38. Possibility of The Impossible

"Itu apa?"

"Surat. " Tangan kanan Naura masih mengulurkan sebuah amplop putih, yang sejak tadi cuma dipandangi Gilang dengan tatapan curiga.

"Aku tahu itu surat." Gilang meraih amplop tersebut dan mengamatinya. "Surat cinta? Sorry, Ra. Pantang balikan sama mantan."

Naura langsung menghadiahkan jitakan untuk pria yang duduk di sebelahnya itu.

"Cuma bercanda!" Gilang bersungut-sungut sambil mengelus pelipisnya.

"Tolong serius, Lang. Biar cepat. Aku nggak mau kepergok, terus ada yang lapor ke Egi." Atau lebih gawat lagi, ketahuan mata-matanya Rafisqi.

Sambil berpikir begitu, Naura kembali memindai sekelilingnya. Dia sengaja mengajak Gilang ke taman paling ujung yang ada di dekat kamar jenazah. Seperti biasa, taman itu sangat sepi. Awalnya Naura sempat heran dengan keputusan rumah sakit untuk membuat taman di dekat ruangan beraura seram itu, tapi sekarang dia agak bersyukur. Tempat itu cukup menjamin privasi dan sejauh ini kondisi masih aman. Disana cuma ada mereka berdua dan tidak mungkin ada yang menguping selain para makhluk tak kasat mata.

"Yang dibilang Egi waktu itu ... tolong abaikan." Gilang menunduk, terlihat serius memperhatikan amplop di tangannya. Namun Naura tahu kalau pria itu sedang berusaha menghindari tatapannya. "Aku tidak akan menjauhimu."

Rasanya seperti deja vu. Naura pernah bilang hal yang sama pada Rafisqi, tentang tidak akan menjauhi Gilang. Mendengar Gilang juga berkata begitu tentangnya sukses membuat mata Naura berkaca-kaca karena terharu.

"Disuruh pilih antara tunangan dan sahabat itu konyol, Ra! Aku nggak bisa!" lanjut Gilang dengan nada frustrasi. "Tapi tenang. Aku pasti bisa bujuk Egi."

Secara tidak langsung Gilang menyampaikan kalau dia masih belum bisa menenangkan Egi. Padahal sudah lewat tiga hari sejak kejadian itu.

"Lalu apa-apaan ini," Gilang memutar tubuh menghadap Naura dan menggoyang-goyangkan amplop di tangannya. "Nona Anhar?"

"Surat rekomendasi," balas Naura. "Kau bisa kerja di rumah sakit keluargaku."

Gilang tersenyum tipis. "Kemana Naura yang paling anti dengan memanfaatkan-nama-keluarga-demi-tujuan-pribadi?"

Pertanyaan barusan memang menohok, tapi Gilang tidak salah. Selama ini Naura memang paling anti menggunakan nama besar keluarganya dalam kondisi apa pun. Dia bahkan lebih memilih bekerja di rumah sakit lain dibanding rumah sakit milik keluarganya. Dia tidak mau dianggap "masuk kerja karena koneksi". Kata "Anhar" di belakang namanya terlalu berat untuk dibawa-bawa dan Naura lebih memilih menyembunyikannya dari sebagian besar orang. Awalnya dia cuma meniru Naufal, tapi lama-kelamaan dia memahami alasannya. Seandainya semua orang tahu kalau mereka berasal dari keluarga terpandang, yang punya perusahaan dan rumah sakit dimana-mana, maka ucapkan selamat tinggal pada hidup normal dan katakan selamat datang pada para penjilat yang bersembunyi di balik topeng.

Waktu SMP dia masih bisa bertahan untuk tidak merengek seperti anak manja dan melapor agar pem-bully-nya dihukum berat, tapi sekarang berbeda. Kalau Rafisqi menggunakan kekuasaannya untuk mengirim Gilang jauh-jauh, maka Naura akan memakai wewenangnya demi membuat Gilang tetap tinggal. Untunglah Gilang punya track record yang cemerlang sebagai dokter muda. Hal itu memudahkan Naura untuk meminta rekomendasi dari pamannya yang menjabat direktur Rumah Sakit Anhar Medika.

