28. Three Quarter of Truth
Itu hal paling mengejutkan yang Naura dengar dalam dua bulan ini, selain berita perjodohannya dengan Rafisqi tentunya.
"Bohong." Naura memaksakan diri untuk tertawa. Hal yang didengarnya barusan terlalu sulit untuk dipercaya. "Aku tahu dia menyebalkan. Tapi Rafisqi tidak mungkin punya semua itu. Bagiku dia cukup... normal."
Oke. Rafisqi mungkin memang terbukti posesif. Dapat dilihat dari kata-katanya waktu itu. 'Tinggal disisiku selamanya, jangan melihat pria lain, jangan pergi dariku'. Semua itu menunjukkan kalau dia benar punya sifat posesif. Tapi, setidaknya posesif itu sudah bagian dari sifat alami manusia.
Tapi impulsive behavior, anger issue dan ASPD?
Semua itu terdengar seperti kebohongan bagi Naura. Seandainya Rafisqi memang punya tiga hal itu, dia pastinya jadi pribadi agresif dan berhati dingin yang bisa saja mencelakakan orang lain tanpa pandang bulu. Rafisqi terlalu 'tenang' untuk masuk kategori tersebut.
Orang yang punya impulsive behavior akan cenderung bertindak tanpa pikir panjang dan tidak peduli konsekuensinya. Anger issue membuat seseorang jadi susah mengendalikan emosi dan melampiaskannya pada semua hal di sekelilingnya. Sementara itu, ASPD atau Antisocial Personality Disorder... menurut Naura itu yang paling tidak bisa diterima. Sepengetahuannya, penderita kelainan psikologis yang satu itu bisa saja menyakiti orang lain tanpa beban dan tanpa rasa bersalah. Mau contoh gampangnya? Para Psikopat. Mereka termasuk bagian dari penderita ASPD.
Naura tidak ingin menyamakan Rafisqi dengan para psikopat itu. Semenyebalkan apapun Rafisqi, dia masih terlalu baik untuk disebut sebagai psikopat.
"Rafisqi tidak mungkin punya kelainan seperti itu," bantah Naura. "Aku tidak bisa membayangkan..."
Naura tidak melanjutkan kata-katanya. Dia belum lupa hal-hal yang pernah membuatnya menyukai pria itu. Tenang, pintar, berwibawa, dan bisa diandalkan. Sejak dulu Naura tahu kalau Rafisqi itu pemimpin yang baik. Seseorang dengan kelainan psikologis tidak mungkin bisa bersikap seperti itu.
Syila berdiri dan pindah duduk di sebelah Naura. "Ini kesalahan kami." Syila meraih tangan Naura dan mengusap-usapnya dengan gestur menenangkan. "Papih Mamih sejak dulu selalu sibuk dan jarang sekali pulang. Bisa dibilang Fiqi cuma punya aku, Mas Dharma, dan-"
Syila terdengar seperti tercekat. Tatapan ragu-ragunya kembali tertuju pada Dharma. Naura tidak bisa melihat tanggapannya Dharma, tapi pada akhirnya Syila menghela napas pelan dan memulai kalimat baru. Membiarkan perkataan sebelumnya menggantung.
"Lalu entah tradisi sejak kapan, semua anak di keluarga Mavendra mesti melanjutkan studinya di luar negeri setelah tamat dari SMP. Waktu itu Fiqi baru 11 tahun waktu aku pergi ke New York. Mas Dharma juga sudah ada disana sejak 4 tahun sebelumnya. Jadi mau tidak mau, dia ditinggal sendirian di rumah sampai tamat SMP. Lalu...."
Genggaman Syila di tangan Naura menguat. Apapun yang terjadi selanjutnya, pasti terlalu sulit untuk dibicarakan.
Dharma melanjutkan. "Dia mulai impulsive dan tidak bisa mengontrol emosinya." Setelah sekian lama berdiri, akhirnya pria itu memutuskan untuk duduk di sofa kecil di ujung meja. "Dia terlalu terikat dengan kami. Tiba-tiba ditinggal sendirian begitu membuatnya tidak stabil."
"Tapi di sekolah dia terlihat biasa saja." Naura kembali mencoba mengingat-ingat citra Rafisqi waktu zaman sekolah. "Dia tetap dikelilingi teman-temannya, sibuk organisasi ini-itu, ikut olimpiade. Pokoknya dia sangat eksis." Naura tersenyum tidak mengerti. "Yang seperti itu, tidak mungkin kesepian 'kan?"
