19. I Don't Understand Him

"Selamat siang, Ibu. Ada yang bisa saya bantu?"

Naura memandangi resepsionis di depannya dengan canggung. Untuk yang kesekian kalinya, dia memikirkan ulang keputusannya untuk datang.

"Itu... Rafisqinya ada?" tanyanya ragu-ragu.

"Bapak Rafisqi Mavendra?" Wanita berblazer abu-abu itu memandangi Naura penuh selidik meski senyum sopan tetap terulas di bibirnya.

Naura mengangguk, diam-diam merasa risih di bawah pandangan menganalisis yang ditujukan padanya. Bahkan dua orang resepsionis lain yang kebetulan ada di dekat sana juga ikut mencuri-curi pandang.

"Apa anda sudah membuat janji?"

Ya ampun! Ketemu Rafisqi saja kok repotnya minta ampun?

"Ya? Sepertinya... begitu," gumam Naura tidak yakin. Sebenarnya dia datang cuma karena disuruh datang. Tidak ada yang bilang dia harus membuat janji sebelumnya.

"Mohon tunggu sebentar." Resepsionis itu tersenyum formal dan meraih gagang telepon di dekatnya. "Maaf sebelumnya. Ini dengan Ibu siapa?"

"Nau-"

"Naura?"

Naura menoleh ke arah suara lembut yang barusan menyerukan namanya. Dia spontan tersenyum sumringah karena pada akhirnya menemukan wajah familiar di lingkungan yang asing ini.

"Mbak Balqis!"

Melalui sudut mata, Naura melihat tiga orang resepsionis disana serentak berdiri.

"Selamat siang, Bu Balqis." Dengan teramat sangat sopan, resepsionis yang tadi melayani Naura menyapa Balqis.

"Siang, Rika," balas Balqis, dan berikutnya dia kembali fokus pada Naura. "Tumben kesini, Ra."

Naura tertawa canggung. "Berkat adik ipar Mbak yang suka seenaknya itu."

Balqis ikut-ikutan tertawa kecil. "Begitu?" Setelahnya dia kembali menoleh ke resepsionis yang bernama Rika. "Rafisqi ada di ruangannya?"

"Mohon tunggu sebentar, Bu." Resepsionis tersebut berbicara sebentar di telepon. "Bapak Rafisqi sedang ada rapat, Bu."

Balqis mengangguk sambil menggumamkan terima kasih.

"Kalau gitu ikut Mbak dulu, Ra." Balqis langsung menggandeng Naura. "Tunggu di ruangan Mas Dharma saja."

Memangnya Naura punya pilihan lain? Segera saja dia mengangguk dan berjalan mengikuti Balqis. Sayangnya, telinganya masih sempat menangkap suara orang berbisik-bisik di balik pungungnya. Sudah pasti asalnya dari tiga resepsionis tadi.

"Mbak, masa' baru pertama kesini aku langsung digosipin sih?"

Apa jangan-jangan dandanannya terlihat sangat mencolok di lingkungan perkantoran ini? Apa dresscodenya tidak sesuai? Soalnya Naura memang cuma memakai blouse ungu lengan panjang dan celana jeans putih saat ini. Rambutnya juga cuma diikat ekor kuda simpel. Siapa pun pasti langsung tahu kalau dia datang kesana bukan untuk urusan bisnis.

"Pertama kalinya ada perempuan datang kesini mencari Fiqi." Balqis tersenyum penuh arti pada Naura. "Lalu perempuan itu juga mengenalku dan Mas Dharma. Menurutmu apa yang akan mereka pikirkan?"

Tidak butuh waktu lama bagi Naura untuk memahami kalimat Balqis dan dia langsung menyesal datang kesana.

Seharusnya aku tidak datang. Bodohnya.

***

"Kau kesini mengantar bekal?"

Di depannya Dharma tersenyum penuh arti. Pandangannya tertuju pada tas berisi kotak makanan yang ada di samping Naura.

