11. From Mission To The Heartbreak

Naura hanya diam memandangi dua sejoli di sampingnya sambil tersenyum puas.

"Wah, jadi Mas Rafisqi satu SMP sama Naura? Irinyaa."

Sama seperti beberapa menit yang lalu, si perempuan terus bicara dengan nada antusias yang sama. Matanya memandangi pria di seberangnya dengan binar bahagia yang tidak bisa disembunyikan. Dalam sekali lihat Naura juga tahu kalau itu adalah pandangan tertarik.

"Ah... iya."

Si pria yang dimaksud, siapa lagi kalau bukan Rafisqi, menjawab sekenanya. Untuk yang kesekian kalinya, dia melontarkan pandangan bingung pada Naura, yang tentu saja tidak dipedulikan.

"Alice juga kuliah bisnis sepertimu." Naura menambahkan.

Gadis itu, Alice, terpekik kecil. Tatapan berbinar-binarnya kembali ke Rafisqi. "Ya ampuun, kebetulan sekali!"

Sejak tadi Naura hanya bisa tertawa dalam hati melihat Rafisqi kebingungan menanggapi Alice dan segala kehebohannya. Sebenarnya Naura ingin ada disana lebih lama, tapi rencananya harus berhasil dengan baik.

"Maaf. Aku ke toilet sebentar." Naura bangkit dari duduknya. Berusaha untuk terlihat terburu-buru. "Permisi."

"Hei-"

Mengabaikan panggilan dan tatapan protes Rafisqi, Naura cepat-cepat menuju ke toilet cafe. Pura-puranya dia sedang sakit perut dan sudah tidak tertahankan lagi. Sesampainya di toilet, Naura menatap kaca besar di depannya sambil mengulas senyum puas.

"Ya. Alice pilihan yang tepat," ucapnya pada diri sendiri.

Malam sebelumnya Naura bela-belain menghubungi Rafisqi untuk mengajaknya ke taman bermain. Pria itu langsung menolak, pastinya. Tapi bukan Naura namanya kalau dia tidak punya rencana cadangan. Dia langsung menghubungi Om Evan untuk mengadukan penolakan Rafisqi dan sesuai dugaan, beberapa menit kemudian Rafisqi balas meneleponnya sambil marah-marah. Setelah melalui sesi adu mulut lainnya, akhirnya pria itu terpaksa setuju untuk pergi ke taman bermain.

Di taman bermain, Naura mengenalkannya dengan Alice, teman SMAnya dulu. Alice itu gadis yang ceria dan aktif. Dia juga cantik, modis, murah senyum dan menawan. Tidak akan ada pria normal yang bisa menolak pesonanya.

Ya. Barusan adalah langkah pertamanya dalam misi bertajuk "Jodoh Untuk Rafisqi".

***

Naura sengaja berlama-lama toilet dan begitu lewat 20 menit, dia mengirimi Alice pesan. Di pesan itu dia bilang kalau diarenya parah dan memutuskan untuk langsung pulang saja. Dia juga menambahkan kalau Alice dan Rafisqi boleh jalan-jalan saja tanpanya.

Rencana yang receh sekali memang. Tapi Naura bertekad akan melakukan apa pun agar perjodohannya dan Rafisqi berakhir.

Walaupun tadi dia bilang akan pulang, tapi akhirnya Naura memutuskan untuk jalan-jalan sebentar. Dengan segelas cappucino di tangan, dia pergi berkeliling taman bermain. Dia jarang bisa libur dan kapan lagi bisa cuci mata seperti ini. Refreshing sedikit tidak ada salahnya.

Sayangnya kenyamanan itu hanya bertahan beberapa menit saja. Seseorang menepuk bahunya dan membuat Naura nyaris menjatuhkan minumannya.

"Ketemu." Suara itu entah kenapa terdengar horor di telinga Naura.

Dia berbalik dan mendapati Rafisqi sedang berdiri di depannya dengan lengan yang sudah tersilang di depan dada. Ekspresinya terlihat sangat kesal.

"Kau!" teriaknya kaget, tidak menyangka akan melihat Rafisqi disana. "Kau- apa yang-"

Jawabannya datang bersama ponsel Naura yang tiba-tiba berdering. Nama Alice terpampang di layarnya.

"Halo, Al-"

"Naura!" potong Alice. Dia terdengar sangat panik. "Masa' dia ninggalin aku di- HUWAAA!"

Naura spontan menjauhkan ponsel dari telinga ketika mendengar suara teriakan melengkingnya Alice.

