40. Love Him, Hate Him

Di tengah kekalutannya, satu-satunya tempat yang terpikirkan oleh Naura hanyalah rumah. Dia butuh bicara dengan Naufal secepatnya. Namun, setelah menempuh perjalanan kurang lebih satu jam dan berkorban ongkos taksi yang tidak sedikit, udanya malah sedang ke luar kota.

"Besok siang juga pulang kok, Ra."

Naura menghentikan kegiatannya mengobrak-abrik lemari dan menoleh ke Diana yang sejak tadi duduk di pinggir tempat tidur.

"Iya, Uni. Urgent sih," Dia meraih sebuah baju ganti dan kembali menutup pintu lemari. "tapi mau gimana lagi."

"Terjadi sesuatu?" Kakak iparnya itu meraih boneka panda yang ada di samping selimut dan membawanya ke pelukan. "Soalnya tumben pulang mendadak. Kalau tahu, Uni bisa masak dendeng balado dulu."

Di tengah perasaannya yang masih berkecamuk, perhatian kecil itu berhasil membuat Naura mengukir senyum. Itu salah satu lauk favoritnya dan dendeng balado buatan Diana memang tidak ada yang bisa menandingi.

Setelah selesai berganti pakaian, Naura ikut duduk di samping Diana.

"Buat besok saja, Ni." Dia cengengesan. "Kayaknya aku bakalan lama di sini."

Perkataannya barusan ternyata membuat Diana mengerutkan kening.

"Ngomong-ngomong, gimana kabar keponakanku yang ini?" Naura buru-buru membelokkan arah pembicaraan dan menaruh tangannya di perut Diana yang sudah terlihat sangat besar. "Sebentar lagi, kan?"

Diana tersenyum tipis dan ikut meletakkan tangannya di atas punggung tangan Naura. "Perkiraannya bulan depan dan dia laki-laki."

"Oh ya?" Naura exited mengetahui jenis kelamin calon keponakannya. "Semoga dia mirip Uni." Setelah mengusap perut Diana sekali, Naura menarik tangannya kembali. "Altan terlalu mirip uda. Bosan lihat wajah itu melulu," candanya ketika teringat keponakan pertamanya yang benar-benar jadi fotokopiannya Naufal. "Lalu bundo bilang apa?"

"Tidak masalah. Bundo cuma bilang yang penting dia sehat, tapi," Diana memberikan senyum tipis. "sebaiknya kau siap-siap."

Dasar bundo dan obsesinya punya cucu perempuan.

Naura menghela napas berat. Setelah ini bundo pasti akan makin menuntutnya untuk cepat-cepat menikah. Padahal mau menikah cepat atau lambat, tidak ada jaminan Naura akan punya anak perempuan, kan?

Lagi pula ... bagaimana mau menikah?

"Si ganteng apa kabar?"

"Siapa?" Sejujurnya Naura cuma terpikirkan satu orang waktu mendengar pertanyaan barusan. Namun, dia memutuskan untuk berlagak bodoh saja.

"Dia tinggi, lumayan putih dan rambutnya hitam pendek." Diana tertawa dan menimpuk bahu Naura dengan boneka panda di tangannya. "Jangan sok amnesia! Jadi? Gimana Fiqi?"

Mood Naura yang tadinya agak membaik berkat dendeng balado dan calon keponakan laki-laki, kembali anjlok ke titik terendah.

"Sehat." Dia langsung rebahan dan membenamkan kepalanya di bantal. "Uni, aku ngantuk."

"Naura." Suara Diana berubah serius dan Naura tahu dia tidak akan bisa lagi mengelak dengan mengalihkan pembicaraan. "Ada apa? Kalau semua baik-baik saja, kau tidak mungkin pulang mendadak dan panik mencari uda."

Naura mengangkat wajahnya dari bantal dan memandangi Diana lekat-lekat.

"Uni cinta uda?"

"Sweetheart, kau akan punya dua keponakan. Sudah terlambat menanyakan itu."

Naura merasa bodoh menanyakan hal yang sudah jelas jawabannya. Dia kembali ke posisi duduk, meraih bantal guling dan menumpukan dagunya di benda itu.