Naura mengangguk. Dia kembali merasa kesal waktu teringat bagaimana dia bisa datang ke gedung Mavendra Corp. "Tiba-tiba dia menelepon minta diantarkan bekal. Aneh 'kan? Biasanya juga cari makan sendiri."

Pasti sebelumnya tidak pernah ada yang mengata-ngatai adiknya Presdir, di ruangan Presdir yang sakral, dan di hadapan Presdirnya langsung. Tapi mau bagaimana lagi? Daripada Naura curhat ke orang luar, mending dia curhat ke kakak yang bersangkutan saja sekalian.

"Dan kau mengiyakannya?" Balqis cekikikan geli. Beberapa saat yang lalu, Naura tahu kalau tujuan wanita itu sama sepertinya. Balqis juga datang mengantarkan makan siang untuk Dharma.

Kali ini Naura menghela napas berat. "Dia menelepon waktu aku sedang skype-an sama Bundo, Mbak. Bundo jadi tahu semuanya dan, yaa, begitulah."

Di mana pun dan dalam situasi apa pun, kata-kata Bundo adalah mutlak. Meski berada di belahan dunia lain sana, bukan berarti efek kecerewetannya hilang begitu saja. Naura mulai menyerah saat ibunya itu beralih mengomel dalam bahasa minang, pertanda bahwa ini adalah masalah serius dan dia akan berada dalam masalah kalau mengabaikannya. Bahkan lewat video call sekalipun Bundo tetap berhasil memaksa Naura menuruti permintaan aneh Rafisqi.

"Sepuluh menit lagi dia tidak datang, aku makan ini sendiri," lanjutnya yakin sambil menepuk-nepuk bagian atas kotak makanannya.

"Jangan deh, Ra. Fiqi pasti maunya makan bareng."

"Nggak mungkin, Mbak," bantah Naura sambil tertawa. "Aneh membayangkannya."

"Lalu bagaimana hubungan kalian?" Dharma bertanya. "Makin mendingan?"

"Dia makin aneh! Tiba-tiba memaksaku pakai cincin kemana-mana." Naura menunjukkan kalung yang sedang dikenakannya. Cincin tunangannya, yang kata Rafisqi dipilih sendiri oleh Om Evan, sudah menggantung disana. "Biasanya juga dia tidak peduli benda ini mau kuapakan. Lalu dia mengganti nama kontaknya di ponselku jadi 'my fiancee' ditambah dua emoticon 'love' yang membuatku merinding." Naura baru menyadari ini waktu Rafisqi menelepon minta diantarkan bekal tadi. Rafisqi pasti menyimpan nomornya sendiri dengan nama memalukan itu waktu membelikan ponsel. "Wallpaper ponselku diganti pakai fotonya dan sekarang minta diantarkan makan siang. Ada ya orang se-random itu?"

Sementara Naura bercerita sambil bersungut-sungut, Dharma dan Balqis malah saling berpandangan dan kompak tertawa.

"Kenapa?" Naura gagal paham.

"Mungkin maksudnya begini." Dharma menambahkan. Dia berdehem sebentar dan memasang ekspresi serius. "This girl is already taken. Don't touch her!"

Naura menghela napas berat. "Tapi ini tuh Rafisqi, Mas. Artinya pasti 'Stay away from this girl and let her be jones alone forever'." Dia menggeleng frustrasi. "Gimana aku bisa dapat suami kalau begini?"

"Siapa yang lagi cari suami?"

Sialnya, yang dibicarakan datang pada saat yang tidak tepat.

Rafisqi melangkah masuk dan berdiri di samping tempat duduk Naura.

"Kau?" tuding pria itu tanpa ragu.

"Memang siapa lagi?" lawan Naura.

"Lalu bagimu aku ini apa?"

Naura mendengar ada yang terbatuk. Begitu menoleh, dia mendapati Balqis sedang mengelus-elus punggung Dharma.

"Anggap kami tidak ada," titah Balqis sambil tersenyum menenangkan. Di sebelahnya, Dharma masih terbatuk-batuk kecil.