Naura ikut-ikutan panik. "Lice, kau dima-"

Belum selesai Naura bertanya, Alice sudah buru-buru menyerobot. "Rumah hantu! Aku di rumah hantu!"

Mendengar itu Naura mengernyit bingung.

Dia menjauhkan ponsel dari telinga dan berbisik pada Rafisqi. "Anak orang kau apakan hah?"

Pria itu hanya angkat bahu sambil memasang ekspresi cuek.

"Naura- KYAAA!" Alice berteriak lagi. "Kau benar sudah pulang? Jemput aku, pleaase. Disini ngeri- WAAA!"

"Lice! Alice!" Naura memanggil-manggil. Tapi yang terdengar hanya teriakan-teriakan randomnya Alice diiringi suara-suara bising lainnya. Kemudian sambungan terputus.

Dia mendecakkan lidah pelan. "Kau meninggalkannya di rumah hantu?!" seru Naura tidak percaya. "Gila ya?! Alice itu penakut!"

"Salahmu meninggalkannya denganku." Rafisqi terdengar sangat tenang. Dia tidak seperti seseorang yang baru saja mengerjai orang lain dan dengan santainya melimpahkan kesalahan ke Naura.

"Itu bukan alasan!" Sejujurnya Naura takut Alice pingsan duluan sebelum bertemu pintu keluar. "Tanggung jawab!"

"Oke. Akan kujemput, lalu kuajak naik roller-coster." Rafisqi berbalik, siap-siap pergi dari sana.

"Jangan!" Naura buru-buru menahan lengan Rafisqi. "Alice punya vertigo! Kau mau dia pingsan?"

"Nggak peduli tuh."

Belum sempat Naura mengumpat dan mengeluarkan kata-kata kasar lainnya, Alice kembali meneleponnya.

"Ra, aku sudah diluar. Untung tadi ada pengunjung lain yang lewat." Naura menghela napas lega mendengarnya. "Aku pulang saja, ya. Pusing."

"Oh, oke. Hati-hati di jalan."

"Lalu sepertinya aku dan Rafisqi benar-benar tidak cocok. Dia terlalu menyebalkan."

Naura sangat setuju dengan yang satu itu.

"Ya. Nggak apa-apa. Maaf ya." Biar bagaimana pun Naura merasa bertanggung jawab karena mempertemukan Alice dengan setan macam Rafisqi.

Telepon ditutup dan Naura langsung menghela napas berat.

Misi pertamanya gagal total.

"Baru kali ini ada pria yang tidak tertarik pada Alice," desah Naura frustrasi. "Kau ini normal tidak sih?"

"Mau kubuktikan?" Rafisqi malah menunduk, mendekatkan wajahnya pada wajah Naura dan memasang seringaian menyeramkan.

Naura hanya bisa memasang ekspresi datar. "Banci," umpatnya dan langsung berbalik membelakangi pria itu. "Sudahlah, tidak ada gunanya lagi disini. Aku pulang."

Tapi Rafisqi malah mencekal lengannya. "Tunggu. Sebagai gantinya kau yang temani aku naik roller-coster."

Naura berbalik dan memandangi pria itu dengan satu alis terangkat.

"Kenapa? Takut?" cemooh Rafisqi dengan wajah yang sudah membuat Naura sebal.

Kalau sudah begitu memangnya Naura bisa menolak?

***

Pada akhirnya mereka malah mencoba wahana-wahana ekstrim yang ada disana. Awalnya mereka cuma ingin mencari tahu siapa yang duluan menyerah karena merasa tidak kuat lagi. Tapi pada akhirnya, keduanya selalu turun dalam keadaan utuh tanpa ada seorang pun yang menang dan kalah. Petugas di kora-kora bahkan memandangi Naura dan Rafisqi heran karena hanya mereka berdualah yang bersikeras naik wahana itu dua kali berturut-turut.

"Well, kau tangguh juga," puji Rafisqi ketika mereka turun dari Hysteria.

Naura yang sedang merapikan rambutnya dengan jari langsung tersenyum bangga. "Tidak mungkin aku kalah dari banci sepertimu!"

"Tidak ada banci yang mempesona sepertiku."

Naura memasang ekspresi jijik. "Aku sudah naik banyak wahana mengerikan dan baru merasa mau muntah sekarang. Kemana lagi?"

Rafisqi memandang berkeliling, mencari wahana ekstrim yang lain. Untungnya Naura tiba-tiba mendapat ide mengenai satu wahana yang akan sangat menguntungkannya.

