55* Prepare to go Home
"Terima kasih, Promy!"
Aku segera membuka sayapku, beranjak terbang meninggalkan rumah bunga Promy. Memang tidak seringan sayapku yang dulu, namun seminggu telah berlalu semenjak aku mendapatkannya, aku sudah terbiasa.
Keadaan Fairyda berangsur pulih, sangat baik malahan. Tuan Alkaran dan para petinggi disibukkan dengan pembangunan ulang Subklan Fairyda. Kini kami memiliki tanah berhektar-hektar luasnya. Tidak mungkin hanya diisi oleh sekolah, kan? Kota baru kek, perkampungan, desa, atau Guild Petualang.
Separuh dari peri Fairyas yang telah mendapatkan Sayap Rajutan dari Amaras, pergi meninggalkan Fairyda untuk menyerahkan sayap tersebut ke kenalan masing-masing. Mudik lah sebutannya.
Termasuk Promy. Dia akan pergi siang nanti. Untunglah dia menyelesaikan "pesanan"-ku sebelum pergi menjelajahi dunia Asfalis.
Aku melirik bangunan akademi yang mulai lengang. Tidak hanya kubu Fairyas saja, peri-peri Fairyda juga banyak yang pergi untuk bertualang. Sekolah dihentikan sampai pembangunan kota Fairyda selesai.
Begitu juga dengan teman-temanku. Rissa dan Iris sudah pamit lusa lalu. Mereka hendak ke Klan Druid bersama Houri—sebenarnya cowok itu memaksa ingin ikut mereka berdua.
"Bagaimana denganmu, Rinvi? Kau akan pergi ke mana?" Linda bertanya malu-malu. Iya, dia sedang mencuri kesempatan. Mumpung Divisi Kesehatan sudah kosong menyisakan Rinvi dan dirinya seorang. Momen yang sempurna.
Rinvi menggeleng pelan. Dia takkan pergi ke mana-mana, menetap di Fairyda. Rinvi tidak ingin menginjakkan kaki ke Klan Druid lagi. Pohon Neraida yang baru kan sudah tumbuh. Jutaan pengetahuan siap menantinya.
"Kalau begitu aku akan di sini juga."
"Eh? Tapi bukannya kau mau melihat-lihat ibukota?" Dengan bantuan Psyche yang punya kekuatan mampu merubah wajah dan Tuan Alkaran atau Amaras mengecat sayap, semua peri Fairyda bisa menyusup ke ibukota. Itu pun kalau mereka punya hasrat ke sana.
Linda menggeleng, tersenyum. "Mana mungkin aku pergi kalau kau tidak ikut."
Mereka berdua diam sejenak, lalu BLUSH! Keduanya saling mengalihkan perhatian. Aigoo. Aku dan Sebille yang menonton hanya bisa geleng-geleng kepala, tersenyum penuh arti. Ah, indahnya kisah romansa di sini. Sampai tidak sadar ada orang di belakang.
Tidak sedikit peri Fairyda yang memutuskan untuk tinggal di Akademi. Paling tidak harus ada satu dua senior menyambut peri pemula. Merujuk sekolah dihentikan, mereka para newbie pasti kebingungan harus ngapain.
"Mungkin ini giliranku, Dandi," kata Sebille ketika kami pergi dari unit kesehatan, tidak mau mengganggu suasana lovey-dovey antara Rinvi dan Linda. "Aku sudah pamit ke semua orang, kecuali kau. Seharusnya itu Parnox, tapi dia malah jadi orang pertama. Andai saja dia tidak mendengar prospek perjalananku."
Oh? Aku baru tahu Sebille juga ingin bertualang. "Kau mau ke mana memang?"
"Untuk sekarang belum ada tujuan sih. Aku ingin terbang ke mana saja sejauh sayapku membawaku. Kita pasti akan bertemu lagi suatu saat nanti. Jaga dirimu, Verdandi."
Sebille memelukku erat. Aku membalas pelukannya. "Kau juga. Selalu ingat Parnox dan jangan khianati pria yang kau sukai. Jaga matamu, oke? Parnox itu aslinya cemburuan."
"Itu pun jika dia juga menyukaiku."
"Dia sudah menunjukkan gejalanya kok."
"Verdandi, Verdandi. Terima kasih." Sebille kemudian terbang meninggalkanku, melambaikan tangan sekali lagi. "Sampai jumpa entah kapan. Teruslah sehat, ya!"
Aku tersenyum, mengangguk.
Ngomong-ngomong, membicarakan Ketua Parnox, sesuai yang diharapkan dari si ketua, dia akan menetap di Fairyda. Hayno juga tidak punya keinginan untuk berkelana, pun Kahina. Gadis penyihir itu enggan pulang. Dia terlanjur nyaman di anak region Klan Peri.
Aku memejamkan mata, merasakan semilir angin lembut menerpa rambut dan wajah. Rasanya hangat dan lembut. Ditambah dengan pemandangan sunset. Aku tak ingin melupakan setiap detik momenku di sini.
Walau tidak melulu hal-hal menyenangkan, bohong jika aku tidak sedih harus berpisah dengan Fairyda dan Asfalis. Aku sangat menyukai dunia ini. Asfalis memberiku petualangan dan kenangan nan berarti.
Lalu hari ini, aku akan meninggalkan Asfalis.
"Verdandi!"
Ng? Aku menoleh. Senyumku seketika terpatri. "Sina!" Ah, rupanya sahabatku itu masih di sini. Kudengar dia hendak ke Klan Penyihir. Dia tertarik dengan ilmu sihir usai melihat pertunjukan hebat Kala dan Kahina.
