56* Your Promise
Aku jatuh ke dunia Asfalis di padang alang-alang yang wangi, maka di situ juga aku harus pulang. Mau seberapa banyak aku ke sini, melihat pemandangan yang sama, tetap saja wow. Aku suka sekali tempat ini.
Ini benar-benar hari terakhirku di Asfalis.
"Dandi, ada yang mau kukatakan. Penting." Aku menatap Kala yang mendesah berat, bimbang. "Ini tentang kepulangan... Haah..." Kenapa sangat sulit untuk dikatakan?
Jika Kala terlalu berat menyampaikan, ada sosok lain yang sukarela memberitahuku. Adalah Sinyi, sapu terbangnya sendiri.
"Kalau kau pulang hari ini, kemungkinan besar kau tak bisa kembali lagi ke sini, Dandi. Kode enkripsi pembuatan portal antara Bumi dan Asfalis semakin sulit untuk ditembus. Butuh bertahun-tahun, atau ribuan tahun, atau Kala tidak beruntung dia tidak bisa sama sekali membuka gerbang sekat dua dunia."
Aku mengedikkan bahu. "Aku tahu kok."
Kala menatapku. "Kau tahu? Sejak kapan?"
"Yeah, lama. Kalau kau memaksakan diri, kau bisa kehilangan nyawa." Aku mengulurkan tangan, menyerahkan kartu buatan Promy kepada Kala. "Nih! Hadiah dari gadis bumi."
"Benda apa ini?" Kala mengernyit.
"Coba kau sobek." Aku tersenyum misterius.
Syukurlah, tiada rasa curiga di hati Kala. Syukurlah, dia bukan Mind Reader dan tahu fungsi kartu tersebut. Aku sempat khawatir dia menolak, namun Kala langsung merobek kartu itu. Seketika benang pink terulur di jari kelingking kami. Aku tersenyum penuh arti.
"Benang pink?" Kala mengerjap.
"Kau tidak membaca tulisan di atas kartu dulu, ya. Aku baru tahu Kala si Penyihir Perfek punya sisi lugu dan polos. Itu adalah Kartu Kontrak pemberian Promy. Di sana tertulis kalau kau mencoba membuka atau membuat portal Bumi-Asfalis, maka benangnya akan menyakitiku. Benang tersambung permanen selama aku meneken kontrak. Kalau kau melanggar janji, aku yang kena hukuman."
Apa? Kala memperhatikan benang pink di jari kelingkingnya, menatapku yang masih tersenyum. "Kau... membohongiku?"
"Tidak, aku tak menipumu kok. Ini memang hadiah dariku agar kau selalu sehat. Aku tidak ingin kau mencoba yang aneh-aneh untuk membuatkan Pintu demi diriku, Kala. Ingat baik-baik, kau bisa membuatku kesakitan."
"Kalau begitu kau tidak bisa lagi—"
"Tidak apa. Tugasku di sini sudah selesai. Kau tahu kan sejak awal aku bukan warga Asfalis? Aku punya orangtua di Bumi. Seperti halnya kau mencari ibumu, Penyihir Agung Life-Fe."
Aku senyam-senyum, melangkah santai ke portal yang dari tadi memang sudah terbuka. Tepinya mengeluarkan cahaya aurora yang sama sekali tidak menyakitkan mata. Kala pasti berkerja keras membuatkanku portal.
Sekali lagi aku menyapu pandangan ke sekeliling yang sudah mau malam. Takkan pernah kulupakan dunia ini dengan orang-orang di atasnya. Aku bahagia telah menoreh kehadiran di Asfalis. Itu cukup.
Terima kasih telah memberiku petualangan, identitas dan profesi baru, momen-momen epik yang berharga, teman dan guru, Asfalis.
"Verdandi, tunggu. Kau tidak bisa..."
"Tidak perlu cemas, Kala! Aku pasti akan kembali ke dunia kalian, tapi kali ini (tanpa bantuan Mini) dengan caraku sendiri. Kau hanya perlu melanjutkan kehidupanmu. Jangan lupakan aku ya, Pangeran Angin."
Kala diam sejenak, berkata, "Berjanjilah."
Aku mengangkat tangan. "Iya, aku janji!"
Itu adalah kalimat terakhirku di dunia ajaib ini, tertuju pada Kala. Aku masuk ke dalam portal, berbalik menghadap ke Kala yang masih memandangiku. Tersenyum manis.
"Selamat tinggal!" Tubuhku menghilang.
Portal itu pun lenyap, menyisakan lengang.
"Kenapa kau berjanji kalau kau langsung mengingkarinya?" Kala mengepalkan tangan.
*
Gelap menyergap di tempat aku mendarat. Sinar aurora dari portal perlahan meredup dan melebur menjadi partikel cahaya lantas menguap ke langit. Hanya sayap putihku satu-satunya lampu penerangan.
