5* Listen to History

Setibanya di kelas, aku tidak melihat Sina di mana pun. Apa dia terbang luntang-lantung di lorong? Harusnya kami tak terpisah saat Nona Siofra membubarkan barisan, namun arus kerumunan sangat kuat. Terbang atau jalan kaki pun tak bisa. Sumpek. Mereka terlalu semangat, tidak sabar mencoba kekuatan.

Beruntung sekali mereka. Saat aku berpikir hari ini aku yang beruntung, namun realita di sini sama pahitnya dengan di bumi. Aku berkali-kali membatin 'jangan tamak, Dandi!'.

"Verdandi? Kau mencari Melusina, ya? Dia sudah pergi ke Medium sebelum kau sampai ke kelas. Dia menitipkan pesan untukmu."

Ternyata Sina sudah dapat?!

"Apakah peri-peri di kelas Newbie langsung naik ke kelas Medium begitu mendapatkan kekuatan?" tanyaku agak ragu-ragu.

"Tidak lah." Peri kedua datang ke arah kami. Dia bersedekap. "Kita harus mendapat surat lulus dari Madam Shayla dulu. Melusina telah memperolehnya dua minggu lalu."

"Lalu kenapa dia masih di Newbie?"

"Karena Blessing Statue tidak menyala setiap hari, Verdandi sayangku. Kau tak bisa meninggalkan kelas ini sebelum meraih kekuatan. Begitulah peraturan," jelasnya. "Oh, kita belum berkenalan. Aku Sebille."

"Salam kenal, Sebille." Selalu menyenangkan mendapat teman baru di sini, pikirku.

"Aku Rissa. Senang berkenalan denganmu, Verdandi. Motif sayapmu sangat cantik!"

"Sayapmu juga." Aku tersenyum.

"Yeah, secantik apa pun sayap kita tetap tak bisa mengalahkan keindahan sayap yang berwarna." Sebille melaju pelan ke kursinya.

Perkataan Sebille mengingatkanku pada misi untuk mencegat Kala—meminta (memaksa) dia menjelaskan tentang sejarah Asfalis. Karena aku ke aula, aku jadi lupa sama tujuan.

"Eh, Rissa, apa kau kenal Kala?"

"Si peri yang tidak mau terbang? Tidak ada peri perempuan yang tidak kenal Kala. Dia itu terkenal karena tampan tapi yah, dingin. Warna rambutnya terang, sangat menonjol."

Lagi-lagi jawaban begitu. "Lalu, apa kau tahu di mana dia sekarang? Aku ada kepentingan dengannya karena dia yang menemukanku. Kalian semua tahu, kan?" ucapku hati-hati agar mereka tidak berpikir macam-macam. Mana tahu Sebille dan Rissa penggemarnya.

Rissa mengetuk-ngetuk dagunya. "Entahlah, Verdandi. Aku tak yakin karena aku juga tak begitu kenal dengannya. Coba cari dia di tempat kau jatuh. Siapa tahu dia di sana."

"Ide brilian, Rissa! Aku pergi dulu!"

"Tunggu, Dandi! Kau harus minta izin."

"Sampaikan izinku ke Madam Allura!"

*

Aku mendarat dengan sempurna ke tanah. Kemampuanku dalam terbang semakin baik semenjak aku terbiasa dengan sayapku. Aku juga diberitahu sayap suka mengepak spontan seperti sayap capung dan kupu-kupu yang suka bergerak sendiri padahal tidak terbang.

Ah, alang-alang luas yang menawan. Tempat aku mencoret status manusiaku menjadi peri. Baru satu hari di sini aku sudah mendapat petualangan dan teman-teman  yang seru.

Sebenarnya portal gaib apa yang kulihat di hutan belakang sekolah? Gara-gara portal itu kehidupanku berubah. Aku tidak tahu harus marah padanya atau berterima kasih atau entahlah. Aku masih terjebak di sini tanpa tahu prospek kapan bisa pulang ke duniaku.

"Kau ingin kubantu biar cepat naik kelas?"

Telingaku mendengar suara obrolan. Aku segera meluncur ke sana, bersembunyi. Ada dua cowok tengah berbicara serius. Mereka sama-sama mengenakan jubah, menyurukkan sayap masing-masing. Tidak mau pamer.

