31* You're My Savior
AUTHOR PoV
<Anda tak perlu mengkhawatirkan saya lagi, Guru Kala. Aku bisa menjaga diri di sini.>
Bagaimana? Kala menutup novel 'Lady Joy' buatan muridnya. Dia mengepalkan tangan. Kenapa bisa Ash justru nyaman di sana? Kalau Ash menolak minta diselamatkan, apalagi yang bisa Kala lakukan? Kembali ke akademi?
Mungkin lebih baik Kala berpura-pura sibuk. Mungkin lebih baik Kala berpura-pura masih memiliki hasrat untuk membantu Ash. Tapi ternyata, kehidupannya lebih hampa daripada yang diduga. Ini sangat menjemukan.
Dia kira Ash akhirnya bisa memberinya tujuan hidup, tapi berakhir seperti ini. Haruskah Kala mati saja? Tak ada yang bisa dia lakukan lagi.
"Ini buku terakhir, Kala-La." Rinvi meletakkan lima tumpuk buku ke meja. "Kau sudah membaca semua buku tentang Klan Peri. Kenapa tidak pergi ke ibukota saja? Mungkin di sana kau menemukan sesuatu yang bagus."
"Panggil Kala saja." Cowok itu mengambil buku-buku yang Rinvi susun. "Apa gunanya? Klan Peri adalah perjalanan terakhirku."
"Tunggu, apa maksudmu?"
"Aku akan istirahat. Hibernasi Penyihir."
"Sungguh?" Rinvi menelan ludah. Dia sudah membaca tentang 'Hibernasi Penyihir'. Seorang penyihir merapal mantra terlarang untuk dirinya sendiri agar tertidur selama 1000 tahun. Yang paling lama 2000 tahun.
Ada banyak kegunaan Hibernasi Penyihir. Mereka yang terluka parah dan memilih tertidur untuk pulih, mereka yang tidak mau mati dan menunda kematian dengan tertidur, mereka yang ingin tumbuh kuat dan tertidur.
"Tapi katanya kau mencari seseorang. Masa kau sudah menyerah saja?" Rinvi tak paham.
"Aku hanya... lelah tidak punya sesuatu yang bisa kulakukan. Orang itu takkan mati. Aku akan mencarinya setelah bangun dari tidur."
Sebelum Kala keluar dari sana, Rinvi tiba-tiba menceletuk, "Jika ada sosok yang bisa memberimu 'melakukan sesuatu', apa kau akan mengurungkan niatmu untuk tertidur?" Sangat disayangkan penyihir sehebatnya tidur sia-sia. Asfalis bukan dunia yang sempit.
"Maka dia adalah penyelamatku."
+
Malam hari, aku masuk ke kamarku yang sangat kurindukan. Perbaikan akademi sudah selesai berkat kerja sama antar peri. Kini kami tak perlu tinggal di Kubah Pelindung lagi.
"Hai, tetangga!" Sina menyapa.
Aku menyengir. "Melusina, wahai sahabat pertamaku! Apa yang membuatmu kemari? Mau lihat kamarku? Tak ada perubahan kok."
"Tanpa diberitahu pun aku tahu kok kalau kau ini tipe gadis yang suka rebahan santai." Menusuk relung hati sih, tapi itulah kenyataannya.
"Jadi, ada apa?" Aku bersedekap.
"Aku tidak melihat Rissa dan Sebille dari tadi. Apa kau tahu di mana mereka? Aku mau ajak mereka keliling sama Ondina. Linda sama Alia sibuk membantu peri divisi penyembuhan."
Pasti mau lihat sang doi: Rinvi dan Mamoru.
"Coba cari di Aula Putih." Aku ingat Sebille dan Houri ingin sekali menukar kekuatannya. Mini bilang dia sedang mencobanya. Aku berharap mereka berdua tak terlalu sedih.
"Kau mau ikut?" ajaknya.
Aku menggeleng. "Ada yang mau kubaca."
Buku Legenda Sayap Malaikat di gubuk Kahina. Aku tidak jadi-jadi membaca buku tua ini. Bagian depannya berwarna ungu dengan sampul empat sayap angsa yang terkepak.
Begitu halaman pertama terbuka, dahiku terlipat. Wajahku memanyun. Nani?! Aku tidak mengerti tulisannya sama sekali! Alfabet macam apa ini? Seperti aksara. Rune. Tegak bersambung pas aku SD pun tak separah ini.
Apa mungkin sudah saatnya aku bertemu Madam Tethys? Hiy! Emoh ah. Sebaiknya jangan masuk jangkauan guru-guru killer.
Mungkin Kala punya sihir atau ramuan yang bisa membuatku mengerti arti tulisan-tulisan ceker ayam yang bikin sakit mata ini.
Ah, benar. Kami sudah baikan.
Tapi... Aku teringat tentang tongkat sihirnya yang patah. Sinyi mengingatkan Kala jangan menyihir dulu sebelum mana-nya benar-benar membaik seutuhnya. Jika dia keras kepala, maka Sinyi akan mencari pemilik baru.