"Jangan melanggar prinsipmu demi aku." Gilang menaruh amplop tersebut di atas pangkuan Naura tanpa sempat membuka dan melihat isinya. "I'm okay."

"Tapi ... ini salahku." Naura kembali mengulurkan amplop yang masih tersegel itu. "Tolong diterima, Lang. Disana Rafisqi tidak akan bisa mengusikmu. Kau tidak harus pergi ke rumah sakit yang jauh itu."

"Bukan salahmu." Gilang memang menerima kembali amplop tersebut, tapi dia langsung memasukkannya ke dalam tas Naura yang kebetulan ada di sebelahnya. "Kau sudah melakukan semua yang kau bisa dan aku berterima-kasih. Lagian dokter yang baik nggak boleh pilih-pilih pasien. Rumah sakit mana pun sama saja."

"Tapi ...." Naura sudah berada diambang tangis. Dia tidak mengerti kenapa Gilang terlalu baik jadi orang.

"Pasti berat untukmu juga. Terlebih kau mulai mencintainya-"

"I'm not!"

"Ya. Kau terlanjur mencintainya!" Gilang mengulas senyum yakin. "I know you."

"Aku nggak mungkin mencintainya." Suara Naura melemah. Dia capek membantah hal yang sama berulang-kali. Kemarin Lesty dan David, sekarang Gilang. Kenapa semua orang menganggap Naura bisa jatuh cinta pada pria mengerikan itu?

"Kenapa tidak? Cinta bisa muncul kapan saja. It has ability to bloom even in total chaos. Sangat menggambarkan kalian kan?" Gilang tertawa. "Lalu ingat quote terkenal ini nggak? Love comes with the most unexpected person, in the most unexpected place, at the most unexpected time."

"Dinasehati tentang cinta oleh sang mantan di dekat kamar jenazah." Naura meringis. "Kisah cintaku suram."

"Ditertawai mereka tuh," tukas Gilang dengan santainya. Tatapannya tertuju pada sesuatu di balik punggung Naura.

"Baguslah. Disini jarang ada hiburan soalnya," jawab Naura cuek. Dia memahami niat Gilang untuk menghiburnya, walaupun caranya rada horor.

Tiba-tiba Gilang menjentikkan jari. "Sebagai mantan yang baik, akan kupastikan kau tidak lagi salah menafsirkan perasaan. Jangan kayak dulu. Cuma perasaan nyaman malah dianggap cinta."

"Kau juga salah, Bodoh!" Lagipula sejak kapan 'memastikan perasaan' menjadi tugasnya mantan?

Gilang mengibas-ngibaskan tangannya dengan tampang cuek yang membuat Naura sebal. "Coba jawab pertanyaan ini." Ekspresinya berubah serius. "Kapan terakhir kau memikirkan Ditya?"

Naura terdiam, mencoba mengingat-ingat kapan terakhir kalinya nama 'Ditya' terlintas di pikirannya. Tidak lama kemudian dia mengernyit bingung. Ini di luar dugaan.

Dia tidak tahu jawabannya.

Sementara itu Gilang memasang senyum puas penuh arti.

"See? Bahkan hal paling tidak mungkin sekali pun masih punya kemungkinan terjadi walau cuma 0.001 persen. Apalagi cinta? There's always a billion possibility for it."

***

Setelahnya Naura malah termenung sendirian dengan ponsel di tangan. Iya, dia masih di taman dekat kamar jenazah, tapi setidaknya suasana masih terang benderang dan kali ini ada tiga orang lain yang duduk tidak jauh darinya. Gilang mesti kembali ke urusannya, sementara shift kerja Naura sudah selesai satu jam yang lalu. Dan, ya, sampai akhir dia tetap gagal meyakinkan Gilang untuk menerima surat rekomendasi.

