47* Sacrifice in Question
Bagaimana cara kami mengalahkan Amaras?
Aku tidak tahu lagi. Kami sangat tersudut. Kahina berhasil dikurung, Kala entah di mana. Peri-peri Fairyda dibuat kewalahan oleh Alia. Belum lagi setengah dari kami kekuatannya disegel Rinvi. Benar-benar keadaan terburuk.
Apakah ini akhir Fairyda? Apakah kami benar-benar tak bisa menyadarkan Amaras? Kalau mereka menang dan mengamuk di ibukota, bagaimana nasib Fairyda nantinya?
"Masih ada satu cara," celetuk seseorang datar. Kami menoleh. Ternyata Akun dan Gee.
"Apa itu?" Parnox menatapnya tajam.
Akun memandangi Gelembung Gnosia yang menyalurkan energi ke sayap Amaras. Pupil matanya menyala berubah jadi warna orange. "Kita harus menghancurkan benda itu."
Aku tidak terlalu tahu sifat Akun, namun kuharap di situasi serius begini dia tidak sedang bergurau. Maksudku, menghancurkan Gelembung Gnosia? Bagaimana caranya? Melawan Adair dan prajuritnya saja sudah membuat kami babak belur. Itu ide gila.
Lagian ya gelembung keparat itu melayang tepat di belakang Amaras. Menyerang Gnosia sama saja cari mati karena menantang Amaras untuk berduel. Sekali Amaras mengeluarkan sangkar Tingkat 4, maka tamatlah sudah.
"Bisa kau jelaskan?" ucap Gee mewakili raut wajah kami yang diyakini bingung. Kecuali Parnox tentunya. Si arogan itu tidak ingin menunjukkan ekspresi heran yang konyol.
Akun mengangguk. "Sayap Malaikat Amaras sudah memasok 10.000 sayap peri. Jumlahnya tidak bisa diganggu. Tidak kurang, tidak lebih. Tapi bagaimana jika kita menambah kapasitas beban sayapnya? Menjadi 10.001 helai sayap. Menurut kalian apa yang akan terjadi pada botol penuh namun terus-menerus diisi air?"
Ini adalah materi pelajaran IPA anak SD. Aku umur 7 tahun langsung tahu jawabannya. Seperti ponsel yang masih dimainkan saat charger. Suhu ponsel akan memanas dan...
"Meledak," gumam Sina menahan napas.
Parnox berpikir cepat. Dia tidak lelet untuk memahami penjelasan Akun. Perang ini bisa mereka menangkan jika Gelembung Gnosia rusak dan hancur. Artinya, harus ada peri yang berkorban menyumbangkan sayapnya.
"Ketua, gunakan sayapku saja," usul Tanny. "Lagi pula setelah Gelembung Gnosia hancur, sayap dan kekuatan yang dicuri akan kembali ke pemilik masing-masing. Maka dari itu pakai sayapku untuk mengakhiri semua ini."
"Tidak usah, sayapku saja." Cleon menyela. "Sudah jadi tugas laki-laki untuk berkorban."
Dan begitulah. Kami bersawala memutuskan siapa yang akan mengorbankan sayap lantas mengecil sementara sampai perang berakhir.
"Diamlah!" bentak Parnox mengusap wajah. "Ini bukan waktunya berdebat. Aku yang akan menyerahkan sayapku. Toh, aku tidak begitu suka dengan sayapku. Ini keputusan final."
"Tapi Parnox..." Sebille ingin menyela, namun batal melihat mimik Parnox yang tegas. Dia sudah membuat ketetapan mutlak. Tidak ada yang bisa mengubah keputusan Parnox.
Sampai Akun melanjutkan dengan kejam, "Anda harus tahu dampaknya, Ketua Parnox. Anda tak bisa langsung mengorbankan sayap anda begitu saja ke Gelembung Gnosia. Penjelasan teori saya masih belum selesai."
"Kenapa? Apa ada efek samping?"
"Karena ini sayap determinan, bisa jadi sayap anda ikut hancur bersama ledakan energi yang dikeluarkan Buih Gnosia. Tangan kita harus berdarah untuk memecahkan kaca."
Semua orang terdiam, termasuk Parnox.
*
Meski Parnox membenci sayapnya yang menggelikan, membenci identitasnya yang seorang peri, tetap saja dia itu sosok spesial di Fairyda. Peri yang bisa tumbuh. Tak seperti yang lain, langsung dewasa begitu dilahirkan oleh Soul Hole. Parnox kasus yang berbeda. Sampai sekarang, tidak ada jawaban soal itu.
