18. Revelations

"Rafi. Lama nggak ketemu," sapa Ditya seperti biasa. Mungkin pria itu memang heran melihat Rafisqi disana, tapi dia bisa mengendalikan ekspresinya dengan baik. Tidak seperti Naura yang sudah berubah jadi patung berekspresi shock.

"Hai, Dit." Rafisqi balas menyapa Ditya. Pria itu benar-benar mengabaikan Naura.

"Silahkan duduk. Mau pesan-"

"Tidak perlu," potong Rafisqi. Pembawaannya yang tenang mulai tidak sejalan dengan ekspresinya yang terlihat dingin dan serius.

Naura kenal ekspresi itu.

Rafisqi memasang wajah yang sama tepat sebelum dia melempar ponsel Naura ke laut. Pertanda buruk. Naura merasakan urgensi untuk membawa Rafisqi jauh-jauh, jauh dari café, dan pastinya jauh dari Ditya.

"Aku cuma mau jemput Naura."

Firasat buruk Naura menjadi nyata beberapa detik kemudian.

"Jemput?" Ditya menoleh pada Naura, yang memutuskan untuk langsung mengalihkan pandangan.

Sekarang Rafisqi malah tertawa kecil. "Jangan heran," serunya dengan nada bercanda. "Sudah tugasku, kok."

"Begitu?" Ditya tetap tersenyum kalem meski jelas-jelas dia terlihat tidak mengerti.

"Oh, aku belum bilang ya?" Nada suara Rafisqi mulai terdengar berbahaya di telinga Naura.

Jangan. Jangan katakan.

Naura sudah panik sendiri dan dia benci dirinya yang tidak tahu harus berbuat apa.

"Aku tunangannya Naura."

Dan Rafisqi mengatakannya. Dari sekian banyak orang, dia malah terang-terangan mengatakan itu tepat di hadapan Ditya. Demi apa? Naura merasa separuh nyawanya hilang tertiup angin. Rasanya ingin kabur saja dari sana.

"Begitu?" Ditya mengulangi kata yang sama. Dia lagi-lagi menoleh ke Naura, yang kali ini tidak lagi bisa mengelak. Bagaimana mungkin dia bisa mengalihkan pandangan kalau saat ini Ditya sedang memandanginya sambil tersenyum tulus?

"Jadi orangnya kau, Raf?" Ditya mengembalikan pandangan pada Rafisqi, tertawa dan menepuk-nepuk bahunya pelan. "Dunia sempit sekali. Selamat untuk kalian berdua."

Naura terdiam.

Aah, lagi-lagi seperti ini, erang Naura dalam hati.

Tapi kali ini dia memutuskan untuk tersenyum pada Ditya. "Terima kasih, Dit."

Bodohnya kau, Naura. Jatuh ke lubang yang sama berkali-kali.

Untuk pertama kalinya sejak dia datang, Rafisqi bicara pada Naura. "Pergi sekarang? Uda bilang harus sampai rumah sebelum jam 8." Tanpa diminta, Rafisqi meraih tas kertas berisi kado-kado yang ada di samping kursi Naura.

Ternyata orang suruhan udanya adalah Rafisqi.

"Oke." Naura mengangguk dan mengambil tasnya yang ada di atas meja. "Aku pulang dulu, Dit."

"Ya," sahut Ditya. "Hati-hati di jalan."

Tanpa berbalik ataupun berkata apa-apa lagi, Naura mengikuti Rafisqi keluar café.

Rasanya seperti mengulangi kejadian waktu di taman bermain. Merasakan harapannya melambung tinggi hanya untuk dijatuhkan sekeras-kerasnya ke dasar jurang. Tadinya Naura merasakan harapan baru saat Ditya bilang kalau Arin hanya adiknya. Namun harapan tersebut hancur dalam sekejap waktu pria itu mengucapkan selamat padanya dan Rafisqi dengan tanpa beban.

Tapi kali ini Naura akan memastikan harapan tersebut tetap berada di dasar jurang. Dia tidak akan menangisinya lagi karena semua akhirnya jelas.

Ditya memang tidak pernah mencintainya.

***

"Lalu? Kenapa tiba-tiba malah kau yang muncul?"

Naura memutar kepala menghadap Rafisqi yang sedang menyetir di sebelahnya. Pakaiannya masih yang tadi siang, jadi bisa dipastikan kalau pria itu belum sempat kembali ke apartemennya.

Rafisqi angkat bahu. "Udamu tiba-tiba telepon dan minta tolong mengantarmu pulang," jelasnya tanpa mengalihkan pandangan dari jalan raya.

"Dan kau langsung mengiyakan? Kau pasti belum sempat pulang."

Sebenarnya Naura mulai bisa menebak maksud Naufal. Udanya itu pasti secara tidak langsung ingin mengundang Rafisqi ikut makan malam.

"Kenapa tidak? Aku lagi senggang," sergahnya santai. "Atau jangan-jangan kau tidak mau kujemput? Mau kuturunkan sekarang?"

"Jangan deh." Naura tertawa. "Nanti Uda membunuhmu."

"Jadi terharu. Ternyata kau memikirkan nyawaku juga."