"Pernah benci ke uda?"

"Benci?" Diana memiringkan kepalanya, terlihat benar-benar kebingungan. "Terlalu berlebihan kalau pakai kata itu."

"Oh ya? Aku punya stok kata-kata yang tidak kalah oke. Marah. Murka. Berang. Muak. Jijik. Hate. Loathe. Detest. Abhor. Hate it so much."

"Berapa kali kau harus bilang 'benci'?" Diana memutar bola mata malas. "You literally just saying the synonyms. Oke. Jadi kau cuma mau tanya, apa mungkin cinta dan benci bisa muncul bersamaan terhadap satu orang?"

Naura mengangguk. Inilah yang dia suka dari Diana. Kakak iparnya itu sangat peka dan curhat ke Diana tidak mengharuskan Naura bicara banyak demi menumpahkan seluruh isi hatinya. Diana bisa mengetahui banyak hal hanya dari sedikit informasi yang dibeberkan padanya. Mungkin ini yang dinamakan insting emak-emak.

"Intinya, kau merasa mencintai Fiqi, tapi disaat yang sama dia melakukan sesuatu yang membuatmu membencinya habis-habisan? Lalu kau mulai bingung mana yang dominan. Benci atau cinta. Makanya kau pulang dan berencana meminta uda membantumu memutuskan semuanya."

Oke. Sepertinya Diana mulai mengetahui terlalu banyak. Wanita itu akan menjadi merepotkan kalau sudah dalam "mode cenayang" seperti ini.

"Lalu mana yang muncul duluan? Benci atau cinta?"

"Benci," jawab Naura tanpa ragu, tapi dua detik kemudian dia berubah pikiran. "Eh, cinta." Bagaimana pun Rafisqi tetaplah cinta pertamanya, kan?

Namun, kenapa gagasan itu juga terasa salah?

"Oke. Benci!" putus Naura pada akhirnya. Dia memendam rasa yang satu itu selama 12 tahun lamanya. Mungkin bisa ditambah dengan rasa benci yang sebulan belakangan. "Rasanya salah kalau aku menganggap cinta monyet zaman SMP sebagai 'cinta'. Palingan itu cuma 'naksir'."

"Talk no more." Diana tersenyum yakin. Terlalu yakin. Sampai-sampai Naura risih melihatnya. "Kau masih bisa memikirkan kemungkinan jatuh cinta padahal kau sedang membencinya? Oke, Sweetheart. Cintamu lebih dominan."

"Kok?" Naura heran. Secepat itukah Diana memutuskan?

"Naura, cuma orang bodoh yang bisa menghubungkan kata 'cinta' dengan orang yang dibencinya setengah mati." Diana menepuk bahu Naura sekali dan memasang senyum prihatin. "Dan semuanya juga tahu kalau manusia akan jadi bodoh kalau jatuh cinta."

***

"Jadi kau kabur lagi?"

Suara tawa meremehkan itu membuat Naura berhasrat membanting ponselnya ke lantai.

"You love him, Honey. Admit it."

Naura menghela napas. "Perhaps ... I do."

"OH! MY! G-"

"Dan aku mulai benci diriku," sela Naura sebelum Lesty berhasil merusak gendang telinganya dengan teriakan membahana barusan. Dia mengaktifkan fitur loudspeker dan merebahkan tubuh setelah menaruh ponselnya di samping bantal. "Apa aku diguna-guna?"

"Please deh, Ra. Intelek macam Rafisqi mana mungkin terlibat yang begituan."

Naura membenarkan dalam hati. Percuma Rafisqi susah-susah kuliah di NYU kalau masih bergantung pada hal seperti itu.

"Apa yang terjadi?"

Mau tidak mau, Naura menceritakan tentang pertemuannya dengan Gilang, Ditya dan Rafisqi tadi siang.

"DITYA JUGA?"

Naura bersyukur dia sudah menjauhkan ponsel dari telinga. "Parah, kan? Masalah Gilang saja belum beres."

"Ra, pokoknya jangan sampai Rafisqi tahu perasaanmu ke Ditya." Lesty terdengar sangat bersungguh-sungguh. "Ditya bisa mati."