"Naik itu saja!" Dia menunjuk ke arah kolam yang cukup luas, tempat wahana sepeda air berbentuk bebek. Dia tertawa puas begitu melihat ekspresi shock yang ditunjukkan Rafisqi. "Ekstrim 'kan? Ayo!" ajaknya dengan penuh semangat

"Kau beruntung aku belum tahu kelemahanmu," desis Rafisqi yang jelas-jelas terlihat kesal.

"Lucky me!" sorak Naura dengan ceria. "Ayo naik itu. Bukan banci 'kan?" Melihat Rafisqi yang ragu-ragu, dia kembali menambahkan. "Kalau tidak mau, ya sudah. Berarti aku menang," tukssnya sambil membuat simbol 'V' dengan jarinya.

***

Naura tidak menyesal mengajak Rafisqi menaiki wahana sepeda air. Teramat sangat tidak menyesal. Bisa jadi itu adalah keputusan terbaiknya di sepanjang tahun. Ego pria itu membuatnya tidak bisa menolak ajakan Naura.

Saat ini di sebelahnya, Rafisqi terduduk kaku dengan kaki yang hanya bertengger begitu saja di atas pedal. Kedua tangannya memegang pinggiran bebek air itu erat-erat dan kedua matanya fokus memandang ke depan. Sejak tadi hanya Naura sendirian yang mengayuh dan tenaganya benar-benar terkuras habis saat mereka sampai di tengah-tengah kolam.

"Kenapa kita terapung-apung disini?! Kembali ke pinggir!" Rafisqi sudah berseru heboh.

"Capek, tahu! Bantu mengayuh saja nggak!"

"Kalau aku ikut mengayuh, nanti benda ini makin goyang-goyang dan oleng." Rafisqi malah meracaukan hal yang tidak masuk akal bagi Naura.

"Goyang-goyang bagaimana? Maksudmu begini?" Dengan sengaja, Naura menggerak-gerakkan tubuhnya hingga sepeda air itu bergerak-gerak tidak stabil ke kiri dan ke kanan. "Atau begini?" Sekarang Naura malah melonjak-lonjak kecil.

"HENTIKAN! STOP! mau mati, ya?!" teriak Rafisqi yang sudah super panik. Dia bahkan sudah berpegangan pada bahu Naura tanpa sadar.

Naura tidak tahan lagi. Dia tertawa sampai perutnya sakit dan tulang pipinya pegal.

"Ya. Ya. Terus saja tertawa sampai puas."

Hari ini akan tercatat dalam sejarah. Naura berhasil membuat seorang Rafisqi merajuk. Rasanya Naura ingin sujud syukur.

"Kenapa kau takut air?" Pada akhirnya Naura memutuskan untuk bertanya saking penasarannya.

"Bukannya takut air!" bantah Rafisqi. "Aku hanya tidak bisa berenang saking traumanya!"

Naura lagi-lagi tersenyum geli. "Oh? Kenapa bisa trauma?"

"Waktu kecil kakiku pernah kram waktu sedang main di kolam renang."

"Kasihan sekali."

"Bicaramu tidak menyiratkan rasa kasihan sedikit pun!" tuding Rafisqi. "Cepat kembali ke pinggir!"

"Masih capek. Gara-gara pria tidak berguna yang membiarkanku mengayuh sendirian," seru Naura sambil menyandarkan punggung ke kursinya. "Mungkin aku tidur dulu sebentar."

"Kembali! Sekarang! Atau aku akan berbuat macam-macam padamu disini, saat ini juga! Dan tidak akan ada yang tahu!"

"Memangnya kau berani mengubah posisimu itu?" tanya Naura dengan cuek. Dari tadi 'kan pria itu hanya mematung di tempatnya dan tidak berani bergerak banyak.

Tapi siapa sangka ternyata Rafisqi benar-benar berani mencondongkan tubuh ke arahnya. Naura yang tidak memperkirakan hal itu langsung berteriak kaget saat menyadari wajah Rafisqi sudah berada dekat sekali dengan wajahnya.

"IYAA! IYA! Kita kembali ke pinggir!" teriak Naura yang bersiap untuk mengayuh lagi

Rafisqi yang sudah kembali ke posisi batunya langsung tersenyum puas, untuk pertama kalinya sejak dia menaiki sepeda air ini.

"Sekarang aku tahu kelemahanmu."

Naura hanya bisa merutuk dalam hati.

