4* Blessing Statue
Aku mendengarkan penjelasan Sina dengan saksama. Dia kebalikan Kala yang malas memberiku jawaban lengkap. Bikin sebal iya.
Lembah Koilos adalah lingkungan untuk kumpulan peri pemula yang belum meraih kekuatannya. Bukannya para guru bermaksud mendiskriminasi, namun jika semua peri disatukan di akademi, Patung Kekuatan tak lain tak bukan Blessing Statue, akan kesulitan saat memberikan bakat pada kami.
Nah, saat aku mau bertanya apa itu Blessing Statue, kami sudah tiba di 'kuncup tulip' dimana bunga inilah rumah baruku. Di mana aku tahu? Kata Sina, setelah Madam Shayla mendaftarkan data peri ke Pohon Neraida, maka otomatis aku telah menjadi peri tulen.
Huft! Hari ini menyenangkan dan melelahkan. Baru terdampar ke dunia peri aku sudah harus belajar terbang dan tinggal di bunga tulip yang harum. Ah, beruntungnya aku.
Dan ini akan lebih menyenangkan jika aku bisa mendapatkan kekuatanku dengan cepat.
Aku menampar kedua pipi, menggeleng. "Tak boleh tamak, Verdandi. Ingat nasehat Mama: dalam keadaan suka atau duka, selalu lah bersikap rendah hati..." Detik berikutnya, aku pun membulatkan mata. "Mama! Papa!"
ASTAGA! Ini benar-benar keliru! Aku lupa tentang Mama dan Papa karena terbawa alur dengan identitas dan kehidupan baruku.
A-apa tidak ada cara untuk pulang ke Bumi? Begitu Mama tahu aku tidak pulang, beliau pasti akan menghubungi polisi atau juru orang hilang sebab aku lenyap tanpa bekas. Astaga, membayangkannya sudah membuatku geli. Mama akan kerepotan. Ini sangat kapiran.
Di tengah kerisauanku, suatu benda melewati Lembah Koilos, membuat tiap rumah bunga gelap sekilas—hari memang sudah gelap, namun lembah itu terang oleh lentera—saking besarnya ukuran badan benda tersebut.
"Lihat! Lihat!"
Peri-peri keluar dari rumah, berseru. Kenapa gegap gempita di luar sana? Ada festival? Telingaku yang mendengar kehebohan itu mau tak mau ikut keluar. Memeriksa.
Aku terperangah syok menyaksikan katedral raksasa mengambang dua ratus kaki dari daratan. You must be joking! Bisa berkurang umurku lama-lama berada di dunia bernama Asfalis ini. Bagaimana mungkin bangunan seperti itu bisa melawan gravitasi? Kayak UFO!
"Itu adalah Sabaism, Dandi, istana kediaman Sang Dewa." Sina terbang santai ke rumahku, mendarat santai di sisiku, memeluk kedua kaki. "Mau dilihat berapa kali pun, Katedral Sabaism akan selalu tampak mengesankan. Aura keilahiannya amat pekat sampai ke sini."
"Sang Dewa?" Aku sontak menatapnya.
"Tuhan di dunia ini lah." Sina menatapku heran. "Yang menemukanmu siapa sih? Masa kau tidak diberi tahu seluk-beluk Asfalis?"
"Laki-laki bernama Kala," jawabku malas.
"Ah, dia rupanya. Seorang peri Senior yang tidak mau terbang. Dia sangat terkenal dengan kemalasannya untuk terbang dan..."
"Dan?" Aku menunggu. Mungkinkah—
"Dan wajahnya yang tampan," lanjut Sina, menyengir. "Warna rambutnya mencolok."
Sudah kuduga. Menyesal aku menunggu. Sina memberiku jawaban yang kurang memuaskan. Oke, kuakui Kala cukup... Dih! Kenapa pula aku mengomentari wajah orang lain? Terlebih Kala, laki-laki dingin yang menjengkelkan itu.
"Apa itu peri Senior?" Aku tertarik dengan ini.
"Madam Allura tak sempat memberitahumu? Akademi memiliki lima kelas, Verdandi. Kelas Newbie, Kelas Medium, Kelas Senior, Kelas Supreme, dan terakhir Kelas Adept untuk peri veteran serta memiliki banyak pengalaman."
Kala berada di tingkat tiga? Dia hebat dong??
"Lupakan itu." Sina merangkul pundakku, kembali mendongak ke langit malam. Sayapnya berkepak refleks. "Lebih baik kita nikmati malam ini dengan melihat Sabaism."
"Oke. Siapa Sang Dewa yang kau—"
"Husss!" Sina menutup bibirku. Telunjuknya geleng-geleng pelan. "Tidak, tidak. Aku bukan orang yang tepat untuk menjelaskannya karena aku benci sejarah. Kau harus menanyakan kejadian-kejadian penting pada spesialisnya."
"Siapa memang orangnya?"
"Madam Tethys. Dia wanita yang keras lho. Beliau takkan memberitahumu cuma-cuma."
Lantas kenapa kau merekomendasikan dia?