Apa ada yang bisa kubantu untuknya, ya? Aku melirik pohon kecil di pot dan lonceng tangkai yang kubeli saat di bumi seminggu lalu. Sebuah lampu keluar dari kepalaku saat memperhatikan ranting-ranting pohon yang berlika-liku. Aha, aku punya ide bagus.
Mari kita gunakan skill menggambar-ku.
*
Aku pergi ke taman sekolah untuk mencari seseorang yang tahu di mana Kala saat ini. Ada tim Cleon di sana, sibuk bekerja.
"Rusalka, ada bebatuan yang lumayan besar di sini. Kurangi beratnya," kata Cleon. Dia capek membersihkan sisa-sisa reruntuhan di taman belakang akademi. "Aku sudah lelah."
Tanny menatapnya khawatir. "Kau baik-baik saja? Tadi juga sudah kusuruh pelan-pelan. Kau terlalu memforsir diri, Cleon."
"Karena batu keras, Tanny. Kepribadianku juga harus mengikuti kekuatanku biar sinkron. Setimpal istilahnya," jawab Cleon ringan.
Rusalka menatap Cleon masam. Seolah hanya dia yang lelah. Dari tadi Rusalka juga konstan memakai kekuatan. Pasti Cleon mencari-cari muka di depan Tanny. Cuih, tidak adil. Lelaki itu bersungut-sungut melakukan bagiannya.
"Mau aku bantu, Salka?" tawar Muse.
"Muse?" Sejak kapan dia di sampingnya? Gadis itu patut dicurigai hantu. Tapi tentu saja Rusalka tak bisa menolak ajuan bantuan. Dia tersenyum lebar. "Dengan senang hati."
Duh, mereka terlihat fokus. Aku tidak enak menginterupsi, tapi aku akan langsung pergi setelah bertanya. "Ada yang lihat Kala? Aku ada perlu dengannya."
"Dia lagi sama Parnox di kelas Adept." Cleon dan Tanny menjawab serempak. Gerakan mereka seiras memindahkan batu demi batu.
"Terima kasih! Semangat kerjanya."
*
Aku ingin mengumpati keantusiasmeku.
Semua orang di kelas Adept kompak menoleh padaku yang mati kutu, menelan ludah. Sial! Levelku saat ini mentok di Senior. Apa yang dilakukan adik kelas di kelas tertinggi coba.
"P-permisi," gumamku, keluar perlahan.
Bruk! Tanpa peringatan, sosok Kala muncul dengan cara terjatuh ke depanku. Ini adalah momen paling ganjil sejak aku mengenal Kala. Maksudku, dia itu sempurna dalam artian jarang membuat kesalahan. Penyihir Perfek. Bagaimana mungkin dia tiba-tiba pindah dan tersungkur di hadapanku? Apa dia mabuk?
"Brengsek," umpatnya menatap Parnox yang melambai-lambaikan tangan di bangkunya.
"Terima kasih kembali." Parnox menyeringai.
Oh, aku paham apa yang terjadi. Sepertinya barusan Parnox menggunakan kekuatan teleportasinya pada Kala yang tidak siap. Aku baru tahu Parnox nan Agung punya sifat iseng.
"Kau baik-baik saja?" tanyaku bersimpati. Kala betulan jatuh lho barusan. Punggungnya pasti sakit. Aku membantu cowok itu berdiri.
"Suatu hari nanti aku akan membunuhnya." Kala menerima uluran tanganku, berdiri sembari mengirim tatapan intimidasi pada Parnox yang cengar-cengir tak berdosa.
"Aku dukung," kataku mengacungkan jempol. Paling tidak mantrai si Parnox sombong itu. Aku masih tidak percaya Sebille menyukainya.
"Kenapa kau kemari?" tanya Kala.
"Oh, benar! Ayo ikut aku."
Lumrahnya Kala lah yang selalu menuntunku, namun kali ini aku yang memimpin. Aku membawanya ke tempat favoritku (dan Kala). Alang-alang wangi, titik aku jatuh ke Asfalis. Aku tidak pernah bosan mengatakannya.
"Ada apa, Dandi?" tanya Kala lagi.
"Kudengar, tidak-tidak, maksudku... Kau kini tidak punya tongkat untuk melakukan sihir, kan? Benda itu patah dan rusak saat kau berusaha menyembuhkanku dari kombinasi ramuan Kahina dan Voodoo Doll alias Vidi."
Bocor di mana-mana. Kala berdecak.
Kring! Demi mendengar suara itu, Kala sontak menarikku ke balik punggungnya, waspada menatap langit dan sekitar. "Blackfuror."
Pfft! Aku habis-habisan menahan tawa. Tidak boleh begitu, Dandi. Mentang-mentang kau dari dunia modern, jangan pongah begitu. Tapi reaksi Kala benar-benar bikin gemas.
"Kenapa kau tertawa?" Kala memicing.
"Tidak ada musuh, Kala. Tidak ada Blackfuror. Suara barusan berasal dariku." Akhirnya aku menyodorkan sebuah tongkat kayu 158 meter yang telah kumodifikasi sedemikian rupa. "Aku membuatkan tongkat baru untukmu. Oleh-oleh dari bumi. Di duniaku, ini disebut candy cane atau tongkat penggembala. Aku sangat tidak kreatif, tapi karena kau cowok, tak mungkin kukasih pita atau bunga sebagai hiasan. Kebetulan aku membeli suatu benda."
