35. The Time Bomb

Berhubung kopinya ditinggal di meja prasmanan dekat tiga gadis tadi, dan Naura terlalu malas untuk kembali berbalik untuk mengambilnya, akhirnya dia pergi ke meja lain dengan berbagai kue dan cake tertata rapi di atasnya. Semua tindakan berani dan sok bijak barusan sukses membuat energinya terkuras dan Naura membutuhkan asupan glukosa secepatnya. Sayangnya semua tidak berjalan semudah itu.

"Jadi kau kerja di rumah sakit?"

Untuk yang ketiga kalinya, Naura urung menyuap kuenya. Dia kembali menurunkan sendok yang tadi sudah nyaris masuk ke mulut dan memasang senyum untuk pria bermata sipit di sampingnya.

"Begitulah," jawabnya sekenanya, diam-diam berharap pria itu akan memberinya jeda setelah ini. Sepotong chessecake yang ada di tangan kirinya terlalu menggoda untuk diabaikan. Naura pasti sudah sampai di potongan kedua kalau saja pria berambut cokelat tua itu tidak terus mengajaknya bicara sejak tadi.

"Kau memang cocok jadi dokter." Pria itu tertawa kecil. Tidak seperti Naura, dia tidak terlihat keberatan mengabaikan sepiring kecil kue cokelat yang sejak tadi cuma ditentengnya.

"Gian, aku perawat, ngomong-ngomong."

Klarifikasinya barusan sukses membuat Gian tertawa salah tingkah. "Eh? Perawat, ya? Hmm, nggak jauh beda," dalihnya sambil mengibas-ngibaskan tangan kanannya santai. "Berarti kalau aku tiba-tiba pingsan disini aman dong ya?"

Senyum Naura mulai terpatah mendengar pertanyaan random barusan. "Sebaiknya jangan," tukasnya, sama sekali tidak tertarik untuk menanyakan alasannya. Dia hanya ingin cepat-cepat menjauh dari Gian dan menikmati kuenya dengan tenang.

Sejujurnya, selain Angel dan kawan-kawan, mungkin Gian adalah orang selanjutnya yang tidak ingin Naura temui lagi. Gian memang tidak punya salah apa-apa, tapi Naura sebal saja tiap kali teringat kalau pria itu memiliki andil tertentu dalam kehidupan nerakanya. Coba bayangkan. Seandainya pagi itu Gian tidak memberinya surat cinta, Lesty tidak akan memergokinya dan Naura tidak mungkin terpancing untuk bercerita tentang cinta pertama. Dengan begitu Rafisqi tidak akan pernah tahu perasaannya, gosip itu tidak akan pernah menyebar dan Naura pun mendapatkan kehidupan SMP yang damai sentosa.

Namun sedetik kemudian Naura menghela napas berat.

Betapa kekanak-kanakannya dia. Pendendam. Tidak rasional. Masih saja terjebak di masa lalu. Naura benci dirinya yang seperti itu. Diam-diam dia malu pada tiga gadis yang ditemuinya sebelum ini. Dia sok-sokan menasehati mereka agar move on, padahal dia sendiri belum bisa melakukan itu sepenuhnya.

Seseorang menepuk-nepuk bahunya pelan. "Hei, hei, tenang. Aku cuma bercanda, Ra." Gian sedikit membungkuk untuk menyamakan tingginya dengan Naura. "Udah nggak langganan pingsan kok."

"Haha. Iya," jawab Naura seraya memutar tubuh menghadap meja yang ada di sampingnya, seketika merasa risih di bawah tatapan intensnya Gian.

"Naura."

Gian kembali menggagalkan usaha Naura untuk memakan kuenya.

"Apa?" Naura menyerah. Kali ini dia benar-benar menaruh piring cheesecakenya di pinggir meja dan kembali menyamping menghadap Gian. Pokoknya dia harus menyelesaikan urusan dengan pria itu secepatnya.

"Pacarmu yang-"

"Maaf, permisi." Sosok tinggi berjas cokelat muda tiba-tiba lewat tanpa permisi. Dengan santainya dia menyelip di antara Naura dan Gian dan meraih sebuah piring kosong. Baik Naura maupun Gian terdiam, sepertinya mereka sama-sama tidak menduga interupsi mendadak tersebut. Sementara itu, si penginterupsi mulai memilih-milih kue dan menaruhnya di piring dengan sangat santai, seolah tidak sadar kalau dia sedang berdiri di antara dua orang yang tadinya sedang mengobrol.

