil.

"Sudah nggak ragu, kan?"

Melihat tawa Naufal yang makin lebar, Naura buru-buru melirik ponsel yang dia rebut. Layarnya mati total.

"Oh, itu. Baterainya habis."

Naura merasa dibodohi. Ingin rasanya dia melempar ponsel tersebut ke luar jendela, masa bodoh dengan harganya yang setara gaji 4 bulan. Sayang sekali Naufal langsung merebut ponselnya secepat kilat.

"Diana sudah cerita."

"Oh, ya? Kenapa aku tidak kaget?" seru Naura sarkastis. Kenapa dia bisa lupa kalau Naufal bisa berubah jadi sangat licik? Naufal pasti tadi sengaja mendiamkannya agar Naura panik sendiri. Rasa panik itu membuatnya susah berpikir jernih dan ujung-ujungnya malah bertindak tanpa pikir panjang.

"Sekarang Uda tanya." Naufal sedikit mencondongkan tubuh dan kembali menatap Naura lekat-lekat. Bedanya, kali ini senyum lembut terulas di bibirnya. "Pertunanganmu. Mau dilanjutkan atau tidak?"

Awalnya Naura bingung bagaimana menjawabnya, tapi perlahan dia mengangguk. Setelah semua yang terjadi, dia tidak mungkin meninggalkan Rafisqi begitu saja. Naura sudah menyalahkan Rafisqi atas sesuatu yang tidak pernah diperbuatnya, memperlakukannya dengan sangat buruk, dan memancing sisi gelap yang selama ini dipendamnya.

Dan juga, pada titik ini Naura tidak mungkin lagi mengingkari perasaannya.

"Kau mencintainya?"

"Ya."

Sensasinya mungkin sama seperti waktu meletakkan kepingan terakhir dari rangkaian 1000-piece-jigsaw-puzzle, atau seperti ketika mendengar bunyi 'klik' pelan pada brangkas rahasia yang disandi 8 digit angka.

Ada kelegaan dan kepuasan tersendiri setelah mengatakannya terang-terangan.

Tadinya Naura sudah siap untuk ditertawai habis-habisan, tapi Naufal malah mengulurkan tangannya ke seberang meja. Naura terdiam waktu tangan itu menyentuh cincin yang menggantung di kalung yang dikenakannya.

"Karena itu kau masih memakai ini?"

Begitu Naufal menarik tangannya kembali, sekarang giliran Naura yang menyentuh cincin bukti pertunangannya itu. Diam-diam dia merasa takjub benda itu masih menggantung di lehernya. Setelah semua yang terjadi, sungguh suatu keajaiban Naura belum juga melemparnya ke tempat sampah.

"Emm ... Uda bingung mesti bereaksi seperti apa." Tidak biasanya Naufal terlihat kikuk begini. "Tapi selamat. Uda senang sih, walau rada sedih dan nggak rela juga."

Naura tertawa. "Still a long way to go, Uda. Masih banyak yang harus diluruskan."

"Oh, ya? Apa?"

"Belum bisa kuceritakan. Maaf." Naura tidak bisa menceritakan semuanya tanpa harus menyinggung tentang 'pembullyan'. Memberitahu Naufal sekarang cuma akan menambah kerumitan. Tidak ada jaminan udanya bisa menanggapi cerita itu dengan kalem. Dengan kadar sister-complex yang dimilikinya, bisa-bisa Gian cuma tinggal nama begitu hari berganti.

"Setelah semua selesai aku pasti cerita." Naura buru-buru menambahkan begitu melihat tatapan curiganya Naufal. "Janji."

Naufal menghela napas berat. "Oke."

"Dan mengenai pembicaraan ini," Naura merasakan pipinya memanas, tidak percaya dia baru saja mengakui hal seperti 'cinta' di hadapan udanya. "rahasiakan dulu ya, Uda. Dari bundo terutama! Aku belum siap kalau tiba-tiba minggu depan langsung ada pesta pernikahan!"

Ya, masih banyak yang harus dilakukannya setelah ini.

***

Emm, halo semua

Maaf aku baru muncul lagi 😅
(Dulu bilangnya bakalan update normal di bulan Maret, tp ternyata ... huhuu jeongmal sorry 😭)

Sejujurnya, urusan tesisku bener2 bikin capek secara fisik maupun mental. Maaf kalo kesannya malah curhat. Tp memang begitulah :')

Aku dikejar target buat lulus. Jadi kayaknya bakalan fokus ke itu dulu. Dan untuk sekarang (sampai entah kapan, mudah2an nggak lama), work ini bakalan berstatus "random update".

Tenaang
Aku nggak berencana ngeberhentiin ini di tengah jalan kok
Aku tahu banget. Baca cerita yang di-discontinue itu nyesek wkwk

Semoga bisa dimaklumi
Dan mohon do'anya juga ya :') semoga si "5 bab" yg bikin stress ini cepat kelar

💗💗💗

P.S:
Naura ultah 30 Maret kemarin. Happy birthday, Nauraa 🎉 semoga tetap tabah dan sabar ya UwU
(Naura: TELAT BANGET WOY! 😑)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top