6* Unknowingly Had Risen

"Verdandi! Sini!" Rissa dan Sebille memberi sinyal. Aku segera melesat terbang ke tempat mereka berdiri. Pintu kelas langsung ditutup oleh Madam Allura. "Kau dari mana saja? Kau membuat kami khawatir tahu."

"Maaf-maaf, aku sudah terbang secepat yang kubisa, tapi anginnya terlalu kencang. Aku jadi kesusahan melawan arus angin."

Setiap rumah bunga di Lembah Koilos telah disediakan lima buku umum tentang Klan Peri, salah satunya pemahaman soal kelebihan dan kekurangan sayap kita. Selain lemah dengan salju atau es, kita tidak bisa terbang normal melawan badai. Makanya aku cepat lelah dan butuh istirahat tiga kali sebelum tiba ke sini.

"Murid-murid sekalian, tolong duduk tenang di kursi masing-masing. Kita akan baik-baik saja. Peri Perang akan mengurus Blackfuror." Madam Allura mengarahkan, menenangkan teman sekelasku yang kentara ketakutan.

Sial. Padahal aku baru saja mau menanyakan tentang Blackfuror pada Ondina, eh, panjang umur. Mereka langsung datang, pakai baju merah kehitaman identik dengan kegelapan.

"Verdandi!"

Oh, aku kenal suara ini. Melusina! Dia turun di depanku lalu memelukku. "Aku khawatir saat kau tidak ada di kelas. Kukira mereka sudah menangkapmu," katanya super cemas.

"Sina, bukannya kau sudah di Medium?"

"Aku baru mendapatkan kekuatan, Verdandi. Tidak mungkin aku langsung ikut perang."

Pembicaraan kami harus ditunda karena ruangan kelas berayun pelan. Semua peri di dalam menjerit, refleks memegang apa pun. Tidak ada yang berani terbang. Ketakutan membuat sayap menjadi layu dan lemah.

"Enyahlah dari sini!" kata seseorang di luar ruangan. Mungkin anggota peri perang.

"Menyingkirlah, Fairyda's! Serahkan Blessing Statue pada kami maka kami takkan pernah memerangi umat kalian lagi." Suara galak yang sangar itu pasti bagian dari Blackfuror.

"Jangan bercanda! Patung itu milik kami!"

Aku menutup telinga. Rasanya gendang telingaku ber-DJ hebat demi mendengar pertarungan tengah terjadi di depan kelasku. Jadi tujuan Blackfuror adalah menginginkan Patung Kekuatan, huh? Mereka terobsesi karena patung itu bisa memberi kekuatan?

Aku ingin menolong. Aku ingin membantu yang lain. Aku ingin berguna. Semoga tak ada yang terluka. Semoga mereka baik-baik saja.

Perang tanpa persiapan itu mereda enam menit kemudian saat satu peri berkekuatan aneh bergabung, datang memukul mundur Blackfuror. Mereka memutuskan kembali ke markas, sangsi kalau harus meneruskan.

"Hore! Kita menang!"

Aku turut senang empat anggota Blackfuror itu sudah pergi, namun aku penasaran sosok pemberani yang menantang mereka tanpa rasa takut. Apa dia terbiasa bertarung? Lalu, bakat macam apa yang dia punya sampai Blackfuror memilih mundur? Kelihatannya amat hebat.

"Kalian pergilah ke asrama masing-masing. Diam di kamar kalian sampai pengumuman selanjutnya diberitahukan. Paham?"

"Paham, Madam Allura."

Murid-murid kelas Newbie terbang dengan tertib, termasuk aku, Rissa, Sebille. Hendak kembali ke Lembah Koilos. Minus Sina. Dia sudah tinggal di asrama akademi.

"Siapa yang berdiri di sini tadi?" tanya Madam Allura sambil memegang setangkai bunga.

Aku menyesal telah menoleh menatap beliau yang menuntut jawaban. Dari sekian banyaknya peri, kenapa harus aku yang kena? Sialnya, itu tempat aku berdiri! Aish.

"S-saya, Madam." Apa, apa? Kenapa intonasi suara beliau terdengar kesal? Aku tidak mengompol berdiri kok! Aku tak kehilangan barang, lagi pula aku tak bawa apa pun.

"Baiklah, kau boleh pergi."

Eh? Aku memberanikan diri mengangkat kepala. Madam Allura tak jadi marah?

"Kenapa masih diam di sana? Kembali ke kamarmu." Beliau memicing menatapku.

"M-maaf, Madam!" Sayapku terkepak, membawaku melesat keluar dari ruangan. Memang ya, guru tipe killer itu bukan main-main tekanannya. Aku gemetaran.

*

Seperti yang diperintahkan Madam Allura, aku melesat menuju Lembah Koilos. Kulihat teman-temanku berdiri termangu di ujung tebing. "Lho, apa yang terjadi—hah?!?!!"

Lihatlah! Lembah Koilos, asrama peri-peri yang kekuatannya belum bangkit, berantakan karena terjangan angin badai tadi! Desahan kecewa lolos secara bergantian, melantun bagai melodi di ambang udara. Banyak peri yang rumahnya hancur. Ini... parah banget.

"Rumahku!" pekik Sebille melihat tempat tinggalnya telah patah batangnya. "Huwaa!! Aku sudah susah payah mendekorasinya!"

"Jangan sedih, Sebille." Rissa mendekatinya.

Tadinya aku berniat ingin menghibur Sebille—gadis itu amat menyayangi rumahnya. Tetapi, aku belum bisa mengkhawatirkan orang lain ketika Rissa menunjuk tulip alias rumahku yang sama nasibnya dengan rumah Sebille.

Tangkainya patah dua. Tiga helai kelopak bunga tercabut, jatuh berserakan ke tanah. Di mana aku tidur nanti malam coba?!