Lagi-lagi Naura tertawa.

Oke. Sebenarnya ini mulai terasa agak ganjil.

Normalnya Naura tidak akan tertawa sebanyak ini jika sedang berhadapan dengan Rafisqi. Biasanya dia akan lebih memilih tidur dibanding membuka percakapan dengan pria di sebelahnya. Sayangnya sekarang Naura sedang tidak ingin tidur. Di sisi lain, dia juga tidak bisa diam melamun saja sepanjang perjalanan. Pikirannya pasti akan berkelana kemana-mana dan bisa-bisa dia malah memikirkan hal yang tidak pantas dipikirkan.

Karena itu, tidak ada pilihan lain selain mengajak Rafisqi mengobrol di selang satu jam perjalanan menuju rumah.

"Ada yang mau kubicarakan," celetuk Rafsiqi tiba-tiba, seolah memahami keinginan Naura untuk mari-mengobrol-demi-mengisi-waktu-luang.

Naura mencoba menebaknya. "Apa ini tentang aku punya pacar atau tidak?"

"Kok tahu?" Rafisqi menoleh sekilas pada Naura.

"Itu 'kan penyebab tewasnya ponselku dan tamparan di pipimu."

Sebagai tanggapannya Rafisqi terkekeh pelan.

"Maaf sudah menamparmu," gumam Naura, terlalu malu untuk mengucapkannya keras-keras. "Walau kau amat sangat bodoh karena nekat masuk ke laut, aku tahu kau berniat menolongku. Jadi... terima kasih juga."

Tidak ada tanggapan apa-apa dari Rafisqi dan Naura merasakan malunya mulai memuncak. Tiba-tiba dia menyesal mengucapkan itu pada musuh bebuyutannya sendiri.

"Woi-"

"Waktu itu kau tidak muncul lagi ke permukaan." Rafisqi menginterupsi rencana Naura untuk menyuarakan protes. "Jadi, yaa, kupikir...."

Meski tidak melanjutkan kalimatnya, Naura langsung paham maksud pria itu.

Rafisqi mengkhawatirkannya.

Entahlah. Rasanya terlalu mustahil untuk jadi kenyataan, tapi Naura tidak bisa menahan senyum saat menyadari hal itu.

"Aku bisa berenang kok. Bisa menyelam juga. Rekorku itu tahan napas selama 2 menit."

"Dih, sombong."

"Dan intinya," lanjut Naura sebelum Rafisqi melancarkan cibiran lainnya. "kau sangat bodoh karena mencoba menolongku. Jangan lakukan lagi!"

"Mengkhawatirkanku?" Sekarang pria itu malah menggodanya.

"Iyalah. Kau nyaris nggak bernapas, tahu!"

"Memangnya ponselmu seberharga apa sih?" Rafisqi mulai mengomel. "Harusnya dibiarin hanyut. Tinggal beli lagi."

"Itu hadiah yang berharga tahu!" seru Naura. "Walaupun sudah rusak total, setidaknya aku masih bisa menyimpannya."

"Hadiah dari siapa?"

"Kenapa kau mau tahu?" Naura tidak menyangka Rafisqi punya penyakit kepo akut.

"Lalu, apa yang terjadi 12 tahun lalu? Ada apa selama satu setengah tahun?"

Naura merasa jantungnya berpacu cepat. Apa-apaan perubahan topik tiba-tiba ini?

"Waktu pesta pertunangan, temanmu itu juga menyebut-nyebut 'satu setengah tahun'." Rafisqi kembali menoleh. "Apa yang terjadi?"

"Bukan apa-apa." Naura menghindari tatapan pria itu. "Kenapa kau mau tahu aku punya pacar atau tidak?" tanyanya, berusaha mengalihkan pembicaraan.

Dan Naura bersyukur Rafisqi tidak lagi menanyakan peristiwa 12 tahun lalu. Meski masih terlihat penasaran, Naura berterima kasih karena pria itu tidak mendesaknya lagi.

"Bertunangan dengan orang yang punya pacar akan merepotkan," jawab Rafisqi. "Menyingkirkan pacarnya akan buang-buang waktu."

"Jadi kalau aku punya pacar, kau akan menyingkirkannya?" tuduh Naura tidak terima. Entahlah, baginya itu terkesan mengerikan.

"Exactly."

"Dan kita bahkan tidak saling mencintai." Naura bersungut-sungut kesal.

"Jadi, apa ada pria malang yang terpaksa kusingkirkan?"

"Tidak ada," jawab Naura apa adanya. "Aku single, young and free. Dan sebentar lagi akan dapat kebebasan absolute setelah bebas darimu."

"Good luck then," balas Rafisqi cuek, terdengar tidak peduli.

"Dasar," cibir Naura kesal.

"Lalu aku mau kau memakai cincin tunangan waktu itu."

"Haah?" Naura mengernyit protes. "Kenapa tiba-tiba?" Tatapannya tertuju pada jari-jari tangannya yang polos tanpa perhiasan satu pun.

"Anggap saja untuk menghargai orang yang memilihkannya."

"Kalau orang yang memilihnya itu kau, aku makin tidak ingin pakai."