Sina mendarat sempurna ke sebelahku. "Syukurlah, kau belum pulang. Aku cemas karena kamarmu sudah terkunci. Aku lupa kau sudah berkemas sejak tadi malam."
"Aku pamitan sama yang belum sempat."
Sebelumnya, seperti yang lain, aku juga sudah pamit pada mereka. Bilang aku akan pergi mengembara ke lima klan. Itu kedok untuk menyembunyikan kebenaran bahwa aku takkan berada di sini lagi. Aku akan pulang ke Bumi. Kala telah menyiapkan portalnya.
"Aku ada oleh-oleh untukmu, Dandi. Aku buat dari material pemberian Kahina." Sina memberiku jepitan berwarna putih berbentuk empat kepak sayap angsa, tersenyum sendu. "Ini mungkin hanya mainan rambut, tapi aku ingin kau memakainya supaya kau tidak lupa... denganku, teman-teman, dunia ini..."
Mataku melotot, menatap Sina yang menahan diri agar tidak menangis. "Kau tahu?"
Sina tersenyum getir. "Aku sudah tahu sejak lama kalau kau bukan dari dunia ini. Kau dari dunia lain, kan? Hanya saja aku diam untuk menghormati keputusanmu, Verdandi."
Tanpa berpikir dua kali, aku pun memeluk tetangga kamarku itu. Aku tidak menyangka Sina tahu aku bukan dari Asfalis dan dia menjaga rahasiaku sampai sekarang. Sungguh, aku bahagia dan bersyukur bisa bertemu teman sebaik dan seperhatian ini.
"Aku takkan pernah melupakanmu, Sina. Kau sahabat terbaikku. Aku juga takkan, lebih tepatnya, aku tidak bisa melupakan dunia ini. Aku menyukai Asfalis." Aku menerima jepitan tersebut, memakainya di rambutku seperti bandana. "Apa cocok untukku? Putih-putih."
"Sangat cocok!" Sina menyengir.
*
Fairyda semakin kosong saat malam tiba. Peri-peri bepergian dengan bebas. Mungkin hanya aku dan Sina yang tersisa jika tidak menghitung mereka yang menetap di sini.
Sina bilang dia akan mengantarku. Setelah itu, baru dia berangkat ke Klan Penyihir.
"Kau akan kembali kan, Dandi?"
Pertanyaan itu adalah pertanyaan berbahaya yang sangat ingin kuhindari. Aku ingin berbohong, namun aku tidak tega harus menipu sahabatku sendiri. Melusina gadis paling pengertian yang pernah kutemui. Aku harus terus terang soal kondisiku. Maksudku, secara tidak langsung. Tidak blak-blakan juga.
"Jujur aku tidak bisa berjanji, Sina, tapi akan kuusahakan untuk kembali ke dunia ini."
Mungkin itu jawaban terbaik dan teraman yang kupunya. Pasalnya, aku tahu aku takkan bisa ke Asfalis lagi. Nyawa Kala yang jadi taruhan dan aku tak ingin dia kenapa-kenapa.
"Sebaiknya kau kembali, Dandi. Atau Kala sedih." Sina tersenyum, sarat akan makna.
Aku mengernyit. "Untuk apa pula dia sedih?"
"Ya ampun!" Sina berseru pelan, menatapku tidak percaya. "Kau sungguh tidak sadar atau berpura-pura tidak peka? Kalau tidak begini saja, kau menganggap Kala apa sih?"
"Dia temanku? Oh, dia penyihir penanggung jawabku. Apa dia sedih Junior-nya pergi, ya? Tapi kan kau tahu sendiri kalau dia dingin. Aku ragu kalau dia menyedihi kepulanganku."
"Bagaimana perasaanmu tentangnya?"
"Hmm." Aku melipat tangan ke dada, menatap terawang ke langit, membayangkan ada Kala di atas sana. "Kalau kau bertanya soal perasaan, aku benci melihatnya terluka lebih-lebih karenaku. Walau dia batu es, dia punya hati nan hangat. Dia senior yang baik."
Sina menepuk dahi, tergelak pelan. "Aduh, sepertinya perjalanan Kala masih panjang."
"Kenapa deh? Dia mau pergi memangnya?" Aku ingat Kala ingin mencari ibunya. Mungkin setelah mengantarku pulang, Kala akan berkelana ke klan-klan lain mencari Life-Fe.
"Tidak apa." Sina mengulum senyum lagi.
"Kau sendiri bagaimana? Kata Linda, kau sedang kasmaran dengan Liev. Ngaku hayo!"
"Y-yah, laki-laki satu itu memang punya sifat yang menyebalkan karena kekuatan yang dia punya. T-tapi, yah, dia lumayan unik juga. Dih! Kenapa malah jadi aku yang digoda?!"
Aku tertawa genit. "Cie, Sina, cieee."
"Apa yang kalian bicarakan?"
Aku dan Sina langsung memasang wajah datar ketika Kala datang, seolah tidak ada yang kami bicarakan barusan. Ini si Kala punya pendengaran super kah? Dia selalu muncul laksana angin... Well, dia memang angin sih.
"Tidak ada kok. Nah, Dandi, ini perpisahan kita. Semoga perjalananmu menyenangkan. Jangan lupakan aku, oke? Sampai jumpa."
Aku dan Sina berpelukan lagi. Pelukan terakhir. Kemudian Sina tersenyum padaku dan Kala. Sayapnya terkepak kencang mengangkat tubuh pemiliknya, menyisakan aku dengan Kala yang saling diam. Canggung.
"Ayo kita ke tempat biasa."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top