Naura melirik layar ponsel. Baru saja ada telepon masuk dari Rafisqi dan seperti kemarin-kemarin, Naura me-reject-nya tanpa ampun. Berkat pria itu, selama tiga hari belakangan dia terpaksa bersikap layaknya buronan yang menghindar dari kejaran polisi. Dia rela berangkat kerja beberapa jam lebih cepat dan pulang lewat jalur berbeda tiap harinya. Semua itu cuma demi menghindar dari radarnya Rafisqi.

Beberapa kali Naura nyaris ketahuan dan untunglah dia selalu bisa lolos tanpa perlu bertatap muka dengan pria pembawa mimpi buruk itu. Seandainya Naura tahu identitas informannya Rafisqi, dia tidak akan segan memberi orang itu pukulan di wajah karena telah membuat hidupnya susah.

Seseorang menepuk bahunya, sukses membuat Naura terlonjak berdiri. Insting bahayanya aktif seketika.

"Eh, maaf. Kaget ya?"

Suara familiar itu membuat Naura mengurungkan niatnya untuk kabur.

"... Ditya?"

Pria itu tersenyum lebar dan mengangkat sebelah tangannya untuk menyapa. "Halo."

Naura refleks meringis. Dari semua orang yang ada di rumah sakit, kenapa malah Ditya yang muncul? Dan kenapa bisa kebetulan sekali?

Mengerikan.

"Kenapa?" Ditya memandanginya heran dan Naura buru-buru mengubah ekspresi wajahnya.

"Halo, Dit!" sapanya, berusaha terdengar antusias. "Lama nggak ketemu."

Naura teringat pertemuan terakhir mereka dan hampir saja dia kelepasan menghela napas berat. Hari itu Rafisqi membeberkan semuanya dan kembali terbayang oleh Naura betapa hancur hatinya waktu mendapati respon Ditya yang biasa-biasa saja. Di hari yang sama, dia membuat tekad untuk benar-benar berhenti mengharapkan Ditya.

"Kenapa disini?" tanya Naura berbasa-basi. "Kau sakit?"

Ditya menggeleng. "Mau jenguk teman, tapi," Pria itu mengusap tengkuknya, terlihat salah tingkah. "aku kesasar."

Naura tidak menyia-nyiakan kesempatan langka untuk menertawai Ditya. "Temanmu dirawat dimana?"

"VIP."

"Untung nggak nyasar ke kamar jenazah ya, Dit," goda Naura. "VIP ada di sayap timur. Tinggal ikuti koridor ini. Pas mentok belok kanan, lurus, lalu kiri."

"Oke, makasih." Bukannya langsung jalan, Ditya malah duduk di bangku yang tadi ditempati Gilang.

"Nggak langsung kesana?" tanya Naura heran.

Ditya tertawa pelan. "Mengusirku?"

"Bukan!" bantah Naura cepat-cepat. Dia ikutan duduk. "Kupikir lagi buru-buru."

"Tidak juga." Ditya menggeleng. "Baru selesai kerja?"

Naura mengangguk.

"Dijemput Rafi?"

Dari mana datangnya pertanyaan itu?

"Dia sibuk," jawabnya pendek, tidak ingin menjelaskan lebih lanjut karena cuma akan membuat kesal.

Ditya mengangguk-angguk. "Kenapa jarang ke cafe lagi? Kalau nggak salah ... kita terakhir ketemu dua bulan lalu."

"Hmm, sibuk." Naura merutuki mulutnya yang tidak bisa memberikan jawaban lain selain 'sibuk'. "Kenapa? Kangen?" Selanjutnya dia menertawakan pertanyaannya sendiri.

"Iya." Ditya menjawab tanpa ragu disertai senyum lembut andalannya. "Kangen."