***

Sesampainya di dermaga, Rafisqi buru-buru turun duluan. Naura menyusul tidak lama kemudian dan pipinya langsung dicubit keras sampai-sampai dia mengaduh kesakitan.

"Jangan pegang-pegang!" bentaknya sambil menepis tangan Rafisqi kasar. "Sakit tahu!" Naura langsung bersungut-sungut sambil mengelus pipi kirinya yang pasti sudah memerah sekarang.

"Itu balasan yang tadi!" seru Rafisqi sambil berkacak pinggang. Begitu menginjak bumi dia kembali jadi Rafisqi yang biasanya.

"Yang penting aku menang 'kan? Kau merengek-rengek minta turun," sindiri Naura sambil tersenyum puas. "Padahal cuma bebek air." Tidak apa-apalah pipinya sakit, yang penting hatinya bahagia melihat penderitaan Rafisqi, meskipun cuma sebentar.

"Kau ini!" Dengan gemas Rafisqi mengulurkan tangan. Menyadari niat pria itu untuk mencubit pipinya yang satu lagi, Naura langsung berkelit menghindar.

"Jangan main tangan!" protesnya yang sudah menangkup kedua pipinya dengan tangan. "Kalah, ya kalah! Sekarang traktir aku makan!"

"Tidak ada perjanjian seperti itu!"

"Sudah tidak mau mengaku kalah, tidak mau traktir pula." Naura sengaja mengeraskan suaranya saat mengatakan itu. "Banci."

Dan egonya Rafisqi lagi-lagi menguntungkan Naura.

"Iya. Iya. Cerewet." Akhirnya Rafisqi mengalah. "Aku ke toilet dulu!"

"Saking takutnya kau sampai ngompol?" Naura memasang ekspresi shock yang dibuat seberlebihan mungkin.

"Sebentar lagi kesabaranku habis loh, Ra. Lihat saja."

"Memang kau bisa apa?" tantang Naura. Rafisqi tidak akan bisa mengancamnya dengan hal sama untuk kedua kalinya.

"Kutelepon orang tuamu sekarang juga dan bilang agar pernikahan kita dipercepat."

Naura bungkam seketika.

***

Sepeninggal Rafisqi, Naura menelepon Lesty. Sebagai pihak yang diam-diam ikut terlibat dalam misinya untuk mencarikan Rafisqi jodoh, Lesty harus dikabari mengenai semua yang terjadi.

"Gagal total, Les. Alice malah dikerjai si Rafisqi dan langsung pulang."

Di seberang telepon, Lesty menghela napas berat. "Susah juga, ya. Berarti tipenya Rafisqi bukan Queen Be macam Alice?"

"Begitulah. Tapi tenang, masih ada rencana lain," seru Naura semangat. "Stok kenalanku masih banyak."

"Kayak mucikari," komentar Lesty. "Sekarang kau dimana?"

"Masih di taman bermain."

"Hah?" Lesty terdengar heran. "Sekarang sudah jam 1 siang dan kalian masih disana? Ngapain?"

Naura buru-buru melihat jam. Lesty benar. Sudah pukul 12.57 dan berarti sudah 3 jam dia di taman bermain ini. Kenapa tidak terasa?

"Si Rafisqi ngajak taruhan," jawab Naura. "Ya sudah. Aku tidak mungkin kalah dong!"

"Jangan bilang kalau kalian malah bermain seharian."

"Cuma taruhan!" Naura bersikeras. Dia tidak ingin dianggap memiliki hubungan yang baik dengan Rafisqi. "Tadi-"

Naura tidak melanjutkan perkataannya. Perhatiannya tertuju pada sosok yang familier. Pria itu berdiri cukup jauh darinya, sedang mengantri di stand es krim, tapi Naura langsung mengenalinya di pandangan pertama.

Ditya.

"Tadi apa?"

"Les, kututup dulu, ya. Bye." Tanpa menunggu jawaban dari Lesty, Naura menutup telepon dan berlari menghampiri pria itu.

"DITYA!"

Ditya menoleh dan melambaikan tangan pada Naura.

"Naura? Tidak kusangka bertemu disini," seru Ditya yang baru saja menerima dua es krim pesanannya.

"Iya. Kebetulan sedang libur." Pandangan Naura tertuju pada es krim di kedua tangan Ditya. "Datang sama siapa?"

"Ah, itu-"

"Mas Didit!" Seorang gadis, yang sepertinya sedikit lebih muda dari Naura, menghampiri mereka. Gadis itu berdiri di samping Ditya dan langsung bergelayut manja di lengan pria itu. "Es krimnya mana?"

