1. Why It Has To Be Him?

"Anak gadis macam apa yang jam segini masih leha-leha di tempat tidur? Belum mandi pula!"

Naura menekan tombol pause, melepaskan pandangan dari layar laptop dan menoleh ke sumber suara dengan malas-malasan. Di dekat pintu kamar, seorang pria sudah menatapnya sambil berkacak pinggang dan menggeleng-gelengkan kepala. Naura sudah terlalu terbiasa dengan sindiran macam itu, sehingga tidak ada kemungkinan lagi untuk merasa tersinggung.

"Uda lebay. Kan lagi libur. Santaai." Naura menekan tombol play dan kembali lanjut menikmati film di layar laptopnya.

Pria yang dipanggilnya "Uda" itu mendekat dan duduk di pinggir tempat tidur.

"Tiap libur pasti nonton Harry Potter. Nggak bosan? Pantas umur segini masih jomlo."

Sungguh sindiran yang mengena tepat di hati Naura. Kalau yang ini, seberapa sering pun didengar, rasanya masih saja menyakitkan. Seandainya bisa, ingin rasanya Naura menyihir pria itu dengan mantra silencio supaya diam.

"Berisik!" bantah Naura. "Uda keluar sana! Aku jarang dapat libur. Jangan ganggu!" Sebelum pembicaraan menyerempet kemana-mana, ada baiknya Naura segera mengusir kakak laki-laki satu-satunya itu dari kamar.

Namun, bukannya beranjak pria itu malah ikut rebahan di samping Naura yang sejak tadi tengkurap di depan laptop. "Eh, Ra, beneran belum punya calon?"

"Ya ampun, Da Naufal! Mau nyindir lagi?" tukas Naura tanpa berusaha menyembunyikan kekesalannya. "Makanya carikan cowok yang loveable, baik hati, pintar, tampan, murah senyum, pandai masak, kaya dan suamiable untuk kunikahi."

"Berarti memang siap nikah nih?"

"Seandainya semua kriteria terpenuhi," Naura angkat bahu. "kenapa harus nolak?"

Naura sengaja mengucapkan kriteria yang standarnya selangit supaya Naufal diam. Zaman sekarang mau dicari kemana laki-laki paket komplit seperti itu? Bisa-bisa dia malah tidak menikah seumur hidup. Sebenarnya syarat Naura cukup simpel. Dia cuma butuh seseorang yang dia cintai, balas mencintainya dan berkomitmen terjebak bersamanya sampai akhir. Kalau ada yang begitu, disuruh nikah besok pun dia pasti mau.

"Oke! Kalau begitu sekarang matikan laptop, mandi, lalu ke salon sama bundo dan uni."

"Apa hubungannya?" Naura curiga karena udanya tiba-tiba terdengar bersemangat. Perasaannya langsung tidak enak.

"Uda kasih tahu ya. Malam ini ada acara perjodohan."

Naura kembali menekan tombol pause yang menatap Naufal dengan tatapan tidak percaya. "Tunggu. Aku menolak percaya kalau ini perjodohanku. Tapi masa' perjodohannya Uda? Uni lagi hamil, nggak mungkin mau dimadu. Lalu gimana nasib Altan kalau papanya nikah lagi? Atau jangan-jangan ...." Kedua mata Naura membola. "Wah! Bau-bau pelako-"

"Woi!" Naufal mengubah posisinya menjadi duduk dan mencubit kedua pipi Naura dengan keras. "Nggak usah pakai pengalihan isu. Ini perjodohanmu!"

Kecurigaan Naura ternyata sangat beralasan. Dia sudah menduga hal ini akan terjadi cepat atau lambat, tapi tetap saja dia kaget. Detik berikutnua dia segera melancarkan aksi protes.

"No! Aku masih bisa cari sendiri! Enggak perlu pakai perjodohan!"

Naura belum seputus asa itu. Dia merasa masih muda dan lumayan cantik untuk mendapatkan calonnya sendiri. Baginya, perjodohan itu ibarat last resort. Pilihan terakhir kalau dia sungguh tidak ada harapan untuk menikah sebelum umur 30 tahun.

"Ondeh diak kanduang. Alah talambek. Kini adiak ndak bisa mailak lai."