Hampir saja lidah Naura keceplosan menceramahi orang itu atas tindakan tidak sopannya. Untunglah dia teringat kalau mereka seharusnya tidak saling mengenal. Untuk saat ini yang bisa dia lakukan hanyalah memberi Rafisqi tatapan sebal terbaiknya. Seharusnya Naura sudah terbiasa dengan kebiasaan pria itu muncul tiba-tiba di dekatnya, tapi tetap saja tidak bisa.

"Ra."

Naura menelengkan kepalanya agar bisa melihat Gian yang separuh tubuhnya terhalang Rafisqi, sementara yang dilihat ikut melakukan hal yang sama.

"Pindah tempat?" tanya Gian pelan.

Rafisqi berdehem tiba-tiba. "Tidak perlu," tukasnya. "Aku sudah selesai."

Sambil mengatakan itu, Rafisqi memutar kepala ke samping dan menatap Naura lekat-lekat. Naura membalas tatapannya, berusaha untuk tidak memberikan reaksi apa-apa. Sinar dari sepasang mata Rafisqi kembali berubah sinis dan dingin, seperti saat dia menegur tiga gadis tadi, dan Naura mulai bertanya-tanya tentang apa lagi yang salah kali ini.

Sepertinya saking terlalu nyamannya dengan Rafisqi, kau tidak sadar kalau perasaanmu mulai berubah

Naura segera mengalihkan pandangan sewaktu teringat perkataan Lesty sebelumnya.

"Wajahmu memerah. Kau demam?"

"Eh?" Naura tidak percaya mengetahui Rafisqi sedang mengajaknya bicara. Dia kembali menoleh dan masih menemukan tatapan dingin yang sama.

Belum sempat dia mengatakan apa-apa, Rafisqi kembali buka mulut.

"Oh, ya. Bukan urusanku."

Sehabis mengatakan kalimat bernada sok itu, Rafisqi berbalik dan melangkah pergi.

Barusan itu akting? Naura mulai berspekulasi dalam hati. Namun, akting atau bukan, pria itu sukses membuatnya merinding dan ingin menghujat di saat yang bersamaan.

Naura melihat Rafisqi duduk di kursi yang jaraknya tidak sampai dua meter dari tempatnya dan Gian. Pria itu tidak lagi melihat ke arahnya dan kembali mengobrol dengan beberapa orang yang juga duduk disana, dan Naura tidak sadar kalau dia sudah mengamati terlalu lama.

"Sikapnya padamu masih saja jelek."

Komentarnya Gian refleks membuat Naura menoleh dan mendapati pria bermata sipit itu juga sedang mengamati Rafisqi.

"Maksudmu?" tanya Naura heran. Dia merasa aneh dengan kalimat Gian barusan. Seisi sekolah cuma tahu kalau Naura dan Rafisqi tidak pernah mengobrol di luar kegiatan organisasi dan kepanitiaan. Terlepas dari gosip itu, Rafisqi memang tetap memperlakukannya secara profesional, seolah tidak terjadi apa-apa. Satu-satunya sikap jelek yang terang-terangan ditunjukkan Rafisqi pada Naura hanyalah saat kejadian penolakan sadis pagi itu.

"Bukan apa-apa." Gian mengalihkan atensinya dari Rafisqi dan tertawa kecil. "Tadi kita sampai dimana?" Pria itu berpikir sebentar dan menjentikkan jari. "Ah! Tentang pacarmu."

"Pacarku?" Mendengar itu membuat Naura auto berpikir keras.

"Cowok berkacamata yang datang bersamamu waktu reuni 6 tahun lalu."

Naura kagum Gian masih saja mengingat hal itu.

"Kenapa tahun ini datangnya bareng Lesty?"

"Kau cuma mau tahu aku masih bersamanya atau tidak, kan?" tembak Naura tanpa basa-basi.

Di hadapannya, Gian hanya tertawa cengengesan dan Naura menganggap tebakannya barusan benar.

"Sudah lama putus."

"Wah! Kenapa kau bisa putus dengan ...." Gian meletakkan kepalan tangannya di dagu dan kembali memasang tampang berpikir keras. "Siapa namanya? Aku lupa. Galang? Elang? Gemilang?"

"Gilang."

Sejurus kemudian, Naura tersadar dengan apa yang baru saja diucapkannya dan buru-buru menoleh ke samping. Tiba-tiba saja dia merasakan urgensi untuk memastikan Rafisqi tidak mendengar nama itu. Sayangnya terlambat. Dari tempat duduknya, Rafisqi juga sedang melihat ke arahnya dan Naura mulai panik sendiri.