"Ini." Naura berdiri dan menyerahkan tas berisikan kotak makanan yang tadi dia bawa. Dia memutuskan untuk mengabaikan pertanyaan sebelumnya. "Hampir kumakan sendiri."

Rafisqi melengos begitu dia menerima kotak itu. "Jadi tujuanmu kesini apa?"

"Lupa ya siapa yang tiba-tiba minta diantarkan makan siang? Menelepon di waktu yang salah pula. Seperti tidak ada pacar atau mas-mas delivery service saja."

"Oh? Aku memang tidak punya pacar."

"Aduh lupa! Kau 'kan jomblo."

"At least I have you, Honey," sindir Rafisqi sambil menekankan pada kata 'Honey'.

"How poor I am." Naura menghela napas lelah dan berdiri. "Kalau begitu aku pulang dulu." Lambungnya 'kan juga harus diisi.

"Tunggu."

"Apa?" Naura bertanya dengan nada kesal. "Hari ini aku sudah jadi tunangan yang baik. Tolong jangan nambah kerjaan," serunya mengingatkan.

"Aku mau makan di ruanganku."

"Ya sudah, sana!" Naura bingung dimana letak permasalahannya. "Harus kupesankan ojek untuk mengantarmu?"

"Ayo makan siang bareng."

Satu detik.

Dua detik.

Lima detik.

"Mas Dharmaaa! Adikmu sedang kesambet, ya?"

Di detik keenam Naura sudah berteriak heboh.

***

Pada akhirnya, Naura bersedia ikut Rafisqi ke ruangannya. Sebagian alasannya karena dia sedang malas berdebat panjang lebar, apalagi dengan perut kosong. Sebagian lainnya karena dia penasaran dengan para wanita di departemennya Rafisqi. Masa' sih tidak ada seorang pun yang naksir sama pimpinannya. Biasanya di drama-drama kan sering begitu. Seandainya hari ini Naura berhasil menemukan satu orang saja yang kemungkinan punya perasaan khusus pada Rafisqi, dia akan bahagia sekali. Karena akhirnya ada tumbal yang bisa dikorbankan tanpa perlu susah payah.

Seharusnya itu rencana yang sempurna. Tapi yang terjadi malah....

"Akhirnya Mas Rafi tidak makan sendirian lagi!"

"Sekarang sudah ada teman makannya! Alhamdulillah!"

"Pantas hari ini lebih cerah dari biasanya!"

Naura sudah shock duluan begitu mereka memasuki wilayah departemennya Rafisqi. Baru saja mereka tertangkap pandangan karyawan disana, semuanya langsung ribut. Beberapa bahkan ada yang bertepuk tangan dan bersiul heboh sampai naik ke kursi segala.

"Ayo." Seolah kehebohan di sekeliling mereka cuma angin lalu, Rafisqi menarik lengan Naura. Tidak ada pilihan lain, Naura membiarkan dirinya diseret melewati berpuluh-puluh meja disana. Belum lagi sorakan yang menyertai mereka sepanjang jalan.

Naura curiga kalau Rafisqi belum pernah membawa perempuan ke kantor.

Ternyata Rafisqi sejones itu!

Rafisqi akhirnya menarik Naura masuk ke sebuah ruangan. Di dalam sana ternyata ada pintu lainnya. Di dekat pintu itu ada dua orang, satu pria satu wanita, yang duduk di balik meja kerja masing-masing.

"Sekarang aku tahu kenapa di luar heboh," timpal si pria berkacamata, yang mengingatkan Naura pada Afgan. "Jadi akhirnya semua tahu sosok Mbak Tunangan yang misterius itu? That was fast, Fiq. Kukira butuh waktu setahun."

Pria itu memanggil 'Fiq'. Naura mengasumsikan kalau dia bukan karyawan biasa.

"Kalian semua hobi melebih-lebihkan sesuatu." Rafisqi memutar bola mata malas.

"Terserah apa katamu." Si 'Afgan' menoleh pada Naura. "Salam kenal, Mbak. Aku David, asisten dan juga temannya Fiqi. Maaf tidak bisa datang ke acara pertunangan bulan lalu."