Syila mengangguk. "Waktu itu dia belum terlalu parah. Dia cuma melampiaskan kemarahan dengan menghancurkan barang di rumah dan membuat kamarnya seperti kapal pecah. Sesekali tanpa sebab memarahi pembantu yang tidak bersalah. Lalu," Syila memejamkan matanya dan menarik napas dalam. "dia mulai bertindak impulsif dengan menyakiti dirinya sendiri."
Tangan Naura sontak terangkat untuk menutupi mulutnya.
"Cutting, self-injury dan perbuatan menyakiti diri sendiri lainnya." Dharma ikut memasang ekspresi muram. "Dia melakukan semua itu untuk mencari perhatian. Sengaja jatuh dari tangga, membuat dirinya masuk rumah sakit, atau memaksakan diri agar selalu sibuk hingga fisiknya tidak kuat lagi. Semuanya cuma agar kami kembali ke Indonesia dan menengoknya."
"Singkatnya, muncul Munchausen Syndrome," lanjut Syila. "Dan itu semakin parah pas Fiqi kelas 3 SMP."
Ya Tuhan, Rafisqi!
Kenapa yang Naura dengar jadi semakin buruk saja? Terlalu banyak informasi yang harus Naura terima hari ini. Rasanya hati dan pikirannya tidak kuat mendengar lebih banyak lagi.
"Karena itu kami memutuskan untuk langsung membawanya ke New York. Takutnya dia berbuat lebih nekad."
Sekarang Naura tahu alasan Rafisqi pindah sekolah di pertengahan tahun ajaran.
"Om Evan dan Tante Ona tahu?" tanya Naura lambat-lambat.
Baik Syila maupun Dharma menggeleng. "Fiqi bersikeras untuk tidak memberitahu mereka. Takutnya berpengaruh ke jantungnya Papih."
Gila si Rafisqi. Hal sepenting itu disembunyiin bertahun-tahun.
Naura menghela napas berat dan membuang pandangannya ke luar jendela. Namun entah bagaimana dia bisa mengerti kenapa Rafisqi mengambil keputusan seperti itu. Bagaimanapun, dia sendiri juga tidak memberitahu Naufal dan orangtuanya kalau dia pernah dibully.
"Tapi setidaknya dia membaik setelah pindah. Emosinya lebih terkontrol, pengendalian dirinya membaik dan yang terpenting dia tidak lagi menyakiti diri sendiri. Posesifnya masih ada. Tapi kami menganggap itu cuma bagian dari sifat manjanya sebagai adik. Cukup wajar." Dharma kemudian tertunduk dan mulai mengetuk-ngetukkan jarinya di permukaan meja tanpa suara. Entahlah, di mata Naura gesturnya mulai menunjukkan ketidaknyamanan. "Tapi kemudian muncul gadis itu."
Naura tidak melepaskan pandangan dari Dharma sedikitpun. Ini dia. Dia yakin ini cerita tentang mantannya Rafisqi.
"Seandainya Fiqi tidak pernah bertemu dengannya." Kali ini ekspresi Dharma menggelap. Jelas sekali dia tidak menyukai gadis misterius ini. "Gadis itu membuat semuanya berkali-kali lipat lebih parah. Fiqi kembali menjadi seseorang yang impulsive dan punya anger issue. Kemarahannya tidak hanya tertuju pada sekitarnya, tapi juga dirinya sendiri. Fiqi kembali menyakiti dirinya, hanya saja kali ini bukan lagi untuk mencari perhatian, tapi untuk menghukum diri sendiri."
Rafisqi benar-benar seperti rahasia ilahi terbesar dekade ini. Naura tidak tahu ada orang yang se'penuh-kejutan' itu.
"Gadis itu juga yang membuatnya benci jatuh cinta lagi. Lalu satu per satu phobianya bermunculan. Phobia anak-anak, phobia rumah sakit-"
"Rafisqi punya phobia rumah sakit?" Naura akhirnya menyela Dharma. "Tapi selama ini dia biasa saja keluar masuk tempat kerjaku."