Masa' sih dia dengar? Kan jaraknya cukup jauh? Nggak mungkinlah dia dengar.

Namun tatapan kaget yang sedang dilontarkan Rafisqi jelas-jelas menunjukkan kalau pria itu memang mendengarnya.

Firasat Naura tidak enak. Dia merasa seharusnya Rafisqi tidak pernah tahu tentang hal ini.

"Naura?"

"Ah, y-ya?" jawab Naura gelagapan. Dia lupa masih ada Gian di depannya. "Putus karena nggak cocok pacaran." Syukurlah dia masih ingat pertanyaan Gian sebelumnya.

"Begitu. Ngomong-ngomong ... " Gian mengusap-usap tengkuknya, tiba-tiba saja terlihat gugup. "kau ingat suratku dulu?"

Naura mengangguk. Mana mungkin dia melupakan surat sial yang menjadi awal dari segalanya itu.

"Apa yang akan kau lakukan kalau ... menerima versi dua-nya?"

Dari arah sebelah kirinya, Naura mendengar suara gebrakan yang cukup keras dan disusul bunyi kaca pecah. Suara itu sukses membuatnya terkesiap dan refleks menolehkan kepala, begitu pun belasan orang yang kebetulan berada di dekat sana. Selain alunan piano yang masih terdengar di latar belakang, suasana di sisi ballroom bagian itu sunyi seketika karena perhatian semua orang cuma terfokus ke satu arah.

Naura mendapati Rafisqi sudah dalam posisi berdiri dengan kedua telapak tangan menempel di atas permukaan meja. Tiga buah gelas yang ada di meja tersebut sudah dalam kondisi jatuh, menumpahkan isinya dan membasahi taplak putih di bawahnya dengan cairan berwarna oren. Kue-kue yang ada disana juga sudah berantakan, tidak lagi tertata rapi di piringnya. Tidak kalah hectic, di dekat kaki meja Naura menemukan beling-beling kaca bertebaran dengan beraneka kue kering berserakan di sekitarnya.

Namun itu semua bukan apa-apa. Bagi Naura wajah Rafisqi yang sudah merah padam jauh lebih mengerikan.

"Raf, kenapa?" Salah seorang penghuni meja menyentuh lengan Rafisqi dengan hati-hati.

Rafisqi menepisnya kasar dan mengangkat kepalanya yang sedari tadi tertunduk. Naura merasakan darah surut dari kepalanya waktu tatapan murka pria itu tertuju ke arahnya.

"Rafisqi."

Tentu saja Rafisqi tidak bisa mendengar panggilan lirihnya barusan. Naura masih tidak tahu harus berbuat apa waktu Rafisqi meninggalkan meja nahas tersebut dan melangkah cepat menuju pintu keluar ballroom, sama sekali tidak peduli dengan semua perhatian yang tertuju padanya. Sepeninggal pria itu, seakan ada yang menekan tombol unmute, bisik-bisik dan gumaman heran langsung menguar di sekeliling Naura.

"Dia kenapa?" Di sebelahnya Gian ikut bertanya kebingungan.

Naura tidak menjawab. Tatapannya masih terpaku pada pintu tempat sosok Rafisqi menghilang beberapa saat yang lalu.

"Ra?" Gian melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Naura. "Baik-baik saja?"

"Gian, maaf," tukas Naura cepat-cepat. Firasatnya baru saja naik tingkat dari 'buruk' menjadi 'teramat sangat buruk'. "Aku permisi."

Tanpa menunggu balasan dari Gian, Naura menyusul Rafisqi keluar ballroom.

***

Setelah berlari kesetanan dan bertanya sana-sini, akhirnya Naura berhasil menemukan Rafisqi di wilayah parkiran depan hotel.

"Rafisqi!" panggil Naura, sekuat yang diizinkan oleh napasnya yang sudah ngos-ngosan. Syukurlah Rafisqi berhenti dan berbalik menghadapnya. Takut pria itu keburu pergi lagi, Naura memakai sisa tenaganya untuk kembali berlari dan berhenti di hadapan Rafisqi. "Kau ... kenapa?"

Naura terbatuk sekali. Lupakan tentang cheesecake yang tidak juga bisa dimakannya, yang saat ini sedang terbengkalai di atas meja. Saat ini dia lebih butuh air.

"Masih nanya kenapa?" Rafisqi balas bertanya seolah Naura baru saja mengucapkan hal bodoh yang tidak seharusnya ditanyakan.