"Ini." Ditya menyerahkan es krim stroberi yang ada di tangan kanannya pada gadis itu.

Sementara itu Naura malah merasa kesulitan untuk mengalihkan pandangan dari gadis berambut panjang di samping Ditya. Berbagai spekulasi bermunculan di otaknya. Dia baru berhenti mengamati ketika gadis itu terlihat agak risih dan akhirnya tersenyum tidak enak pada Naura.

"Mbak temannya Mas Didit, ya?" serunya sambil tersenyum manis. "Kenalkan. Aku Arin."

"Naura," jawab Naura sambil membalas uluran tangan gadis itu. Dia mengusahakan untuk tersenyum. Tapi kok terasa ada perih-perihnya ya?

Ditya ke taman bermain. Berdua dengan seorang gadis berwajah manis, terkesan ayu malahan. Gadis itu memanggil Ditya 'Mas' dengan nada yang terdengar mesra. Lalu dia juga merangkul lengan Ditya seolah itu hal paling wajar di dunia. Lalu tadi apa katanya? Mas Didit? Panggilan sayang?

ARTINYA APA?!

"Oh, Tunggu sebentar," sela Naura saat merasakan ponselnya bergetar. Ada telepon masuk dari Rafisqi. Sesaat dia lupa kalau tadi sedang menunggu pria itu. "Ya?"

"Kau dimana? Tiba-tiba ngilang. Tidak nyasar 'kan? Kalau nyasar, cari kantor pelayanan anak hilang."

"Sembarangan. Tunggu sebentar disana."

"Di kantor pelayanan anak hilang?"

"Terserah," jawab Naura asal dan langsung memutus sambungan.

"Aku harus pergi." Naura memandangi Ditya dan Arin bergantian. Lagi-lagi dadanya terasa sesak. Sekarang matanya terasa memanas pula. "Sampai jumpa, Dit, Arin."

"Ini untukmu. Harus diterima." Ditya menyerahkan es krim yang satu lagi. Dari aromanya sih es krim mint. Khasnya Ditya.

Naura menerima es krim itu. "Terima kasih. Duluan ya." Dia melambai sekilas dan cepat-cepat meninggalkan dua orang itu.

Jagi selama ini gadis yang dimaksud Ditya itu Arin? Jadi aku hanya baper? Begitu? Nyesek banget, Ya Allah.

Setetes air mata lolos dari mata Naura dan jatuh ke pipi. Dia cepat-cepat menyekanya dan mulai memakan es krim di tangannya. Berharap es itu bisa mendinginkan hati dan pikirannya. Tapi sepertinya tidak terlalu berpengaruh. Es krim itu hanya menambah kepahitan perasaannya saja. Terlebih karena yang memberikannya adalah Ditya sendiri.

Naura bodoh, rutuknya dalam hati. Bodoh sekali! Konyol!

"Darimana sih?" Tahu-tahu dia sudah kembali bertemu Rafisqi. "Itu es krim cuma satu? Tidak ada niat mau membelikanku juga?"

"Oh? Ini," jawab Naura yang sudah capek lahir batin. Dia kembali memakan es krimnya tanpa minat. "Tadi ada yang kasih."

"Memangnya kau anak kecil tiba-tiba dikasih es krim gratis di jalan?" seru Rafisqi tidak percaya. "Dan kau langsung terima? Bagaimana kalau ada racunnya?"

"Iya. Ini beracun," jawabnya asal. Meski berkata demikian, Naura tetap memakan es krimnya.

Racun patah hati.

Dan lagi-lagi air matanya mengalir tanpa bisa dikendalikan.

"Astaga! Benar-benar beracun?!" Rafisqi mulai panik. Dia merebut es krim itu dari tangan Naura dan cepat-cepat melemparnya ke tong sampah terdekat. "Sudah, berhenti makan! Jangan nangis, Naura. Nanti aku dikira macam-macam lagi! Sekarang apa yang kau rasakan?"

"... Se... sak," jawab Naura yang mulai sesenggukan. "Sakit..."

"Ayo ke dokter!"

Naura menggeleng. Dokter pun tidak akan bisa membantunya saat ini. "Aku mau pulang saja."

***

Woaah, ternyata chapter ini lumayan panjang 😅
Tadinya dibagi jadi dua chapter. Eh, yang satunya malah jadi kependekan.
Yaudah, pada akhirnya digabung aja jadi satu.
Semoga bacanya gak bosan ya

Xoxo,
MTW :)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top