"Naura." Naura menyambut uluran tangan pria itu. "Salam kenal."

"Dan ini Vita. Sekretarisnya Fiqi." David memperkenalkan gadis berblazer merah muda di sebelahnya.

"Salam kenal, Mbak," tukas gadis itu sopan. "Senang akhirnya Mas Rafi mengajak anda kesini."

Saat melihat Vita, Naura kembali teringat separuh alasannya datang kesana. Ya, demi menemukan tumbal. Dan tanpa pikir panjang, dia memandangi Vita lekat-lekat. Gadis dihadapannya ini cantik, modis dan juga kelihatan smart. Pastinya ini tipe yang sering dicap sebagai idola kantor. Dan lagi, dia seorang sekretaris! Hubungan antara bos dan sekretaris itu hal wajib di kebanyakan cerita roman 'kan?

Naura tersenyum tipis. Bisa saja Vita adalah penyelamatnya.

"Maaf, Mbak? Ada yang salah?" tanya Vita ragu-ragu. Dan Naura sadar kalau dia mengamati gadis itu terlalu lama.

"Tidak apa-apa," ujarnya cepat-cepat. "Kau cantik."

"Ah... terima kasih," jawab Vita yang jelas-jelas terlihat kebingungan.

"Ayo, aku sudah lapar."

Dan Rafisqi kembali menariknya. Mereka melewati pintu lain di sana dan kali ini Naura benar-benar berada di ruangannya Rafisqi.

Rafisqi langsung menuju sofa dan Naura duduk di depannya.

"Kantormu ramai. Aku suka," komentarnya bersungguh-sungguh. Rafisqi terlihat dekat dengan para karyawannya. Jarang-jarang ada bawahan yang berani bicara sesantai tadi pada atasannya.

"Mereka merepotkan," balas Rafisqi sambil mulai membuka kotak makanan. "Tapi setidaknya mereka tahu kapan harus serius."

"Dan gadis-gadis disini lumayan. Apalagi sekretarismu. Tidak berniat membuat skandal kantor atau apa gitu?" tanya Naura blak-blakan. "Jelas sekali kau belum pernah membawa perempuan kesini."

Rafisqi mengalihkan pandangan dari kotak makanan dan menatap Naura tajam.

"Kau masih melanjutkan rencana konyol itu?" tanyanya sambil tersenyum mengejek.

"Tentu saja!" seru Naura bersemangat. "Apapun akan kulakukan supaya bebas. Kau juga, Rafisqi! Cepat temukan seseorang untuk dicintai!"

Rafisqi tidak mengatakan apa-apa dan mulai makan. Melihat itu, dengan masa bodoh Naura mengambil sendok lain dan ikut makan. Terserahlah, dia lapar, dan untungnya Rafisqi juga tidak mengatakan apa-apa. Merasa dibiarkan, Naura makan dengan santai.

"Jadi kau memakainya."

Awalnya Naura tidak paham, tapi setelah sadar tatapan Rafisqi sedang tertuju ke kalungnya, dia mengangguk.

"Yang penting kupakai 'kan?" Bagi Naura, memakai cincin itu di jari sama saja dengan mengumumkan pada dunia kalau dia sudah bertunangan.

Rafisqi hanya ber-'oh' pelan dan lanjut makan tanpa mengatakan apa-apa lagi.

Naura ikutan diam sambil sesekali mengamati pria di depannya.

Setelah Rafisqi bersikap aneh di mobil waktu itu, Naura sempat mengira kalau mereka akan diam-diaman lagi seperti waktu di laut. Malam itu Rafisqi langsung pulang setelah mengantar Naura dan dengan sopan menolak ajakan Naufal untuk makan malam bersama. Selama tiga hari berikutnya, pria itu tidak menghubunginya sama sekali dan Naura juga tidak punya alasan untuk menghubungi duluan. Makanya dia agak kaget waktu Rafisqi meneleponnya tadi pagi.

Tapi melihat sikap Rafisqi hari ini, sepertinya semua kembali normal.