[[Aduh, Dek. Sudah terlambat. Sekarang adek nggak bisa mengelak lagi.]]

Naufal memasang ekspresi prihatin yang seratus persen palsu. Ditambah lagi dia menggunakan bahasa minang, bahasa yang sangat jarang digunakannya, hanya untuk menyindir Naura. Kombinasi itu sukses membuat Naura berkali lipat lebih sebal. Terlebih karena dia tidak bisa membalasnya dengan bahasa yang sama.

"Acaranya sudah fix," lanjut Naufal, terlihat tidak mau tahu. "Dia anak sahabat dekatnya papa waktu kuliah. Uda sudah lihat orangnya dan kau tidak akan menyesal."

Apa jangan-jangan ini efek samping dari obsesi papanya terhadap cerita Sitti Nurbaya? Naura tidak lupa kalau cerita klasik yang satu itulah yang jadi awal pertemuan kedua orangtuanya. Singkat cerita, papa jatuh cinta pada pandangan pertama waktu menyaksikan bundo mementaskan drama "Sitti Nurbaya" pas zaman kuliah. Sejak saat itu, "Sitti Nurbaya" selalu punya  tempat spesial di hati papa dan imbasnya, Naura dan Naufal juga ikutan hapal kisah itu di luar kepala.

"Kenapa tidak memberitahuku dari kemarin?" Naura masih tidak terima. "Kenapa baru sekarang? Acaranya nanti malam pula!"

"Bisa-bisa kau kabur dengan berjuta alasan, honey," balas Naufal.

Naura memasang tampang cemberut. Keluarganya memang mengenalnya terlampau baik.

"Tapi, Uda," Naura masih merengut kesal. "ingat gimana sad ending-nya cerita Sitti Nurbaya? Masa' aku dijodohkan sama orang asing?"

"Seenggaknya dia bukan pria tua kayak Datuk Maringgih. Dicoba dulu, oke?" Naufal mengusap-usap kepala Naura sambil tersenyum lembut. "Siapa tahu cocok."

***

Kulit kepalanya terasa sangat gatal dan Naura mati-matian menahan diri untuk tidak menggaruknya. Dia menyesal tidak meminta supaya rambut sebahunya dibiarkan tergerai. Setidaknya gaya rambut simpel itu tidak mengharuskannya berurusan dengan hairspray dan puluhan jepitan yang saat ini sedang menahan jalinan-jalinan rumit di kepalanya. Naura mencoba mengalihkan perhatian dari rasa gatal dengan cara bercermin di layar ponsel, tapi sekarang dia malah merasa gelisah dengan dandanannya. Make-up isn't really her thing.

Bundo dan uni benar-benar menyeretnya ke salon untuk luluran, creambath, dan didandani. Naura sendiri sampai heran. Ini baru acara perjodohan, bagaimana pas benar-benar pernikahan nanti? Dia tidak bisa membayangkan betapa repotnya.

Tamu yang datang ada tiga orang. Pria dan wanita yang sudah jelas segenerasi dengan orangtua Naura--mereka minta dipanggil sebagai Om Evan dan Tante Ona--dan seorang pria paruh baya bertampang kalem. Awalnya Naura mengira kalau pria tersebut yang akan dijodohkan dengannya, tapi ternyata itu adalah kakak laki-laki dari yang bersangkutan. Diam-diam Naura kecewa, padahal pria itu sangat enak dilihat, ramah, dewasa, sopan dan murah senyum pula. Setelah menyimak pembicaraan, Naura tahu kalau pria bertampang kalem yang memperkenalkan diri sebagai Dharma itu adalah CEO-nya Mavendra Corp., sebuah perusahaan media dan pertelevisian yang sangat terkenal.

Ternyata papa menjodohkannya dengan pria yang latar belakangnya tidak main-main.

Di awal Naura sudah diberitahu kalau orang yang dijodohkan dengannya terjebak rapat mendadak dan akan datang terlambat. Namun sudah satu jam berlalu dan pria antah berantah itu masih belum menunjukkan dirinya. Naura cuma tahu kalau namanya Fiqi. Selebihnya blank.