Aku memasukkan lonceng emas yang kubeli (diberikan secara gratis) ke dalam gelang besi, kemudian menggantungkan gelang itu di leher lengkung kepala tongkat sebagai 'mainan'. Yang tersisa adalah sumbu tongkatnya. Tapi kuserahkan itu pada Kala sang penyihir.
Kala menerima tongkat tersebut. Tatapannya terkunci ke lonceng mengkilap. Benda itulah yang mengeluarkan suara kerincing barusan.
"Tiap kau menyihir, suara gemerincing akan menemanimu. Itu barang bumi, oke? Kau harus berhati-hati." Aku bersedekap bangga.
Kala memandang lekat tongkat kayu tersebut-aku buat dari kayu yang sangat kuat (lignum vitae). Dia tersenyum tipis. Sangat tipis sampai aku tak yakin itu sebuah senyuman.
"Boleh kucoba?" Kala menatapku.
"Tentu saja. Sekalian aku ingin tahu, apakah penyihir bisa menyihir dari tongkat biasa."
"Mana bisa instan begitu, Dandi... Kau harus memberinya Kristal Scientia dulu." Usai berkata begitu, rambutnya bersinar. Eh, apa ini? Kesiur angin mengelilingi tongkat Kala. Seperti mengisi daya ponsel, dari angin, tercipta bola kristal berwarna sama dengan rambut Kala. "Ini baru tongkat sihir."
"Tapi kau yakin akan baik-baik saja? Sinyi bilang kau belum boleh ngapain-ngapain lho."
"Boleh asal ada mediator."
Aku tidak tahu mantra jenis apa itu, namun kristal putih kecil seperti serpihan snowflakes meledak di seluruh wilayah Fairyda. Aku bisa mendengar seruan heboh dari akademi, melompat riang sambil menampung tangan.
"Ini indah sekali, Kala!" Aku tersenyum.
Kala memandangiku yang membentangkan tangan, membiarkan kristal-kristal mungil itu menjamah pori-pori. "Iya, indah," gumamnya.
"Nah, sekarang!" Aku mengeluarkan buku Legenda Sayap Malaikat-tenang, bagian belakangnya saja. Aku tak sebodoh itu memperlihatkan judul buku pada Kala. "Tolong pasangkan mantra atau sihir yang bisa menerjemahkan kata-kata di buku ini."
Kala menatap datar buku itu. "Apa isi-"
"I-ini buku dari duniaku, bumi! Tak sengaja kebawa olehku. Tapi tiba-tiba, entah kenapa tulisannya berubah jadi huruf-huruf Asfalis. Aku tak bisa membacanya. Makanya Kala..."
"Baiklah." Kala melafalkan sederet mantra. Buku di tanganku bersinar redup. "Sudah-"
"Terima kasih, Kala! Aku pergi dulu!"
*
Aku mengunci kamar. Karena ini kelihatannya penting, aku harus cari tahu lebih dulu sebelum memberitahu Mini dan yang lain.
Ada banyak pertanyaan di kepalaku. Kenapa buku ini ada di bengkel sihir Kahina dalam keadaan terbuka. Apalah Kahina sedang mempelajari buku Legenda Sayap Malaikat? Dia disuruh Adair atau petinggi Blackfuror?
Aku mulai membaca sambil duduk di kursi.
Dikatakan di paragraf awal, bahwa hanya Orang-orang Penting atau Yang Terpilih saja nan mampu menginjakkan kaki ke Sabaism, katedral terbang kediaman Sang Dewa.
Selain tempat tinggal Sang Dewa, Sabaism adalah sumber kehidupan Asfalis. Keenam bangsa di daratan Asfalis berada di pantauan utama Sabaism. Tercatat secara valid. Tidak hanya itu, Ia juga mendengar suara rakyat. Bahasa umumnya Sabaism merupakan perantara warga dengan Tuhan mereka.
Sayap malaikat mampu membawa seseorang mencapai Sabaism. Itu karena Sang Dewa dan Sabaism sendiri, mempunyai sayap putih seperti salju khas malaikat. Kita bisa naik ke Rumah Dewa dan mendapatkan berkat suci.
Tak ada entitas yang memiliki sayap malaikat yang berat kecuali Sang Dewa dan Sabaism. Sekali lagi, tidak ada. Jadi, bagaimana cara orang-orang biasa pergi ke Istana Sabaism?
Jangan sedih karena masih ada cara. Yaitu, menciptakan Sayap Malaikat versi kita.
Aku langsung bangkit dari kursi. Buku itu terjatuh dari genggamanku. Mataku membulat tak percaya, menatap horor buku di lantai yang kebetulan dalam posisi ke atas.
Langkah-langkah membuat Sayap Malaikat.
M-mungkinkah tujuan Blackfuror adalah untuk naik ke atas Sabaism? Apa-apaan?!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top