"Aku memang ngangenin."

Naura masih tertawa, tapi rasanya aneh. Apa dia tidak terlalu tenang? Sejak kapan dia bisa bicara santai dengan Ditya tanpa melibatkan jantung berdebar dan perasaan melambung tinggi? Naura yang dulu pasti akan langsung tersipu waktu mendengar seorang Ditya bilang 'kangen' sambil pasang senyum manis mematikan seperti barusan. Sekarang ... dia malah tidak merasakan apa-apa.

Dia kembali kepikiran pertanyaan Gilang dan diperhatikannya lagi Ditya dengan seksama. Pria itu masih Ditya yang biasa, meskipun rambutnya terlihat lebih pendek dari biasanya. Naura tersenyum simpul. Potongan rambut cepak ala tentara itu ternyata cocok juga. Kesannya Ditya jadi terlihat fresh sekaligus fierce disaat yang bersamaan. Makin enak dipandang. Makin ganteng.

Namun kenapa Naura malah merasa biasa saja? Ini sama saja dengan waktu dia melihat aktor di TV, lalu dengan ringannya memuji mereka keren dan tampan tanpa ada maksud apa pun.

"Ngomong-ngomong, ada yang mau kusampaikan." Ditya kembali bicara.

"Akhirnya kau punya calon?" Dari sekian banyak hal, Naura malah keceplosan bilang itu.

"Tahu dari mana?"

"Eh, tebakanku benar?" Naura sungguh merasa antusias dari lubuk hatinya yang paling dalam.

"Pasti mikir yang lain." Ditya memasang ekspresi sewot. "Calon cabang caféku."

"Kau buka cabang?" Naura spontan bertepuk tangan. "Selamat, Dit! Akhirnya impianmu tercapai!"

Naura ikut bahagia mendengarnya. Ditya sudah memendam rencana itu sejak bertahun-tahun yang lalu. Dia bahkan pernah bilang hal konyol seperti tidak akan menikah sebelum bisnis cafenya berkembang. Dulu itulah salah satu hal yang membuat Naura makin ragu Ditya punya perasaan padanya. Menikah hanyalah prioritas kesekian bagi pria itu.

"Akhirnya kau bisa menikah dengan tenang!"

"Kau ini!" tegur Ditya. "Pembukaannya Sabtu depan dan kau harus datang!"

"Iyaa." Naura mengangguk-angguk. "Biasanya orang kasih hadiah apa untuk pembukaan cafe?"

"Kau datang saja sudah cukup. Kasih tahu Gilang, Lesty dan Della juga."

Naura kembali mengangguk mengiyakan.

Diam-diam dia mulai yakin dengan satu hal. Move on-nya berhasil. Pemikiran itu membuatnya merasa bahagia dan miris disaat yang bersamaan. Dia sudah menyukai Ditya selama hampir 5 tahun dan ternyata proses move on-nya cuma sekitar dua bulan. Bisa ya secepat itu?

Bayangan Rafisqi terlintas di benaknya dan untuk pertama kalinya, Naura berpikir ulang mengenai hal yang selama ini mati-matian dia bantah.

"Rasanya ... kau agak beda ya, Ra?"

Ditya bertanya tiba-tiba, menyentakkan Naura dari lamunannya.

"Beda?"

Sebagai jawaban Ditya hanya mengangkat bahu dan Naura tidak mengerti kenapa tatapan pria itu berubah sendu saat melihatnya.

Naura memutuskan untuk tertawa setelah jeda yang terasa canggung. "Aku masih sama."

"Ya," jawab Ditya, nyaris seperti bergumam. "Kuharap begitu."

Naura terusik dengan perubahan suasana hati Ditya yang begitu kentara. "Dit-"

Perkataan Naura terputus saat tiba-tiba matanya menangkap keberadaan Rafisqi di ujung koridor. Cukup jauh, tapi Naura langsunh tahu kalau itu adalah pria yang dia hindari selama tiga hari belakangan.