Untuk pertama kalinya setelah beberapa saat, Syila tertawa. "Thanks to you, I guess?" Salah satu tangannya terulur untuk mengusap-usap kepala Naura. "Dulu dia benci sekali sama rumah sakit. Sesakit apapun, dia akan lebih memilih mendekam di rumah. Sepertinya dia benar-benar mencintaimu?"
Tiba-tiba saja Naura merasakan panas di pipinya. "Lalu, apa lagi yang dilakukan gadis itu?" Dia buru-buru mengalihkan pembicaraan.
"Seakan semua belum cukup parah, Fiqi mulai menunjukkan gejala ASPD. Ya, untung baru gejala." Dharma melonggarkan dasinya dan menghela napas berat. "Posesif. Impulsif. Pemarah. ASPD. Itu sama sekali tidak sehat. Dia bahkan nyaris mencelakakan Balqis."
Hal lainnya yang membuat Naura tidak percaya. Menurut pengamatannya selama ini, jelas sekali Rafsiqi sangat menyayangi dan menghormati kakak iparnya yang satu itu. Dia bahkan jauh lebih patuh ke Balqis dibanding ke Syila. Tiap kali adu mulut dengan Syila, Rafisqi pasti akan lebih memilih mengadu ke Balqis dibanding ke Dharma. Jadi, susah sekali membayangkan Rafisqi menyakiti wanita itu.
"Selama 5 tahun dia rutin menjalani terapi dan akhirnya dinyatakan sembuh sepenuhnya."
Tanpa sadar, Naura menghela napas lega mendengarnya.
"Berarti sudah tidak apa-apa 'kan?"
"Kuharap begitu." Syila entah kenapa terdengar tidak yakin. "Tapi awal dari semuanya karena dia mencintai gadis itu."
Otak Naura langsung mencoba menghubungkan berbagai hal. Ada gadis yang dicintai Rafisqi. Oke, mungkin gadis itu melakukan kesalahan dan membuat Rafisqi kembali jadi orang yang impulsif dan tidak bisa mengendalikan emosi. Tapi apa hubungannya itu dengan phobia anak-anak dan rumah sakit? Apa yang sudah diperbuat gadis itu sampai-sampai memunculkan gejala ASPD pada Rafisqi?
Naura merasa ada satu mata rantai yang hilang dalam cerita ini. Mata rantai yang membuat semua cerita ini utuh dan masuk akal.
Dia baru akan menanyakannya, tapi Dharma keburu lanjut bicara.
"Naura, sekarang Fiqi mencintaimu." Dharma agak mencondongkan tubuhnya ke arah Naura. "Dia memang sudah terapi. Tapi sekarang kita tahu kalau ternyata dia masih posesif parah."
"Fiqi memintamu memakai cincin, menyuruhmu mengantar bekal ke kantor, mengantar-jemputmu kemana-mana, that's kind of sweet actually, but," Syila menghela napas berat untuk yang kesekiankalinya siang ini. "dia melempar ponselmu ke laut cuma karena melihatmu menelepon pria lain, oh Fiqi sudah cerita tentang ini." Syila buru-buru menambahkan sebelum Naura sempat bertanya. "Oke, dia melempar ponselmu, menyatakan perasaan dengan cara yang mengerikan, bilang kau harus terus di sisinya selamanya, lalu melarangmu kemana-mana tanpanya... aku takut intuisi bahayamu memang benar Naura. Terbukti dia masih overly posesive."
Dharma kembali menambahkan. "Dan kau sudah tahu seberapa parah dampak yang disebabkan oleh satu patah hati. Karena itu... kalaupun kau ingin membatalkan pertunangan ini, kumohon, tolong lakukan dengan baik. Satu trigger saja bisa sangat berbahaya, Naura."
Separah itu? Naura merasa perutnya melilit tiba-tiba. Sampai-sampai Mas Dharma harus memohon begini. Separah itukah?
Perkataan Dharma selanjutnya mengkonfirmasi pemikiran Naura barusan.
"Kami takut, setelah bertemu denganmu, dia kembali jadi dirinya yang dulu."
"Tapi aku tidak-"
Perkataan Naura terpotong waktu terdengar suara ribut-ribut dari lantai bawah, tepatnya dari arah tangga yang menghubungkan butik Balqis dengan tempat mereka mengobrol sekarang.