Aha! Tak sia-sia aku mendengar pendapat Rissa. Kala benar-benar ada di tempat ini.

Lalu, dia bicara sama siapa?

"Daripada repot-repot menaruh perhatian padaku, kenapa tidak kau awasi saja pemula?" jawab Kala dingin, menolak jubah Adept yang disodorkan lelaki di depannya.

"Aku tahu kau memperoleh kekuatan yang hebat dan itu akan sangat berguna untuk tempur, Kala. Kau tidak tahu kita kekurangan anggota perang? Blackfuror makin hari makin gencar menculik teman kita. Kalau terus begini, misi mereka kelak akan berhasil."

"Memangnya kau tahu kekuatanku?"

"Pohon Neraida memberiku jawaban. Saat pengukuran, di giliranmu ia tak berkutik. Aku tidak mengerti kenapa kau tidak mau keluar dari kelas Senior. Kau tak mau menunjukkan kekuatanmu, juga tak mau terbang. Kenapa tidak kau patahkan saja kedua sayapmu dan mengecil? Benda itu sia-sia di punggungmu."

Gila. Angkuh sekali lawan bicaranya.

Kala hanya mendengus. "Haruskah semua peri terbang? Aku hanya malas. Itu saja."

"Ah, sudahlah. Capek ngomong samamu." Cowok yang bicara dengan Kala menyerah membujuknya, menghilang begitu saja seperti asap. Eh? Eh?! Hilang? Ke mana dia pergi?!

Aku menggelengkan kepala, terbang ke arah Kala yang ingin berbaring. "Hai, Kala!"

Kala menoleh datar. "Oh, kau."

Aku duduk manis di sebelahnya. "Kudengar kau berada di kelas Senior. Apa kekuatanmu?" tanyaku to the point. Mungkin Kala mau memberitahu jika aku—peri yang dia temukan—yang bertanya. Aku benar-benar penasaran sampai laki-laki tadi memintanya naik kelas.

"Bukan urusanmu," ucapnya pendek.

Sepertinya tidak.

"Ayolah. Aku ingin tahu kabar terbaru dari peri penanggung jawabku." Aku memakai raut wajah memelas terbaik yang kupunya.

Kala diam saja. Enggan menjawab.

"Cih, pelit! Baiklah, kuganti pertanyaanku. Siapa pria yang bicara denganmu?"

"Namanya Parnox. Ketua Akademi."

Aku menoleh ke titik berdiri Parnox yang menghilang bagai uap. "Apa kemampuannya berhubungan dengan pindah tempat?"

Kala menatapku. Aku ikut menatapnya. Apa?

"Itu tebakan yang akurat. Dia Teleportation."

Lho? Aku tersenyum geli. Aneh. Kenapa aku senang dipuji oleh lelaki triplek sinisan ini? Aku menampar pelan pipiku. Sadarlah, Dandi. Jangan berurusan dengan orang terkenal.

Kami berdua disiram oleh kegelapan membuat kepala demi kepala mendongak. Katedral Sabaism melewati akademi lagi. Melayang di ketinggian 200 meter. Aduh, besarnya.

"Bentuk istana itu memanjakan mata sekali. Apa karena ia tempat tinggalnya Sang Dewa?" Aku dengan alami membuka obrolan.

Kala mengembuskan napas panjang, beranjak bangun. "Segitunya kau mau tahu tentang sejarah dunia ini?" Dia mendengus melihatku mengangguk-angguk cepat. "Tanyakan saja semuanya pada Ondina," lanjutnya bersiul.

Ondina. Kupu-kupu betina itu datang.

"Aku pergi." Kala hendak berlalu.

"T-tunggu, Kala. Kekuatanku belum bangkit. Bagaimana cara aku berbicara dengan... Um, maaf kalau aku kasar, maksudku hewan?"

Kala melirik Ondina. "Oh." Dia menjentikkan jari. "Kau bisa bicara dengannya sekarang."

"Mana bisa begitu—"

"Terima kasih, Kala." Ondina tersenyum.

Aku cengo, melongo kaget. Jangan-jangan ini kekuatannya? Dia mampu membuat hewan berbicara seperti manusia?! Heol daebak!