"Ya?"

Ditya, yang tidak menyadari keberadaan Rafisqi karena sedang duduk membelakangi, memintanya untuk lanjut bicara, tapi Naura sudah tidak fokus. Dia merasakan firasat buruk saat mendapati Rafisqi tidak melepaskan pandangan sedikit pun darinya. Auranya menakutkan dan Naura merasa seperti seeekor mangsa yang baru saja ditemukan oleh predatornya.

Harus kabur.

Naura cepat-cepat berdiri. "Dit, maaf. Aku duluan."

"Kenapa?" Ditya terlihat curiga.

Naura cuma menggeleng. "Sampai jumpa Sabtu depan."

Setelah mengatakannya, dia langsung berlari menyusuri koridor yang arahnya berlawanan dari Rafisqi. Seperti yang sudah-sudah, pria itu pasti akan langsung mengejarnya. Terus berlari tidak akan ada gunanya karena Rafisqi selalu dapat menyusulnya dengan mudah. Makanya, cara paling efektif hanyalah mencari tempat sembunyi secepatnya.

Di tengah kepanikan dan ketakutannya, Naura merasa pikirannya mulai kacau dan otaknya seolah dipaksa berpikir keras. Banyak hal berputar-putar di kepalanya di saat yang bersamaan.

Pertanyaan Gilang yang tidak mampu dijawabnya.

Pertemuannya dengan Ditya.

Alasan dibalik tuduhan yang dilontarkan Lesty dan David dengan penuh keyakinan.

Reaksinya ketika melihat foto si gadis berambut cokelat.

Kekecewaan kali ini yang terasa lebih besar dibanding kecewa yang dipendamnya selama 12 tahun.

Semua bercampur-aduk dan saling tumpang tindih, berdesak-desakan di kepalanya. Namun, untuk pertama kalinya dia melihat benang tipis yang ternyata menghubungkan semuanya dan Naura tahu dia tidak bisa mengelak lagi kali ini.

Dia berhenti berlari dan mematung di tengah-tengah koridor.

Kesadaran itu menghantamnya tanpa ampun. Ternyata cuma butuh satu kalimat singkat untuk menjelaskan semua hal tersebut dan membuatnya menjadi masuk akal.

Semua karena dia mencintai Rafisqi.

***

Naah, sadar juga dia :')

Maaf Ditya, dirimu udah lama gak muncul, tapi sekalinya muncul malah .... 😐

Btw, aku mau bikin PENGUMUMAN.

Setelah dipikir panjang lebar, masak-masak, dengan sepenuh hati dan penuh pertimbangan, aku mutusin buat HIATUS dulu :'(

Maapkeun dirikuuu.
Tp "anakku" yang satunya (yang padahal cuma 5 bab, tapi demanding-nya sungguh minta ampun dan butuh perhatian tingkat dewa) mesti segera dikelarin demi masa depan yang cerah dan gemilaang ✨✨✨ #apasih

Emm, jadi kayaknya aku mau fokus ke itu dulu 😅

Tapiii, aku bakal tetap update, meski jadwalnya bakal gak nentu.
Gimana pun, aku tipe yg nggak bisa kalo nggak nulis ginian terlalu lama, karena itu sama aja kayak numpuk stress trus gila perlahan #nongayalnolife

Jadi ntar kalo misalnya udah selesai nulis chapter terbaru, bakal kupublish kok 😉

Etapi, kalo kayak gini namanya semi-hiatus berarti? Okedeh. Berarti SEMI-HIATUS, karena aku ga bakalan bener2 ilang dari wp 😂

Udah itu aja curcolku. Semoga teman-teman tetap bersedia nunggu kelanjutannya yaa. Jumpa lagi di Februari atau awal Maret dengan jadwal yang (semoga) sudah kembali normal

Then, Happy Holiday all~

Love,
MTW XD

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top