"Aku tahu." Naura menimpalinya dengan desahan pelan. "Makanya ... aku merasa bersalah ke Gilang dan Ditya. Bisa-bisanya aku merasa begini ke Rafisqi." Di saat seperti ini, bahkan hal seperti santet dan guna-guna pun akan terasa lebih masuk akal.

Di seberang telepon, Lesty menghela napas berat. "Mungkin Rafisqi cuma perlu dikembalikan ke jalan yang benar?"

Naura membalikkan tubuh hingga telentang menghadap langit-langit kamarnya dan mulai memikirkan saran Lesty barusan.

Mungkin yang bisa mengembalikan Rafisqi hanyalah terapi lanjutan.

"Benar juga."

Tanpa sadar Naura menyahuti pemikirannya sendiri. Sepertinya gagasan barusan boleh juga. Dia cuma harus meyakinkan Rafisqi agar melanjutkan terapinya. Namun, bagaimana caranya melakukan itu? Satu-satunya yang pernah dibeberkan Rafisqi padanya hanyalah mengenai anger issue. Naura tidak mungkin dengan gamblangnya mengaku kalau dia sudah tahu lebih banyak dari Dharma, Syila dan David.

"Apanya?"

"Bukan apa-apa," dalih Naura. Dia belum bisa memberi tahu siapa pun, termasuk Lesty, mengenai kondisi Rafisqi yang sebenarnya. "Ngomong-ngomong, bagaimana permintaanku tadi sore?"

"Aku tidak bisa berbuat banyak dalam waktu empat jam, Ra."

"It's okay. Dapat sesuatu?"

"Setidaknya aku dapat info tentang Angel dan Ratu." Nada puas terselip dalam suara Lesty.

Lesty itu tipe orang yang selalu menjaga komunikasi dengan teman-teman lama. Berbeda dengan Naura yang ruang lingkup pergaulannya semasa SMP teramat sangat terbatas, Lesty punya kenalan dimana-mana.

Makanya sahabatnya itu adalah orang yang tepat untuk dimintai mencari informasi.

"Angel enggak datang pas reuni. Ingat?"

"Katanya dia ketahuan menyelundupkan uang kantor?" Naura mencoba mengingat-ingat.

"Benar. Sinta yang sekantor sama Angel bilang, sekitar seminggu yang lalu ada dikiriman file untuk bos mereka. Dititipkan lewat resepsionis. Pengirimnya misterius."

Naura tidak ingat siapa itu Sinta, mungkin anak kelas lain, tapi dia mulai bisa menebak yang terjadi selanjutnya.

"File itu berisi bukti korupsinya si Angel."

"Tepat!" Suara Lesty terdengar sangat riang. "Siapa pun pengirimnya, aku ingin berterima kasih. Aku jadi tidak harus menghancurkan Angel dengan tanganku sendiri."

Sayangnya, Naura tahu kalau itu semua ulah Rafisqi. Pria itu bisa mengirim Gilang ke tempat terpencil dengan mudah. Mencari informasi tentang keuangan perusahaan lain pasti juga merupakan hal kecil baginya.

"Lalu Ratu. Wah! Kau tidak akan percaya ini." Kali ini Lesty terkekeh dan Naura punya firasat kalau kondisi Ratu tidak kalah mengenaskannya dari Angel. "Ratu ular yang kita cintai ini ternyata banting setir jadi PE-LA-KOR. Foto-foto rated M-nya bertebaran di internet, belum lagi video pelabrakannya oleh si istri sah. Ratu beneran viral belakangan ini. Oh iya, Naura kan kudet. Nanti kukirim videonya-"

"Lalu anggota geng mereka yang lain?"

Naura tidak ingin mendengar lebih lanjut tentang betapa-tersiksanya-Ratu. Dia memang benci Angel dan Ratu, tapi mengetahui mereka harus mengalami semua itu karenanya ... entahlah, rasanya salah. Naura cuma ingin melihat mereka dapat karma melalui hukum alam, bukannya melalui campur tangan Rafisqi.