Rissa terbang secara pelan ke sisiku. "Jangan risau, Verdandi. Kau bisa menumpang di rumahku sampai bungamu tumbuh kembali."

Aku berkaca-kaca. "Terima kasih, Rissa. Kau teman yang baik." Tanganku mengusap-usap penuh sayang sisa kelopak bunga yang masih bertahan di receptacle (dasar bunga). Hiks. "Semoga kau lekas pulih, tulip cantik-ku."

Rissa menepuk lembut punggungku, tersenyum mengirim rasa semangat. Kami berbalik membelakangi rumahku yang awalnya cantik kini telah rubuh. Aku tak bisa memungkiri bahwa aku benar-benar sedih. Aku kan baru sehari tidur di sana. Masa sekarang sudah koyak? Dunia ini kejam!

Dari arah belakang kami, tiba-tiba sesuatu bercahaya. Aku dan Rissa menoleh. Sebille berhenti murung, ikut menoleh. Mulut mereka ternganga, mengesot mundur. Apa?!

Bunga Tulip, rumahku, telah bersinar. Lalu tanpa peringatan menumbuh secara ajaib.

Sebille menelan ludah. "A-apa yang sudah kau lakukan, Verdandi? Kenapa rumahmu..."

Aku juga melangkah mundur. "Aku tidak tahu. Aku tidak melakukan apa pun." Apa karena aku menyentuhnya barusan? T-tapi sebelum-sebelumnya tidak terjadi apa pun!

"Jika tidak, kenapa bunga itu bisa tumbuh?!"

"Run for your life!" Aku bersorak karena kelihatannya bunga tulip itu takkan berhenti untuk tumbuh. Lebih baik cepat-cepat pergi.

Kumandang teriakan meletus di sepenjuru lembah. Peri-peri di Lembah Koilos berhenti memperbaiki rumah mereka, kabur dari akar bunga tulip yang tidak mau berhenti tumbuh dan merambat ke sana-sini. Belum lagi batangnya mulai menjulang ke langit.

Penyelamat datang. Madam Allura bersama Master Olavo muncul di timing tepat. Entah apa yang Madam Allura lakukan, beliau hanya berbisik lantas Bunga Tulip berhenti tumbuh. Gila! Apa kekuatan guru terbangku?!

"Verdandi."

Aku tersentak. A-apa mereka tahu aku yang menumbuhkannya? Sial, aku harus jawab apa? Pura-pura tak tahu? Bagaimana kalau aku ketahuan bohong? Pribadi, aku tidak tahu mengapa rumahku menggila seperti itu.

"I-iya, Madam." Aku tak berani menatap wajah mereka. Kenapa Master Olavo, guru kelas Medium di sini? Adrenalinku terpicu.

"Ikut kami. Kita akan ke Pohon Neraida."

*

Aku pernah bertanya-tanya dalam hati, bagaimana rupa Pohon Neraida yang disebut-sebut mulia. Ternyata adalah pohon beringin. Di bumi pohon itu identik dengan kegiatan mistis, sarangnya hantu, namun di sini entah kenapa terasa berbeda.

Semilir angin mengembus daun-daun di ranting. Bibirku refleks melukis senyuman. Perasaanku yang campur aduk menjadi tenang dan tentram. Di sini sangat damai...

"Bagaimana perasaanmu? Sudah membaik?"

Aku mengangguk. "Terima kasih, Madam."

Master Olavo mengambil alih percakapan. Dia mengeluarkan bunga yang ditemukan Madam Allura di kelas tadi. "Ada sesuatu yang mau kami pastikan, Verdandi. Penting."

"S-saya tidak bersalah, Master, Madam! Saya benar-benar tidak tahu penyebab mengapa rumah saya bisa kesetanan seperti itu." Aku membela diri. Apa ada hantu atau jin di dunia lain? Jika ada, itu berarti mereka pelakunya.

Mereka saling tatap. Tersenyum. "Kami tidak akan membahas tentang Insiden Bunga Tulip itu, Verdandi. Yang kami inginkan adalah, bisakah kau menyentuh batang pohon? Tidak usah dengan tangan. Tempelkan dahimu."

"Ya?" Aku mengerjap, menoleh ke pohon beringin yang sejuk, balik menatap mereka. "T-tapi bukannya Madam Shayla sudah mendaftarkan data saya ke Pohon Neraida?"

"Ini bukan sekadar data diri, Nak. Kami mencurigai bahwa kekuatanmu telah bangkit tanpa kau sadari," ucap Master Olavo serius.

"Tapi bukannya Blessing Statue—"

"Maka dari itu kami ingin memeriksa. Kau hanya perlu menyentuh permukaan batang dan Pohon Neraida akan memberi jawaban."

Aku menelan saliva pahit, terbang ke depan batang pohon beringin itu. Meski aku tak yakin kekuatanku bangkit, tidak ada salahnya mencoba. Dahiku mencium batang pohon.

Angin sepoi-sepoi di sekitar Pohon Neraida mendadak mengencang, namun tak sampai menerbangkanku. Angin meniup selembar daun di ranting dan jatuh ke arahku. Apa itu untukku? Aku impulsif menangkapnya.

Daun itu bercahaya menggurat suatu kata.

"Gawat." Rahang Master Olavo mengeras.

"Ini masalah yang sangat serius, Olavo. Blackfuror memiliki alasan baru untuk memusnahkan umat kita. Aku tak pernah menyangka kekuatan sakral akan muncul. Parnox bahkan mengkonfirmasi kekuatan ini tak ada dan takkan pernah ada. Astaga!"

Guratan itu membentuk dua suku kata: Swift Growers. Memangnya apa arti tulisan ini sampai raut wajah mereka panik begitu? 





Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top