"Tunggu! Fiqi!" Terdengar suara Balqis diiringi dengan suara langkah kaki yang buru-buru menaiki tangga.
"Lepasin, Mbak!" Suaranya Rafisqi.
"Dia datang." Ekspresi Dharma berubah menegang seketika. Dia buru-buru berdiri di depan Naura dan bicara terburu-buru. "Ra, anggap kau tidak mendengar apa-apa. Lalu tolong perlakukan Fiqi seperti biasa. Kita akan cari jalan keluarnya. Kami belum menceritakan semuanya padamu. Masih ada seperempat bagian terpenting, tapi kita tidak bisa membahasnya sekarang."
"Tapi, Mas-"
"Fiqi memang adikku." Dharma tidak membiarkan Naura bicara. "Tapi kau juga berhak bahagia dengan orang yang kau cintai. We'll find a way."
Belum sempat Naura memberi tanggapan, terdengar suara pintu dibuka keras. Naura buru-buru meraih cangkir teh yang sejak tadi menganggur di depannya dan menoleh ke arah pintu. Disana sudah berdiri Rafisqi dengan tampang paniknya, dan Balqis yang sedang menahan lengan kirinya.
"Kau nyaris membuatku tersedak teh!" Naura memulai aksi 'mari-bersikap-biasa'nya dan memasang tampang sewot. "Apaan sih?! Tidak bisa ya masuk pelan-pelan?"
Tapi benar kata Syila. Naura tidak bisa melihat Rafisqi dengan cara yang biasa lagi. Kali ini saja dia mati-matian menahan dua urgensi berbeda dalam dirinya. Disatu sisi dia ingin kabur sejauh-jauhnya dan menghilang saja dari hadapan Rafisqi. Di sisi lain dia ingin menghampiri pria itu, memberinya tepukan menenangkan di bahu, lalu menraktirnya makan es krim sepuasnya.
Serius, Naura mulai bingung harus bersikap bagaimana.
Rafisqi menepis lengan Balqis yang menahannya dan buru-buru berjalan menghampiri Naura. Naura memutuskan untuk tetap diam waktu Rafsiqi merebut cangkir teh di tangannya, menaruh benda itu di meja dan kemudian menariknya hingga berdiri.
"Apa yang kalian bicarakan?" Rafisqi menatap kakak-kakaknya dengan pandangan menyelidik.
"Pesta ulang tahunnya Rosy." Syila berbohong dengan mulus. Dia ikut berakting sedang meminum tehnya dengan santai. "Kau pikir apa lagi?"
"Bohong." Nada suara Rafisqi mulai terdengar berbahaya.
"Fiq, penasaran kenapa kau tidak diajak?" tanya Dharma. "Karena kau sedang tidak ada gunanya disini. Kenapa kami ajak Naura? Dia ahlinya anak-anak!"
"Rencananya pesta di panti asuhan," lanjut Syila. "Bagaimana menurutmu?"
Mau tidak mau, Naura memuji akting Dharma dan Syila yang terlihat kompak dan begitu meyakinkan. Tapi sepertinya semua itu belum cukup untuk meyakinkan Rafisqi. Berarti saatnya Naura ikut turun tangan.
"Rafisqi-"
Tapi belum apa-apa, pria itu kembali meraih lengan kiri Naura dan menariknya pergi. Merasa tidak ada gunanya membantah, Naura hanya bisa meneriakkan sampai jumpa pada Dharma dan Syila, kemudian mengangguk sekali pada Balqis yang masih mematung di depan pintu. Tanpa bicara apapun, Rafisqi membawanya menuruni tangga, melangkah melewati gaun-gaun cantik rancangan Balqis, kemudian keluar dari toko dan mengisyaratkan Naura untuk masuk ke dalam mobilnya.
Naura tetap diam saat Rafisqi mulai mengemudikan mobil dengan kecepatan penuh, entah menuju kemana.
Pertanyaan Naura terjawab tidak lama kemudian waktu Rafisqi menghentikan mobil di depan taman kota.
"Naura."
Rafisqi tiba-tiba bersuara. Tangannya masih bertengger di kemudi dan dia bahkan tidak menoleh ke Naura sedikitpun. Rahangnya mengeras dan tatapannya yang sedang tertuju lurus ke depan terlihat begitu dingin.
"Kau tidak boleh ketemu Mas Dharma dan Kak Syila lagi."