"Bagaimana kalau kau mulai memanggilku 'Fiqi'?" Rafisqi memecah keheningan.

Dan Naura langsung tersedak makanannya. Buru-buru dia membuka botol air dan minum banyak-banyak.

"Kenapa kaget? Orang-orang tahunya kau itu tunanganku dan kau memanggilku seolah kita orang asing yang baru bertemu."

Naura yang akhirnya berhenti batuk-batuk langsung menarik napas dalam. Setelah memilah-milah kalimat, akhirnya dia buka mulut.

"Aku lebih nyaman memanggilmu 'Rafisqi'."

Benar. Aku cuma bisa memanggilmu begitu.

"Lalu seharusnya kau tidak usah memaksaku kesini." Naura menatap Rafisqi sungguh-sungguh. "Hubungan aneh ini tidak ada kelanjutannya. Takutnya semua kecewa karena hubungan kita tidak seperti yang mereka harapkan. Dan, kasihan yang benar-benar jadi istrimu nanti. Jangan sampai dia tertekan karena sudah ada bayang-bayangku disini sebelumnya."

Wow! Naura tidak menyangka dia bisa berkata sebijak itu.

"Kau membuat semuanya jadi rumit." tukas Rafisqi setelah cukup lama terdiam.

"Nope. Apapun untuk kebebasanku."

Lagi-lagi suasana hening dan mereka cuma menyibukkan diri dengan makan.

Tapi kenapa Naura merasa kalau Rafisqi tidak seperti biasanya? Entahlah, rasanya jadi lebih diam dan kalem.

Karena kejadian malam itu?

Naura membuat catatan dalam hati.

Jangan coba-coba membahas 'mantan' di depan Rafisqi.

"Hari ini shift malam?" tanya Rafisqi tiba-tiba.

"Ya. Kenapa?"

"Besok selesai jam 7-an kan? Biar kujemput."

"Haah?" Naura tidak bisa menyembunyikan kekagetannya. Untung dia tidak tersedak lagi. "Rafisqi?! Kau sehat? Butuh psikolog? Mau kuantar ketemu Kak Syila?"

"Kau pikir aku gila?!"

"Habisnya... kenapa tiba-tiba? Nggak usah. Aku pulang sendiri saja," tolaknya tanpa pikir panjang. "Naik taksi."

"Besok aku juga pulang pagi. Jadi sekalian saja." Rafisqi beralasan.

"Kubilang tidak usah!"

"Terserah aku."

"Dasar!" sergah Naura emosi. "Jangan datang!"

"Kau tidak bisa melarangku," balas Rafisqi dengan nada menyebalkan.

"Pokoknya jangan!" Naura masih bersikeras, tapi dia malah merasa stress sendiri. "Aah! Ya ampun!"

Chat yang masuk setelahnya membuat mood Naura semakin hancur.

Jay-Oppa

Cieee, yang bikin heboh di bagian produksi (12.45)

Cieee, yang gandengan (12.45)

Cieee, yang go public (12.45)

(Sumber informasi : presdir mavendra corp.) (12.45)

Dan pesan itu dilengkapi dengan sebuah foto waktu Rafisqi menyeretnya di hadapan orang banyak. Pasti ada salah seorang karyawan yang mengabadikannya.

Naura mengamati foto itu lekat-lekat dan mendesis pelan.

Gandengan apanya coba? Lebih seperti pemaksaan.

"Kecepatan gosip disini luar biasa. Bahkan presdirnya ikut-ikutan!" Naura menunjukkan layar ponselnya kepada Rafisqi.

Ternyata seorang Dharmana Mavendra juga punya sisi kurang kerjaan seperti ini.

"Perusahaan ini ada di bidang media dan pertelevisian. Apa yang kau harapkan?" Rafisqi malah membalas dengan cuek.

***

Hmm, dari bau-baunya, kayaknya ada yang mulai termakan omongan sendiri nih 😏
Tapi... benarkah?

Gimana kelanjutannya?
Stay tune yak!

Xoxo,
MTW :)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top