Lebih baik aku membujuk Kala bercerita daripada harus berurusan dengan guru killer. Jantungku yang tidak selamat nanti.
*
Agendaku hari ini yaitu meminta keterangan ke Kala mengenai Sabaism dan Dewa Asfalis. Aku tidak mau jadi murid bodoh yang tidak tahu apa pun. Demi pengetahuan, aku rela harus bertemu dengan si muka datar Kala.
Aku mau-mau saja bertanya pada peri lain, namun mereka serempak menjawab: yang menemukanmu kan Kala, tanyakan saja padanya. Dia penanggung jawabmu. Tapi, laki-laki satu itu tak kunjung tampak dari tadi!
Apa aku harus mencarinya di kelas Senior? Masalahnya, aku tidak tahu di mana itu. Aku juga tak mau diamuk fans Kala, dicap sksd.
"Verdandi!" Terdengar suara Sina. Dia menghampiriku dengan cepat. Sayap gadis ini terkadang membuatku berdecak kagum... Tidak. Kurasa semua sayap peri di akademi selalu membuatku terpukau dan terkesima. Satu peri, satu motif, satu corak. Bravo!
"Kenapa? Pelan-pelan dong terbangnya."
"Kita harus cepat ke aula! Blessing Statue berdetak! Itu adalah tanda ia akan menabur benih kekuatan ke peri-peri pemula."
"Oh, ya?!" Energi semangat Sina mengalir kepadaku. Yang kunanti-nantikan semalam langsung dikabulkan pagi ini. Lucky me!
Sebelum aku mengikuti Sina, telingaku mendengar obrolan samar di lorong, antara dua peri berjubah sama dengan Kala. Apa mereka berdua dari kelas Senior? Eh, kenapa raut wajah mereka terlihat khawatir begitu?
"Ada yang kehilangan kekuatannya lagi? Blackfuror sialan. Mereka semakin agresif. Sayap, bagaimana dengan sayapnya?"
"Kurasa kau harus memeriksanya sendiri."
Huh? Aku bergumam bingung.
"Verdandi! Tunggu apa lagi kau? Cepat ke sini! Kita tidak boleh sampai ketinggalan!"
"Ah, iya." Kakiku tidak lagi menginjak lantai. Sayapku membawaku terbang ke udara. Terbang sepertinya akan membuatku candu.
*
Aula utama akademi berada di jantung bangunan. Sebuah patung tinggi tanpa wajah berdiri di tengah-tengah auditorium, dipahat seelegan mungkin. Sepasang sayap burung, rambut panjang mencapai mata kaki, lalu kedua tangan terjulur memegang bulan sabit.
Woah... Apakah ini visualisasi Sang Dewa? Tapi, aku memicing, kenapa wajahnya tak ada? Apa Sang Dewa tidak memiliki paras?
Satu peri wanita dengan sayap berwarna, terbang anggun ke depan Patung Kekuatan, menghadap ke kami. "Wahai anak-anakku..."
"Psst, siapa dia?" Aku berbisik.
"Wakil Pemimpin Akademi, Siofra. Kudengar kepala sekolah sedang bepergian," balas Sina tanpa mengalihkan pandangan dari beliau.
Aku ber-oh pelan. Kembali fokus.
"Meski kita hanya kumpulan peri terpencil yang tidak ada harganya di mata para peri Feehada, Tuhan Asfalis sangat menyayangi kita. Dia mengirim pecahan dinding Sabaism untuk berlindung dari <Penghancuran>. Jadi, janganlah kalian bersedih jika tidak dilahirkan sebagai Peri Ibukota Feehada. Bangga lah menjadi bagian dari Subklan Fairyda."
Semua orang berseru, kecuali otakku yang sudah dikeroyok macam-macam pertanyaan. Banyak yang ingin kutanyakan. Hah, apa itu <Penghancuran>? Apa itu Subklan Fairyda?
Uh! Aku sangat ingin bertanya, namun harus kutahan merujuk tempatnya tak memadai.
"Kalau begitu, mari kita tak berbasa-basi lagi. Kita lihat siapa peri beruntung yang dipilih Blessing Statue hari ini." Beliau pun geser ke sebelah patung Sang Dewa. Batu bulan sabit di tangannya bercahaya seperti detakan.
Lalu tiba-tiba... seorang peri berseru.
"A-aku mengendalikan cahaya?" cicitnya tak percaya, meraba-raba aula yang disinari matahari. "Aku mengendalikan cahaya!"
Tidak hanya dia. Satu per satu peri yang berbaris di aula mulai ribut demi merasakan sesuatu dalam diri mereka bergejolak.
"Bagi peri yang kekuatannya telah bangkit, kalian berhak tinggal di asrama akademi dan masuk ke kelas Medium untuk mulai melatih kekuatan baru kalian. Selengkapnya akan dijelaskan oleh Master Olavo. Sekian."
Aku celingak-celinguk memperhatikan teman-teman sesama pemula yang bising, beralih menatap telapak tangan. Dingin dan hampa. Aku tidak merasakan apa pun.
Mungkinkah hari ini bukan giliranku?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top