3* Academy for Fairies
"Kala, bisakah kau mengantarnya ke kelas Newbie? Aku harus menyerahkan data diri Verdandi ke Pohon Neraida. Sudah lama kita tidak kedatangan junior. Kau tahu aturannya."
Aku lagi? Setidaknya demikian arti ekspresi Kala yang mudah dibaca, bahkan olehku yang dikenal tidak peka ini. Dia tidak mau berlama-lama dengan seorang cerewet.
Aku tidak terlalu mempedulikan keengganan Kala karena sibuk memperhatikan langit, tersenyum. Bukankah ini menyenangkan? Baru beberapa jam lalu aku berdecak kesal dengan kelakuan teman-teman sekelasku, sekarang kehidupan baru menyambutku.
"Kau yang menemukannya, jadi kau yang bertanggung jawab." Madam Shayla berkata tegas, tidak menerima komplain.
Beliau pun beranjak terbang, pergi. Aku baru sadar bahwa sayapnya berbeda dengan sayap peri-peri di sekitar akademi. Memiliki warna.
"Ikuti aku," kata Kala menyudahi kegiatanku yang terkesima memandangi akademi.
"Hei, Kala! Apa aku benar-benar sudah bisa terbang? Aku dapat merasakan sayapku sudah sinkron denganku. Terhubung dengan semua syaraf-syaraf di tubuhku," celotehku, menyusul langkahnya. Cowok ini tinggi juga.
"Kalau kau merasa hebat, ya sudah, coba terbang sana. Aku tak mau tahu jika terjadi kecelakaan atau gagal dalam pendaratan."
Cuih. Sarkas sekali laki-laki ini.
Aku mengabaikan kejengkelanku. "Lupakan. Madam Shayla mau ke mana? Apa itu Pohon Neraida? Dia menyuruhmu mengantarku ke kelas Newbie? Apa itu kelas untuk belajar? Eh, tentu saja buat belajar. Dasar aku retorik."
"Neraida adalah Pohon Peri buatan. Inti dari pohon itu lah yang membuat peri-peri bisa terbang. Kau tidak berpikir bagaimana cara mereka terbang?" Kala masih bersedia menjelaskan, walau singkat dan pendek.
"Mereka terbang memakai debu pixie, kan?" Aku teringat Tinkerbell, animasi favoritku.
Kala menatapku datar. "Tidak juga."
"Lantas apa jawabannya? Lalu, Pohon Peri buatan? Pohon aslinya di mana dong?"
Kami berdua melewati lorong yang panjang. Sesekali peri yang terbang di atas kami menyapa Kala, dan tersenyum simpul padaku. Wah! Ramah betul peri-peri itu. Tapi tunggu...
"Astaga, ada Kala. Hai, Kala!"
"Kyaa! Dia tampan seperti biasa! Tapi, siapa gadis di sebelahnya? Peri pemula kah?"
Aku tertawa sinis dalam hati. Oh, jadi si muka datar ini famous? Oh, oh, aku pernah baca situasi seperti ini di novel romansa picisan. Cowok dingin populer yang dikenal satu SMA. Lalu muncul anak baru dan dimusuhi fansnya.
Takkan kubiarkan diriku jadi korban novel!
"Akademi diberi Pohon Neraida saja sudah harus disyukuri, meski cuman buatan. Duplikat. Yang mana kekuatannya jauh lebih lemah dibanding pohon peri asli," ucap Kala. Aku kembali memusatkan perhatian ke dia.
"Ya makanya, pohon aslinya di mana?" Aku bertanya gemas. Dari tadi aku bertanya, Kala justru menjawab secara random. Kalau malas memberiku jawaban bilang dong. Jangan PHP.
"Di ibukota klan peri, Kota Feehada." Orang lain yang menjawab, berdiri di belakangku.
Aku tersentak kaget, menoleh.
Kala menghela napas lega. "Madam Allura, kebetulan sekali anda di sini. Dia peri baru."
Kenapa dia mendesah lega seperti itu? Apa dia semuak itu bersamaku? Aku juga tak mau lama-lama denganmu kok, orang famous!
"Oh, ya? Sudah lama sekali. Kau peri yang punya semangat tinggi. Terima kasih telah mengantarnya ke sini, Kala. Kau bisa kembali ke asramamu." Beliau mengangguk padanya.
"Kembali, Madam."
Kala pun berlalu dari hadapan kami. Ah, aku belum sempat bilang terima kasih padanya. Kapan-kapan deh. Kentara dia kesal meladeni mulut beoku ini. Aku tidak bisa menahan diri sih.
"Dasar, anak itu selalu suka berjalan kaki. Aku tidak mengerti kenapa dia sebegitunya enggan untuk terbang," gumam Madam Allura mengembuskan napas panjang.