Syarat kemenangan terlalu kejam. Tidak akan ada yang mau mengorbankan sayap dan menjadi manusia kecil selamanya. Apalagi mereka itu peri. Mana ada peri yang sanggup bertahan hidup tanpa sayap mereka? Ini lebih parah daripada dikurung bertahun-tahun.
Tidak ada yang membuka mulut setelah Akun menyebutkan harga mahal yang harus dibayar untuk memenangkan perang ini. Mereka kembali ke pos jaga masing-masing, lanjut bertempur dengan pikiran bercampur aduk.
Aku yakin, mereka sama sekali tidak fokus bertarung. Aku yakin, pikiran mereka hanya satu saat ini: siapa yang mau berkorban.
Bahkan saat sayap masih ada namun tak dapat terbang sudah membuat Fairyda frustrasi. Bagaimana mungkin menambahnya dengan kehilangan sayap permanen. Sekali lagi, mereka peri. Bangsa peri. Keturunan peri.
Tapi, ada satu peri yang bukan peri asli.
"Berhentilah bersikap keras kepala, Fairyda's! Serahkan Swift Growers pada kami maka urusan kita selesai! Takkan ada perang lagi!"
"Menyerahkan Verdandi sama saja membuat kami kehilangan tanah kekuasaan. Jangan menyerah semuanya! Kita bisa mengalahkan mereka!" Master Wodah menyemangati.
Wilayah Fairyda sangat kecil dan sempit. Jika Amaras benar-benar balas dendam pada ibukota, petinggi Klan Peri akan merebut atau lebih-lebih membumihanguskan Fairyda karena menyangka Blackfuror bagian kami.
Seperti kata teman-temanku, ibukota lebih keras daripada yang terlihat. Mereka takkan menerima penjelasan atau sangkalan. Segera melenyapkan Fairyda dengan dinginnya.
Tak apa, karena yang kita butuhkan tinggal sedikit lagi. Semuanya akan baik-baik saja.
Amaras menyeringai melihatku melangkah ke tengah lapangan seorang diri. Menatapnya tajam seolah ingin menantang. Singgasana bulat tempat dia duduk melayang mendekati. Kami terpisah sekitar lima belas meter.
"Dandi? Apa yang kau lakukan? Menjauh dari sana! Kembali ke sini!" Sina berseru panik.
"Verdandi! Jangan nekat!"
Begitu pun peri-peri yang lain. Mereka tidak sadar tahu-tahu aku sudah berada di barisan depan, mengepalkan tangan. Arti tatapan mereka adalah: Amaras kan mengincarku. Kenapa aku justru menghampiri Bos Besar?
Aku tak bisa menahan diri lagi. Hatiku sakit melihat Fairyda terluka dan berjatuhan. Aku bertekad akan mengalahkan Amaras. Aku takkan lari. Persetan dengan kedua kakiku yang tremor ketakutan. Persetan dengan alam sekitar yang menyuruhku untuk mundur.
"Apa yang membuatmu berani menatapku dengan sorot mata seperti itu?" Suara merdu Amaras entah kenapa terdengar mengerikan.
Aku melirik Rinvi yang sekarat, melirik teman-temanku yang masih berjuang melawan Blackfuror. Tidak ada pilihan lain. Aku harus menyelesaikan ini. Demi semuanya.
Percakapanku dengan Mini saat kabur ke dunia asalku terlintas tanpa permisi di benak.
"Mereka takkan bisa mengambil kekuatanmu, Verdandi. Karena kemampuan itu bukan lah dariku. Swift Growers adalah sebuah karunia dari calon pemimpin Klan Peri itu sendiri."
Aku tersenyum miring. Benar juga. Aku kan bukan warga Asfalis. Aku manusia bumi. Aku bisa menggunakan fakta ini sebagai kartu as.
Lagian aku cukup senang terbang bersama sayap-sayapku. Mungkin sudah waktunya untuk berpisah dengan mereka. Walau hanya sebentar, aku bersyukur telah menjadi peri.
"Allright, Amaras." Aku berkata pelan. Kulihat kedua alisnya bertaut. Dia tidak mengerti bahasa apa yang kugunakan. "Kau ingin Swift Growers, kan? Kau mau kekuatanku, kan? Kekuatan itu menyatu dengan sempurna di sayapku. Jika kau mau mengambilnya..."
Aku membentangkan tangan. "Ambillah!"
Baik Fairyda ataupun Blackfuror, sama-sama melotot tak percaya. Aku berani bertaruh, isi pikiran mereka pastilah ini: aku sudah gila.
Tapi aku tidak gila, jelas. Karena aku sudah melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Gelembung Gnosia yang retak saat mencoba menyerap kekuatan Swift Growers dariku.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top