"Soal Gilang?" Naura kembali bertanya, kali ini dengan lebih hati-hati.

"Itu juga."

Naura mengernyit bingung. Berarti masih ada yang lain?

"Seandainya tadi aku tidak langsung pergi, Gian pasti sudah hancur di tanganku."

Kedua mata Naura membola mendengarnya. Kenapa Gian juga jadi terlibat? "Tunggu! Kenapa-"

"Kau penasaran kan siapa penyebab gosip itu?" sela Rafisqi. "Gian."

"Jangan sembarangan!" Naura tidak bisa menerima tuduhan semena-mena barusan. Jelas-jelas pagi itu cuma ada mereka dan Lesty di dalam kelas. Tidak mungkin Gian bisa tahu. Lagi pula, Gian bukan jenis orang yang hobi menyulut gosip.

"Naura, aku masih tidak tahu kau ini polos, naif atau bodoh."

Kalimat itu lagi. Naura ingat Rafisqi pernah mengatakan hal yang sama sebelumnya.

"Tapi tenang saja. Untung aku masih ingat. Kita seharusnya tidak-saling-kenal." Rafisqi bicara penuh penekanan dan tertawa hambat.

Naura menangkap makna tersembunyi dari kalimat itu. Untuk menyindirnya.

"Ya, untunglah aku ingat. Kalau tidak ...." Rafisqi membiarkan kalimatnya menggantung dan kembali menatap Naura dengan jenis tatapan yang membuat merinding. "Aku bisa urus Gian nanti. Sekarang aku harus bertemu dokter itu."

"Rafisqi!" Naura buru-buru meraih lengan jas Rafisqi, mencengkramnya sekuat mungkin agar pria itu tidak pergi kemana-mana dan melakukan apa pun yang ada di kepalanya saat ini. Kali ini firasat buruknya tertuju ke Gilang. "Kau mau apa?"

"Hmm, apa ya?" Rafisqi memasang seringai mengerikan yang belum pernah Naura lihat sebelumnya. "Bukan apa-apa."

Sayangnya Naura tidak percaya.

"Jangan sentuh Gilang!" Nada suaranya mulai meninggi.

"Aku tidak suka tunanganku masih berhubungan dengan mantannya."

"Kau-" Naura siap untuk meledak, tapi dia kembali teringat dengan perdebatan mereka seminggu yang lalu dan menahan lidahnya. Tidak. Dia tidak ingin lagi bersikap seperti waktu itu. Walaupun susah, Naura akan berusaha untuk menekan egonya kali ini. Semuanya tidak akan selesai kalau mereka berdua sama-sama emosi. "Kami sudah putus sejak lama."

Sejujurnya Naura hampir tidak pernah mengingat Gilang sebagai mantan. Sejarah pacaran mereka terlalu menggelikan untuk diingat. Gilang pastinya juga sependapat.

"Dan gantinya kalian malah sahabatan?" Rafisqi tertawa menyindir. "Lelucon macam apa itu?"

Kedua tangan Naura mengepal di sisi tubuh. Kesal. Rasanya dia sangat kesal mendengarnya. Ternyata memang nyaris mustahil untuk tidak emosi tiap kali berhadapan dengan Rafisqi yang seperti ini.

"Jauhi Gilang."

"Tidak mau," jawab Naura tak kalah datar.

"Mantan itu barang bekas sekali pakai. Kau tidak bisa mendaur-ulangnya menjadi teman, apalagi sahabat. Buang ke tempat yang seharusnya dan jangan pernah mengingat-ingatnya lagi."

"Rafisqi. Tanganku gatal ingin menamparmu." Naura benar-benar benci mendengar definisi barusan. "Gimana kalau aku jadi mantan tunanganmu?" Dia memberi penekanan berlebihan pada kata 'mantan'. "Aku tidak keberatan dibuang."

Naura capek berusaha menjaga perasaan pria itu. Dia tidak mau terus-terusan merasa bersalah atas setiap perlakuan kasarnya pada Rafisqi, sementara jelas-jelas pria itu layak mendapatkannya.

Di saat yang sama, dia mulai mempertanyakan keputusan Dharma dan Syila. Memangnya dengan hanya menjaga perasaan Rafisqi akan membuatnya sembuh? Bagi Naura itu sama saja dengan cuma mencegah pertumbuhan penyakit tanpa membunuh virus utama yang jadi penyebabnya. Rafisqi harus disadarkan kalau tidak semua bisa berjalan sesuai keinginannya. Dia harus tahu bahwa kemarahan dan kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah dan dia tidak bisa sepenuhnya memiliki hak atas diri seseorang.