"Papih yang pilih."

Dan seperti biasanya, Naura akan langsung merasa tidak enak tiap kali Om Evan terseret dalam pembicaraan.

"Papih bela-belain ke toko perhiasaan sendirian dan memilihkan cincin itu dengan hati-hati, tahu," jelas Rafisqi panjang lebar. "Aku tidak memaksamu memakainya demi aku. Tapi pertimbangkan demi Papih."

Bayangan Om Evan keluar-masuk toko seorang diri dengan tongkat di tangannya berhasil membuat Naura lemah.

"Iya deh."

"Satu lagi-"

"Malam ini kau sedang mood bicara, ya?" potong Naura. Ternyata juga ada waktunya seorang Rafisqi butuh banyak bicara.

"Mumpung kita terjebak di mobil ini selama sejam ke depan, kupikir tidak ada salahnya."

"Iya. Iya. Kali ini tentang apa?"

"Hati-hati sama maksud terselubungnya pria."

Naura langsung tertawa. "Aku sudah mendengarnya ratusan kali dari Uda. Tidak kusangka mendengarnya darimu juga. Kenapa?"

"Ingin saja." Rafisqi mengendikkan bahu acuh. "Entah kau benar-benar polos, naif atau... bodoh?"

"Mengejekku?!" Naura memukul belakang kepala Rafisqi dengan ponsel yang sejak tadi ada di tangannya.

"Lagi menyetir nih!" Rafisqi berteriak heboh.

Padahal Naura memukulnya pelan kok. Dia cukup waras untuk tidak melukai pria itu waktu sedang menyetir. Naura tidak ingin mati muda.

"Sejujurnya, Rafisqi. Kau ada dalam daftar pria yang paling kuwaspadai. Kau penghuni tetap daftar itu sejak lama."

Rafisqi berdecih pelan dan Naura melanjutkan tawanya.

Oke, saatnya topik pembicaraan baru.

Naura merasakan 'gencatan senjata' antara dia dan Rafisqi sedang berlaku saat ini. Berhubung suasananya mendukung, dia akan coba bicara baik-baik. Tanpa menggunakan urat maupun teriakan. Mumpung si Rafisqi bisa diajak bicara.

"Rafisqi. Kau punya mantan? Orangnya seperti apa?"

CKIIITT!

"Astaga! Rafisqi!" teriak Naura yang kaget setengah mati saat Rafisqi mengerem mendadak. Seandainya dia tidak menggunakan sabuk pengaman, dipastikan kepalanya akan benjol menghantam dashboard. "Apa-apaan sih?"

Naura melihat ke depan dan kembali mengucap 'astaga' waktu melihat kap mobil hanya berjarak beberapa senti dari mobil di depan mereka. Sedikit lagi saja, mereka pasti akan langsung tabrakan. Tidak jauh di depan, lampu lalu lintas menunjukkan warna merah.

"Rafisqi-"

"JANGAN BAHAS ITU!" bentak Rafisqi dengan tatapan tajam sedingin es yang tertuju pada Naura. "Satu hal penting yang harus kau tahu. Jangan sekali-kali membahas wanita itu! MENGERTI?!"

Naura tidak sadar kalau dia sudah merapat ke pintu di sampingnya. Selama sesaat dia hanya mematung di posisinya, merasa tidak percaya kalau barusan Rafisqi membentaknya. Padahal baru beberapa saat yang lalu mereka bisa bicara santai.

Rafisqi masih memandanginya tajam, menunggu respon, dan Naura akhirnya mengangguk pelan. Setelah itu, dia mendapati kedua bahu Rafisqi melemas dan dia menelungkupkan kepalanya ke setir mobil.

"Kau... tidak apa-apa...?" Naura mencondongkan tubuhnya ke arah Rafisqi. Dia mulai khawatir begitu mendapati napas pria itu berubah tidak stabil. Bahunya naik turun dan ritme pernapasannya semakin cepat. Perhatian Naura tertuju pada kedua tangan Rafisqi yang mencengkeram setir mobil dengan sangat erat sampai buku-buku jarinya memutih.

Pertanyaan yang salah, sesal Naura. Tadinya dia cuma mau tahu tipe wanita seperti apa yang pernah bersama Rafisqi. Hitung-hitung sebagai referensi untuk mencarikan pria itu calon.

Tapi tanpa sadar Naura malah menginjak ranjau.

"Tidak apa-apa. Tidak apa-apa. Kau baik-baik saja," bisik Naura pelan, berusaha menenangkan. Sebelah tangannya mengusap-usap punggung Rafisqi pelan. "Maafkan aku. Aku tidak akan membicarakan itu lagi. Sekarang tenangkan dirimu. Ya? Tarik napas pelan-pelan." Naura bersyukur saat melihat Rafisqi mengikuti kata-katanya. "Sekarang hembuskan perlahan. Tarik napas lagi..."

Naura mulai bertanya-tanya dalam hati.

Ada apa dengan hidupku belakangan ini?

***

Makasih udah baca
Ditunggu komentarnya ya
Dan jangan lupa vote kalau suka ceritanya ^^

Xoxo,
MTW :)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top