Aku masih ingin bertanya pada Kala, namun dihalangi oleh Ondina. "Jadi kau mau tahu latar belakang Asfalis? Aku akan sukarela menceritakannya padamu, Nona Verdandi."

Kulihat Kala sudah memasuki zona sekolah. Baiklah, lupakan tentangnya sejenak. Aku duduk mantap di depan Ondina. "Iya!"

"Ekhem!" Ondina berdeham. "Aku tahu kau sudah tahu, tapi aku akan memberitahumu lagi. Nama dunia ini adalah Asfalis. Di atasnya berdiri lah enam region: Klan Iblis, Klan Skadi, Klan Gaiara, Klan Peri, Klan Penyihir, dan Klan Druid. Nah! Bangsa peri sedikit unik karena memiliki subklan alias anak region. Dan itulah kita, Fairyda. Sejauh ini kau mengerti?"

Aku mengangguk-angguk.

"Dulu hubungan kita dengan peri ibukota sangatlah baik. Pohon Neraida dulunya juga hanya satu dan kami saling berbagi kekuatan pohon. Tidak sebelum <Penghancuran>."

"Sebenarnya apa itu <Penghancuran>? Setiap peri mengatakannya, mereka pasti terlihat murung. Apa itu... sebuah bencana besar?"

"Tepat sekali, Verdandi. Kiamat yang diberikan oleh Sang Dewa karena telah berani membuatnya marah besar. Meteor raksasa dalam jumlah banyak dijatuhkan ke daratan, menghancurkan dan meluluh lantakkan perkotaan enam bangsa. Kecuali kita."

Oke. I-ini mulai membuatku takut. Aku memeluk badan, samar merinding. "K-kenapa akademi tidak hancur seperti ibukota?"

"Karena Blessing Statue melindungi Fairyda dari <Penghancuran>. Keajaiban ini tak bisa diterima oleh para petinggi ibukota usai pemulihan dari <Penghancuran>. Mereka pun membuang kita, memberi penghalang agar kita tak dapat berkunjung, dan memonopoli Pohon Neraida membuat kita tak bisa terbang dalam lima bulan. Masa-masa menyedihkan."

Itu perbuatan yang tak adil. Hanya karena kami selamat dari amarah Sang Dewa, mereka memutuskan hubungan? Peri Ibukota labil deh.

"Makanya hanya segelintir peri yang memiliki sayap berwarna karena kita tidak bekerja untuk peri ibukota lagi, melainkan untuk kebutuhan bangsa kita. Ketua Fairyda menurunkan maklumat: Mulai hari ini, subklan Fairyda akan menjadi anak region mandiri yang tidak bekerja untuk siapa pun."

"Lalu soal Pohon Neraida buatan?"

"Ah, itu adalah pemberian calon pemimpin Klan Peri selanjutnya. Sebagai permintaan maaf atas keegoisan rakyatnya, dia pun membangun duplikat Pohon Neraida dengan kekuatan sendiri. Meski tidak seberapa, peri di Subklan Fairyda dapat terbang kembali."

Masa pemimpin lebih baik dari rakyat sih? Di kotaku, malah rakyat yang menderita. Karena ini dunia lain mungkin hukumnya berbeda...

"Tunggu, kalau dia seorang calon pemimpin, mungkin saja dia mau mengubah idealisme peri ibukota tentang peri Fairyda."

"Sayang sekali, Verdandi, namun itu tak mungkin sebab beliau dikabarkan menghilang."

"Apa? Menghilang? Kalau begitu kita harus mencarinya! Dia kunci yang bisa membuka peluang bersatunya..." Ondina memegang bahuku. Dia menggeleng takzim. "Kenapa?"

"Kita sudah independen, Verdandi. Lagi pula bukan waktunya memikirkan masalah yang sudah berlalu. Ada masalah baru yang tak jauh kalah ribet. Kedatangan Blackfuror di Barat, mengganggu ketenangan Fairyda."

"Ah, benar, Blackfuror. Aku ingin tahu—"

Terdengar suara terompet yang nyaring.

"Semua murid yang kekuatannya belum bangkit dan belum bisa dikendalikan, tolong berkumpul di aula! Blackfuror menyerang!"




Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top