Memangnya Rafisqi siapa? Pria itu bukan Nemesis yang berkewajiban membalaskan semua dendam Naura.

Rasa bersalah Naura semakin besar begitu mendengar laporan Lesty mengenai tiga orang lain yang berhasil dia selidiki. Nasib ketiga juga tidak baik. Di-PHK, diusir paksa dari apartemen dan dibukakan aibnya lalu dimusuhi orang sekantor.

"Gian?"

"Aku belum sempat cari tahu."

Naura tidak tahu harus kecewa atau lega. Dia kecewa karena belum ada kepastian tentang nasib Gian, tapi juga lega karena tidak harus mendengar hal buruk lainnya.

"Tapi, Ra. Kenapa memintaku menyelidiki mereka? Kau janji mau memberitahu."

"Cuma mau memastikan tidak ada lagi selain Gilang dan Ditya."

"Maksudnya?" Jeda sesaat. "ASTAGA! SI RAFISQI!"

Sepertinya Lesty sudah mulai memahami apa yang sebenarnya terjadi.

"Naura. Dengarkan aku." Lesty berbicara lambat-lambat, dengan penekanan di tiap kata. "Ini sudah tidak sehat. Aku tidak menyangka kalau ... Rafisqi semengerikan itu. Kau bisa menjauhinya? Aku mengkhawatirkanmu."

"Les, aku yang membuatnya jadi seperti itu. Semua salahku." Naura tidak membantah fakta ini. Sikap dan perkataannya yang terlalu sembrono-lah yang sudah men-trigger Rafisqi. "Mungkin aku belum bisa sepenuhnya menjauh."

"Ra-"

Protesnya Lesty disela oleh telepon lain yang masuk ke ponsel Naura.

"Della, nih. Teleconference saja ya, Les."

Naura menyentuh beberapa tombol dan suara cemprengnya Della langsung terdengar beberapa detik kemudian.

"Yuhuuu, Ra. Aku nemu es krim di kulkas. Buatku, ya? Hitung-hitung sebagai bayaran. Aku sudah bela-belain mampir kesini sehabis kerja cuma demi mengurusi rice cooker dan dispensermu!"

Nada cerianya Della sangat bertolak belakang dengan mood kelam beberapa detik yang lalu.

"Kau di apartemennya Naura?" sahut Lesty. "Sedang apa?"

"Eh, ada Lesty? Wah, kalian teleponan tanpa aku? Oke sip, abaikan saja aku. Aku ini mah apa? Enggak penting juga!"

"Aku minta tolong Della buat matiin listrik-listrik di apartemenku, Les," sela Naura sebelum dramanya Della berlanjut ke tahap yang lebih menggelikan. "Dan Della sayang, nanti kau juga tahu. Sabar, oke? Dan silahkan dimakan es krimnya, tapi jangan sentuh yogurt-ku!"

"Iya. Iya," sergah Della. "Ngomong-ngomong, aku ada kabar mengejutkan."

"Apa?" Sebenarnya Naura sudah tidak ingin mengetahui kabar mengejutkan lainnya malam ini, tapi dia terlanjur penasaran.

"Tadi sore aku ke cafe-nya Ditya. Kata karyawannya, Ditya lagi kena musibah."

Jantung Naura serasa mencelos waktu mendengarnya.

"Musibah apa?" Bahkan Lesty pun terdengar was-was. "Semoga enggak parah."

"Calon cabang cafe-nya habis terbakar."

***

Haloo 👋
Setelah nyicil sedikit demi sedikit, akhirnya selesai juga chapter yang satu ini *nangis terharu*

Makasih banyak buat temen2 yg udah nungguin (dan ikhlas kugantungin #plakk)

Selamat datang untuk teman2 yg (entah gimana caranya) bisa nyasar ke work ini. Semoga kalian suka ceritanya~
Lalu makasih juga buat yg udah follow sama masukin work ini ke library-nya 💕

(seandainya kalian tau betapa berbunga2nya hatiku pas liat notif sama jumlah views :'3 )

Okedeh, jumpa lagi di chapter selanjutnya (kuusahakan semoga bisa secepatnya)

With love,
MTW

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top