Chp 137. Pencerahan Dari Eugeum

Suasana hati Maehwa benar-benar kacau. Padahal mood-nya baik sejak pagi, setidaknya sebelum dia bertemu Jun-oh. Pria itu, aneh sekali, tiba-tiba membenci dan takut pada Maehwa tanpa alasan.

Di tubuh sebelumnya, saat perasaannya tidak senang, hal itu turut mempengaruhi cara Maehwa bermain game.

Lihatlah, sudah setengah jam sejak dia kembali ngegame di motel, dia berambisi mengincar menang dan sama sekali tidak menikmati alur permainan.

Membunuh player demi player. Dia meraih mvp, namun Maehwa tidak memperoleh sensasi senang. Malah makin kesal.

FlowerMaehwa kill Kafuusa.

Maehwa menatap layar komputer, mengernyit. Seseorang memberinya DM.

[Apa masalahmu, sialan? Kenapa kau terus mengincar dan membunuhku? Seolah tidak ada pemain lain, seolah tidak ada musuh lain. Kau menantangku berduel?]

Maehwa tersenyum miring. Sudah lama dia tidak bertemu pemain baperan. Tidak salah lagi, pemain ber-nickname 'Kafuusa' ini pastilah remaja atau bocah yang gampang naik pitam dibunuh melulu.

Lupakan markas musuh, dia akan fokus mengejar pemain Kafuusa. Dengan kecerdasannya dalam gaming, tidak sulit membunuh Kafuusa diam-diam.

FlowerMaehwa kill Kafuusa.

[Heh! Pengecut sekali! Menyerang dari belakang. Kau tidak punya etika bermain?]

Maehwa mengabaikannya. Apa pula pakai etika. Ini game peperangan mengejar kemenangan, bukan sedang mengikuti rapat pemegang saham. Semua dihalalkan.

Baru beberapa langkah keluar dari markas, Maehwa membunuhnya lagi. Baru selesai respawn, Maehwa melemparkan bom dan alhasil yah... mati lagi.

Mati lagi, mati lagi. Terus dan terus, secara konstan. Maehwa tidak memberi kesempatan untuknya beraksi bahkan sekadar mengangkat senjata.

Kekesalannya sudah di atas ubun-ubun.

[Kau akan membayar ini semua, brengsek!]

Kafuusa meninggalkan permainan.

Wah, Maehwa menyeringai. Sesuai dugaan, dia akan memaksa out. Jika dia keluar dalam ronde yang sedang berlangsung, rasio kemenangannya akan menurun.

Maehwa tertawa. "Selalu menyenangkan mengerjai bocah baperan."

Ponselnya bergetar. Notifikasi pesan.

Maehwa mengambilnya. Itu undangan grup baru. Jinyoung yang mengirim undangan. Mengangkat bahu, Maehwa pun join.

Dan dia langsung menyesal detik itu juga.

Jinyoung: KAK MAEHWA SAYANG! TERIMA KASIH SUDAH SUDI MENERIMA AJAKANKU! XD

Kangsan: Jangan berlebihan. Nanti kau membuat Kak Maehwa tidak nyaman.

Haedal: Hai, Maehwa! Ini pertama kalinya kita satu grup di sosmed. Aku masih kecewa kita tidak jadi satu tim. Semoga di babak selanjutnya kita setim.

Begitu seterusnya. Ting! Ting! Ting! Mereka menyerbu ponsel Maehwa dengan pesan spam, penyambutan tak berguna. Terlebih ada Haedal dan Kyo Rim di dalam grup. Dua kombo yang berisik. Kalau ada Jun-oh, pasti semakin berisik. Mengganggu.

Jinyoung: Kak Maehwa, Kak Maehwa! Kami berencana mau ke motelmu malam ini. Apa kakak berkenan mengizinkan?

Maehwa akhirnya tergerak membalas, sedikit tertarik. "Dalam rangka apa?"

Haedal: Ingin bermain saja. Kami bawa banyak makanan lho, Maehwa! Masa sih kau mau menolak traktiran.