***
Waah, LEGAAA. Akhirnya selesai juga bagian ini. Serius deh, chapter yg ini sama yg sebelumnya itu bener2 bikin mumet. Butuh banyak riset (kutakut salah ngasih info) trus juga susah banget buat nulisnya 😔 selesai nulis, pas dibaca lagi aku malah bingung sama penjelasanku sendiri yg belibet. Aku aja yg nulis bingung, gimana ntar yang baca 😭 Ya udah, edit lagi. Dua chapter ini berkali-kali kena edit, sampai yang versi awalnya sempat kurombak total.
Mudah2an temen2 yang baca paham ya maksudnya :') kalo nggak tanya ajaa
Bagi yang belum tau:
Impulsive behavior = kecenderungan seseorang buat bertindak tanpa mikir panjang dulu. Pokoknya pas dia pengen ngelakuin perbuatan A, ya udah, langsung dijabanin. Nggak peduli dia ntar konsekuensinya bakal kayak apa.
Anger issue = waktu seseorang kesulitan banget buat ngontrol amarahnya. Beda ya, sama marahnya kita biasa. Kalo yang ini marahnya itu lebih meledak-ledak, sampai berujung ke anarkis. Trus yang punya anger issue ini cenderung gak bisa nahan diri buat ngelampiasin emosinya ke org lain bahkan ke diri sediri. Masih ada hubungannya sama sikap impulsif yang udah dijelasin di atas.
Antisocial Personality Disorder = antisocial disini maksudnya bukan yang malas bergaul atau ketemu orang lain ya. ASPD ini lebih ke pola tindakan yang mengabaikan dan terang2an ngelanggar hak orang lain tp nggak merasa bersalah sedikit pun. Iya, misalnya psikopat. Salah dua ciri2nya ya itu, impulsif sama anger issue tadi. Tp org yg impulsif sama punya anger issue, belum tentu dia punya ASPD. Kalo untuk kasus Rafisqi, dia blm sampai kena ini kok. Cuma menunjukkan tanda-tanda, tapi belum bisa sampe divonis punya ASPD.
Manchausen Syndrome = Kalau yg ini termasuk gangguan mental juga. Penderitanya sengaja nyiptain kondisi biar orang-orang pada perhatian, simpati atau kasihan sama dia. Dia bisa aja sengaja jatuh atau ngelukain diri sendiri biar orang-orang nggak ninggalin dia.
/aku pernah baca, kalo syndrome atau disorder ada kemungkinan comorbid, atau dg kata lain, satu orang bisa saja punya beberapa kondisi sekaligus/
Jadi kalo misalnya kamu ngerasa punya masalah atau gejala2 kayak di atas (mudah2an nggak yaa), tolong jgn lgsg disimpulkan sendiri. Masih banyak faktor x y z lain yang nentuin kamu beneran punya disorder tertentu atau nggak. Hubungi psikolog atau psikiater terdekat atau curhat (the power of curhat itu luar biasa, suer).
Atau punya teman atau kenalan yg terindikasi kayak gitu? Tolong jgn langsung di judge jelek dan dijauhin. Trust me, mereka pasti punya alasan kenapa bisa jadi kayak gitu. Jauh di lubuk hati pastinya mereka juga gak pengen dan tersiksa bgt punya kondisi begitu.
Dan berhubung belum lewat2 amat, Selamat Hari Kesehatan Mental Sedunia 💙
(Sebenernya sih, tanggal 10 Oktober kemarin. Tapi gapapa lah. Wkwk).
Stay strong, stay positive and stay happy. Nggak harus fisik yang mesti dijaga biar tetap sehat, tapi mental juga. So, don't put so much burden on yourself, okay? Please love yourself 💞💕 Kalo bukan kita dulu yg cinta diri sendiri, siapa lagi kan? Mau ngarepin doi? Tapi dia 'kan nggak peka-peka #eh?
Okesip, author note kali ini kepanjangan.
See you in next chapter
Love,
MTW <3
Note:
Kalau misalnya aku ada salah nulis penjelasan atau salah ngasih info, tolong dikasih tau ya. Gimanapun, topik ttg mental health atau mental disorder kayak gini cukup sensitif bagi sebagian orang.
Tp tenang aja. Cerita ini masih tentang Naura dan Rafisqi kok. Hehe.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top