Entah berapa kali aku tersenyum akhir-akhir ini sampai membuat mukaku kebas dan pegal. Kebetulan, di Bumi juga sudah malam. Kulihat bintang-gemintang di atas langit. Hmm, jika perhitunganku tidak keliru, sekarang baru pukul sembilan malam. Belum terlalu larut.
Angin sepoi-sepoi mengembus tanaman liar. Telingaku juga menangkap bunyi riak air. Aku pasti berada di hutan belakang sekolahku.
Ini benar-benar sudah berakhir.
Aku pulang ke bumi, duniaku.
Mungkin bagi Kala aku telah membohonginya karena mustahil aku bisa ke dunia paralel lagi apalagi kami terikat Kartu Kontrak, namun sebenarnya aku tidak mengatakan omong kosong sama sekali. Aku berkata jujur.
Aku masih ingat kata-kata Hal, si Utusan Tuhan. Dia membisikkan sesuatu padaku setelah proses pemasangan Sayap Malaikat.
Flashback.
"Verdandi, aku tahu kau dari Bumi. Kau tidak perlu khawatir soal sayapmu. Kau bisa memunculkan dan menutup sayap itu sesuka hatimu. Cukup berpikir saja. Simpel, kan?"
"Hal, kau siapa sebenarnya? Apakah kau-"
"Nama asliku adalah Halca. Aku sama sepertimu. Aku juga berasal dari Bumi."
Apa? Detik itu juga ingatanku membawaku ke seorang murid laki-laki yang dibuli di hari pertama ajaran baru. Sudah kuduga, sudah kuduga. Dia adalah Halca. Murid bulian yang tidak sempat kutolong, yang ragu kubantu.
"Kalau begitu aku pergi dulu—Grep!"
Aku bergegas mencengkeram lengan Hal. Air asin hangat berlinangan di pelupuk mataku. "Maafkan aku, Halca. Maafkan aku. Maaf waktu itu aku terlalu lemah membelamu."
"Emm, apa kau mengenaliku?"
Halca mungkin tidak mengenalku dan aku juga tidak pernah berinteraksi dengannya di sekolah. Tapi setelah tahu dia Halca, salah satu siswa di SMA-ku, perasaan bersalah mengerubungiku tanpa henti. Aku lemah... Tidak bisa berdiri tegak membantu Halca.
Sosok yang dibuli dan dipukuli di depan mataku, namun aku tidak dapat menolongnya karena mendengar rumor tak jelas... Ternyata dia seorang utusan tuhan di dunia lain.
Flashback Off.
Jika Halca yang merupakan manusia Bumi bisa datang ke Asfalis, mungkin aku bisa kembali lagi ke sana. Yah, tidak dalam waktu dekat. Tapi aku yakin suatu hari nanti aku pasti bisa.
Halca meski bingung kenapa aku menangis untuknya, dia tetap berterima kasih. Aku sungguh respek dengannya yang amat sopan.
Menggelengkan kepala, aku pun membuka sayapku, membentangkannya lalu melesat ke atas langit. Aku tidak mau mengambil resiko terbang bebas di jarak pandang warga. Aku harus terbang di balik jutaan kapas awan.
*
Aku sudah berdiri di depan rumahku. Lampu rumah menyala pertanda ada orang di dalam, tak lain orangtuaku. Mama dan Papa.
Bagaimana cara aku masuk ke dalam? Apa reaksi mereka berdua nanti? Kaget? Marah? Merundungku dengan pertanyaan ke mana saja aku pergi? Hilang bagai ditelan bumi. Aku tidak bisa menebak apa yang akan terjadi.
Baiklah, sudah waktunya.
Aku tidak menghitung berapa bulan aku pergi ke dunia lain, yang jelas itu lumayan lama. Setengah tahun mungkin? Aku pasti harus mengulang lagi dari awal, maksudku sekolah.
Aku tidak mau membuat Mama dan Papa terus khawatir tentang keberadaan dan keselamatanku. Aku penghuni rumah ini. Apa yang harus kutakutkan? Beranilah, Verdandi!
Aku meneguk saliva yang sudah kering sedari tiba di rumah, membulatkan tekad. Tanganku meraih gemetar kenop pintu. Tidak perlu takut. Semua akan baik-baik saja. It's fine.
KLEK! Pintu rumah terbuka.
Mama dengan cepol rambut berantakan, tergopoh-gopoh ke ruang tamu. "Apa kau menemukan sesuatu, Pak Polisi..." Kalimat beliau terputus demi melihat wajahku. Mama mengenakan celemek, sepertinya beliau habis memasakkan Papa makan malam.
"Ada apa, Ma? Kenapa bengong di depan pintu? Siapa yang datang—" Papa menyusul di sebelah Mama, sama kagetnya. Terdiam.
Aku tersenyum dengan air mata mengalir.
"Verdandi sudah pulang."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top