"Sepertinya aku tahu kenapa mantanmu meninggalkanmu." Dan kalimat bernada sarkastis itu terlontar mulus dari mulut Naura.

"DIAM!"

Meski dibentak seperti itu, Naura berhasil mempertahankan ketenangannya.

"There you go again." Dia menghela napas capek. "Menutup diri sendiri dan ikut campur urusan orang lain."

"Kau tetap harus menjauhi Gilang." Rafisqi mengulangi peringatannya. "Atau aku yang membuatnya menjauhimu. Lalu jangan dekat-dekat pria lain. Kau tidak pernah tahu niat terselubung mereka."

"Bagaimana denganmu, Rafisqi? Niat terselubung apa yang kau miliki?" Naura menyipitkan mata dan memberi pria di hadapannya tatapan tajam. "Niat baik? Niat buruk?"

"Aku mencintaimu." Rafisqi bicara seolah satu kalimat itu bisa menjelaskan semuanya.

Mendengar itu, Naura tertawa kecil. "Darimana kita tahu itu baik atau buruk? Kau mencintaiku untuk kepentingan siapa, Rafisqi? Kepentinganmu? Kepentinganku? Kepentingan kita?"

Rafisqi tidak mengatakan apa-apa.

"Aku tidak akan menjauhi Gilang," putus Naura tanpa keraguan sedikit pun. "Dia sahabatku. Apa pun yang kau rencanakan, aku tidak akan menjauhinya."

Rasanya seperti sebuah deklarasi perang dan Naura merasakan suatu kepuasan tersendiri setelah mengatakannya. Namun kenapa disaat yang sama ada kekosongan menyakitkan yang tiba-tiba menyeruak di dada?

"Sampai kapan kita begini?" Naura bertanya pelan. Dia mengalihkan pandangan ke arah deretan mobil yang terparkir disana. "Tiap ketemu selalu saja ada yang diperdebatkan. Seingatku belum sampai 24 jam kau mendatangiku, menelepon dan meminta maaf. Pertunangan macam apa ini?"

"Naura ...."

Naura kembali menghadap Rafisqi dan mendapati pria itu sedang memandangi dengan tatapan sendu. Kesan keras dan dingin yang terasa begitu dominan beberapa saat yang lalu, hilang luntur begitu saja. Naura berusaha untuk tidak terpengaruh tatapan itu dan membuka tas yang sejak tadi tersampir di bahunya.

"Ini." Naura mengeluarkan sebuah kotak kecil berlapiskan bungkus kado merah marun dan mengulurkannya ke Rafisqi. "Selamat ulang tahun. Aku tahu ini tidak sebanding dengan hadiahmu dulu, tapi kuharap kita impas."

Rafisqi cuma diam memandangi kado tersebut. Dengan tidak sabar Naura meraih tangan pria itu dan meletakkan kadonya disana. Dia berusaha untuk tidak terusik dengan gelang cokelat pemberiannya yang masih saja melingkar di pergelangan tangan kiri Rafisqi. Gelang itu hanya mengingatkannya pada betapa nyamannya hubungan mereka dulu, sebelum ada kalimat 'aku mencintaimu' yang terlibat dan kebenaran masa lalu yang terkuak.

Malam itu Naura tidak tahu kalau hitung mundur 'bom waktu' akhirnya menyentuh angka nol. Tanpa sadar kakinya sudah menapak di jalan yang tidak seharusnya dia tempuh. Jalan yang sulit dan berbahaya. Seandainya Naura tahu tentang berapa banyak hati yang hancur di jalan tersebut, mungkin dia akan melakukan apa pun agar bisa memutar waktu ke seminggu yang lalu.

***

Hayoo, masih ingat nggak sama Gian? (Kalo lupa, silahkan cek ke part yang paaaling awal 😂)

Lalu, siapa yang udah bisa nebak kalo Gilang pernah jadi lebih-dari-sekedar-sahabat buat Naura?
Sebenarnya aku dah ninggalin clue2 di beberapa chapter sebelumnya, tapi, eummm, kayaknya cluenya rada shady dan ga jelas 😅 #nyadarsendiri
(Maklum aku mah kalo ga ada yg nyadar 😂)

Masa lalu Naura-Gilang yang katanya "terlalu menggelikan untuk diingat" akan diulas di chapter depan~

Stay tune yak

Tebar kissbye,
MTW <3

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top