"Uni, kok aku dijodohinnya bukan sama mas Dharma saja sih?" Naura berbisik pada kakak iparnya, Diana, yang duduk di sebelahnya. "Tipeku banget itu, Ni."

"Dia sudah nikah kali, Ra. Anaknya sudah dua."

Kekecewaan Naura jadi semakin dalam.

"Dia bahkan lebih tua dari uda Naufal," lanjut Diana. "Jarak umurnya denganmu kalau tidak salah ... 8 tahun."

Naura melongo shock. "Terlihat seperti baru 28 tahun."

"Sudah. Jangan menggebet suami orang. Adiknya pasti nggak beda jauh," ujar Diana dengan semangat positif.

"Dia masih belum datang, Ni. Sekarang saja dia telat karena pekerjaan, gimana setelah menikah nanti? Jangan-jangan dia akan lebih cinta pekerjaan daripada aku. Hell no!"

"Pemikiranmu kejauhan, Ra." Kalimat Diana disela oleh bunyi bel. Seorang asisten rumah tangga buru-buru ke depan untuk membukakan pintu, disusul oleh papa dan bundo yang pastinya berniat menyambut si tamu. "Sepertinya itu calonmu! Sudah siap?" Kali ini Diana malah mengedipkan mata penuh arti.

Naura sakit perut mendadak.

"Uniiii, aku ke kamar saja ya."

Naura ingin kabur saja. Setelah dipikir-pikir lagi, dia memang tidak siap dengan perjodohan ini. Di saat kepepet itulah Naura sadar ternyata dia masih bahagia menjomlo.

"Stay here, Princess." Naufal sudah berada di sebelah Naura dan menggandeng pergelangan tangannya erat. "Hadapi masa depanmu."

Naura merinding mendengar kalimat Naufal barusan. Merasa tidak mungkin lagi kabur, dia cuma bisa tertunduk di tempatnya. Diam-diam berdo'a agar calonnya juga tidak setuju dengan perjodohan dadakan ini.

"Fiqi! Ayo masuk." Papa terdengar sangat bersemangat, sangat berkebalikan suasana hati Naura sekarang.

"Ternyata sudah besar ya?" Suara bundo mengisyaratkan kekagumam. "Mari masuk."

"Maafkan saya. Rapatnya berlangsung lebih lama dari perkiraan." Dan pada akhirnya terdengar suara bariton itu.

Aku harus apa?  batin Naura sudah berteriak frustrasi.

"Naura, ayo kenalan dulu." Papa akhirnya memanggil. "Ini Fiqi, anak bungsunya Om Evan dan Tante Ona."

Di sebelahnya, Diana menyikut pinggangnya pelan dan Naura bangkit dari duduknya walaupun enggan.

"Salam ken ... al"

Naura mematung tepat setelah dia mengangkat wajah dan matanya tertuju pada pria yang baru datang itu. Pria berjas hitam di hadapannya ikut terpaku dengan tatapan tak lepas dari Naura. Selama sesaat mereka berdua sama-sama terdiam dan Naura-lah yang terlebih dulu menemukan suaranya kembali.

"... Rafisqi?"

Sebagai balasannya pria itu mengangguk sekali sambil tersenyum kecil.

Sebelumnya Naura bilang kalau dia tidak mau dijodohkan dengan orang asing. Namun baginya situasi saat ini beribu kali lebih mengerikan. Dijodohkan dengan orang asing masih jauh lebih baik dibanding dijodohkan dengan orang ini.

Naura tiba-tiba punya firasat kalau perjodohannya bakalan se-epic kisah milik Sitti Nurbaya. Semoga saja di kisahnya ini tidak sampai ada yang mati.

***

Oke, sedikit penjelasan aja ya buat yang belum tau.
Uda: kakak laki-laki
Uni: kakak perempuan
Bundo: bunda/ibu
Ondeh diak kanduang. Alah talambek. Kini adiak ndak bisa mailak lai : Aduh, dek. Sudah terlambat. Sekarang adek nggak bisa mengelak lagi.

Iyaa, itu bahasa minang. Wkwk

Sampai sini ceritanya udah lumayan jelas lah ya. Pasti udah bisa nebak itu cowok siapa :'
But the story just begin

/24 Juli 2018/

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top