Kyo Rim: Huuu!!! Haedal sok akrab huuu!!!

Kangsan: Kak Maehwa tidak tertarik pada makanan. Dia cuma semangat pada game.

Maehwa bergumam pelan, melirik jam dinding. Baru pukul tiga siang. Dia jarang menerima tamu karena tidak punya teman. Haruskah Maehwa mengiyakan?

Andai saja Danyi ada di sini. Dia jelas bisa menentukan pilihan bijak.

Tapi entah apa yang Maehwa pikirkan, dia mengangguk setuju. Instingnya berkata akan ada hikmahnya mereka datang.

.

.

"Ada apa? Kenapa masygul begitu?"

Jun-oh mengembuskan napas panjang. "Aku benar-benar dilema saat ini."

Setelah berpisah dengan Maehwa—sungguh itu bukan perpisahaan yang baik—Eugeum mengajaknya bertemu. Jun-oh menjawab iya. Di sinilah mereka, di suatu kafe yang cukup ramai. Sesekali pengunjung kafe menengok ke mereka, gemas di kursinya.

"Misalkan sahabatmu, orang yang kau anggap adik sendiri, memiliki rahasia yang mengerikan. Apa kau akan takut, trauma, dan menjaga jarak tanpa sadar?"

Eugeum menghela napas. "Itu berarti kau bukan benar-benar sahabatnya. Sahabat bukan tentang siapa dia, kapan kenal dia, bagaimana rupa dia. Sahabat itu yang senantiasa memberi dukungan, menuntun kita ke jalan kebaikan dan menjauhi keburukan, menerima dirinya apa adanya. Kalau kau mengharapkan sesuatu, itu berarti kau tidak memahami dirinya."

Jun-oh tertegun, menatap Eugeum yang santai meminum kopi. "Benar kata Song Kyo, kau penceramah yang andal."

"Apakah ini merujuk ke Maehwa? Kalian berdua agak renggang waktu itu."

Jun-oh mendesah. "Begitulah. Aku tidak sengaja tahu, tidak sengaja mendengar rahasianya. Dan itu membuatku tanpa sadar kasar dan ngeri terhadapnya."

"Memangnya kenapa kalau dia punya satu dua rahasia kecil? Beberapa hal tentang diri kita harus dirahasiakan. Lagi pula kita semua memiliki aib. Kita bukan orang suci. Ada banyak bentuk rahasia yang tidak enak dibagikan ke orang lain."

Dan Jun-oh terdiam lagi. Si Eugeum ini... pemilihan kata-katanya bagus sekali dalam menampar seseorang.

"Kekecewaan itu hanya bersifat sementara, Jun-oh. Lebih cepat kau menerima, maka lebih cepat pula bebanmu terangkat. Jangan kau lampiaskan dengan keputusan yang akan berakhir penyesalan. Berpikirlah dengan kepala dingin."

Eugeum beranjak bangkit, mengelus dagu. "Kalau boleh jujur, si Maehwa ini menarik. Dia orang yang lurus, random, pikirannya mudah terdistrak. Tapi di atas semua itu, aku merasa dia membuat benteng dalam dirinya. Mungkin dia sudah terlalu lama sendirian, kesepian, atau entahlah. Dia punya topeng tebal. Berlapis-lapis.

"Dia mulai membuka diri, tapi kau balas dengan tatapan menghakimi. Orang-orang seperti Maehwa ini sangat mudah ditebak endingnya bagaimana. Kalau tidak hatinya yang mati atau dia tidak bisa lagi mempercayai manusia lain."

Jun-oh memperbaiki posisi duduknya. "Kau yakin ingin menjadi idol, Eugeum?"

"Apa maksudmu?"

"Kenapa tidak mencoba menjadi uskup agung atau bapa?" seringainya. "Aku akan menjadi jemaat permanenmu."

Eugeum mendengus, melangkah pergi. Dia selalu begitu. Yang pertama mengajak bertemu, yang pertama pula izin pergi.

Sejak kapan mereka berteman? Sejak ronde kedua. Mereka kebetulan satu tim. Eugeum adalah tipe orang yang mau diajak bicara untuk menemukan solusi. Dia juga tidak memaksakan pendapatnya.

Benar juga yang Eugeum katakan.

Munafik namanya kalau Jun-oh mendekati Maehwa dengan tujuan tertentu. Lalu setelah tahu rahasia yang tak harus diketahui, Jun-oh membuangnya begitu saja, takut terseret pada sesuatu yang bisa menghancurkan masa depannya.

Jun-oh telah membuat kesalahan. Dia tidak seharusnya egois begini. Kan dia yang membuat Maehwa jadi mengandalkannya. Keadaan takkan serumit ini kalau sejak awal Jun-oh tidak peduli padanya.

Abaikan fakta Maehwa bukan manusia biasa. Toh, darahnya warna merah. Toh, mereka sama-sama makan nasi.

"Aku harus minta maaf."

Tidak susah menebak ada di mana Maehwa saat ini. Anak itu pasti kembali berdiam diri di kamar motelnya, bermain game.

Maka dari itu, pukul sembilan malam, Jun-oh memutuskan pergi ke Motel Banana. Dia akan mengakhiri kesalahpahaman ini.

Tapi, eh, kok kamar sewa Maehwa terbuka? Pintunya ternganga. Apa ada yang bertamu mendahuluinya? Seingat Jun-oh, Maehwa cukup akrab dengan circle Jinyoung, jadi tidak heran mereka datang ke rumahnya.

"KITA HARUS MEMBAWANYA KE RUMAH SAKIT!" Lamat-lamat terdengar teriakan yang Jun-oh yakini suara Jinyoung.

Eh? Ada apa? Dia mempercepat langkah.

"Dengar, kita harus menyelesaikan masalah ini diam-diam tanpa memicu keributan. Aku yakin Maehwa takkan suka dikerubungi reporter. Dia benci ditanya-tanya. Aku dan Kangsan akan bawa Dong-Moon ke kantor polisi. Sementara Jinyoung dan Haedal, temani Maehwa ke rumah sakit." Sekarang Jun-oh mendengar suara Kyo Rim yang serius. Jarang-jarang dia serius begitu.

"Tapi kita tidak punya bukti kejahatannya! Kita hanya melihat dia berusaha membunuh Kak Maehwa! Bagaimana cara kita memenjarakan psikopat ini? Apakah kesaksian semata sudah cukup?"

Mata Jun-oh membulat. Apa katanya?

Tanpa pikir panjang, Jun-oh bergabung ke dalam kamar, membeku di ambang pintu. Dia melihat Dong-Moon berusaha memberontak dari kuncian Jinyoung yang kuat, berteriak-teriak marah.

Lalu Maehwa... sedang dibantu oleh Kangsan dan Haedal. Lehernya memerah. Ada seutas tali kabel tergeletak di lantai.

Dia pingsan, sekarat, tidak bernapas.

***TBC***

Magic idol cafe

Maehwa: *Terkekeh* Wow, ini menarik sekali. Kau menjadikan dirimu kameo dan tetap memenangkanku. Awokawok! Kupikir kau akan meninggikan dirimu.

Kafu: *Menggeram* Diamlah, aku sedang sensitif untuk beberapa hal.

Maehwa menoleh. "Ck, kenapa lagi?"

Kafu: *Mendengus* Mereka bilang, aku keseringan memberimu masalah hingga kau tak pernah merasa bahagia. Kesal tak berkesudahan. Oh ayolah, ini kan genrenya DRAMA yang identik dengan problematik. Atau mungkin kau langsung kudebutin saja dan yey IDOL PLAYER pun kelar. Tamat.

Maehwa berkacak pinggang. "Makanya, jangan beri aku masalah beruntun."

Kafu: Selama kau MC, kau aman. Tapi selama kau MC, kau juga tidak aman karena ditargetkan masalah.

Maehwa menatap ke atas, mengelus dagu. "Jadi, aku mati lagi nih ceritanya?"

Kafu mengangkat tangan. Maehwa menatapnya. Lengang beberapa detik...

"Kita rehat sejenak."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top