Aku menatap punggung Kala yang sudah jauh. Dia tidak mau terbang? Padahal peri?
"Jadi, siapa namamu, anak baru?"
"Aku Verdandi... Hm?" Aku menatap sayap beliau, mengerjap. "Wow, sayap anda tidak berwarna seperti Madam Shayla. Aku kira semua guru memiliki sayap yang berbeda sebagai pembeda identitas di sekolah."
Beliau tertawa renyah, menuntunku. "Bukan begitu konsepnya, Verdandi. Sayap Shayla memiliki warna karena dia mengecatnya, merawatnya di ibukota. Hanya hitungan jari peri-peri yang memiliki sayap berwarna. Shayla pun sebenarnya beruntung diundang oleh seseorang dari ibukota di dahulu hari."
"Kenapa begitu, Madam?" Kami mengobrol sambil berjalan ke kelas Newbie.
"Seperti yang Kala katakan padamu, pohon Neraida buatan memiliki batas untuk membuat seluruh peri di akademi terbang. Jika kalian terbang terlalu jauh dari <Zona yang Telah Ditentukan>, maka kalian akan jatuh. Ini penting sekali untuk diingat, Dandi."
"Apa ini ada sangkutannya dengan pohon peri asli di Kota Feehada?" Aku menyebut kosakata baru yang beliau sebutkan tadi.
"Hahaha! Aku suka antusiasmemu, Dandi. Tapi sekarang kau harus masuk kelas."
Kami sampai di kelas Newbie. Masih di depan pintu, aku sudah bisa mendengar suara gaduh di dalamnya. Aih, kok berisik sekali?
"Biasanya peri lahir setiap saat, setiap angin mengembus ladang dandelion. Soul Hole tidak semata-mata melahirkan peri di sini, Dandi. Ia juga terbuka di Ibukota Feehada. Karena suatu insiden besar, kebun dandelion hangus terbakar hingga akademi kekurangan murid dan dalam tahap pemulihan. Para Newbie jadi malas belajar dengan serius. Terbang ngebut, asal-asalan. Sering terjadi tabrakan antar peri karena tak tahu kapan harus berhenti."
Beliau membuka pintu kelas. Murid-murid di dalam ruangan sontak diam, memusatkan perhatian padaku yang mengekori langkah Madam Allura seperti anak ayam. Mereka saling berbisik-bisik sambil menatapku.
"Hari ini kita kedatangan teman baru."
Mereka memandangiku tertarik.
"H-halo, namaku Verdandi. Senang bertemu dengan kalian," kataku kagok. Ini perkenalan paling tidak biasa yang pernah kulakukan.
Berbagai macam sapaan yang kudapatkan. Mereka bilang hai dan halo bergantian kepadaku. Apakah peri cenderung ramah? Kurasa aku akan nyaman di kelas ini.
"Kau bisa duduk sekarang, Dandi. Pelajaran pertamamu di kelasku, cara terbang yang benar dan cara pendaratan yang mulus."
*
Haah, pegal banget. Aku tidak tahu sayap memberi dampak lelah ke dalam tubuh seolah aku habis menggendong galon air berjam-jam.
Kelas berakhir begitu cahaya senja menyinari ruangan. Rasanya ganjil senja datang lagi padahal aku sudah melihat senja beberapa jam lalu. Dunia lain dan bumi punya waktu yang berbeda atau dunia bernama Asfalis ini punya tata surya pribadi. Atau bukan planet.
Berhentilah cerewet di dalam kalbu, Dandi!
Aku dan 'teman-teman' sekelasku keluar dengan suara lenguh, menggeliat letih. Empat kata untuk Madam Allura: luarnya lembut, dalamnya killer. Beliau 'menyiksa' sayap kami dan ketat dalam pelajaran terbang.
Ah, aku mau cepat-cepat berbaring. Sayap dan punggungku mati rasa karena latihan terbang dari tadi. Meski belum terlalu tinggi, aku pelan-pelan sudah bisa mengambang.
"Kau mau ke mana, Verdandi? Di sana bukan asrama kita. Apa kau tidak lihat garisnya?" Seseorang berseru, mencegat langkahku sebelum melewati garis merah di lantai. Apa ini asrama untuk cowok? Fiuh! Hampir saja.
"Aku tidak melihatnya. Terima kasih."
"Tidak masalah. Kau pasti kelelahan. Akan kutunjukkan di mana kamarmu. Eh, kita belum berkenalan. Namaku Melusina, kau bisa memanggilku Sina. Salam kenal."
"Ah, salam kenal juga, Sina." Rambutnya panjang. Apa dia tidak gerah membiarkan rambut lebat seperti itu tergerai?
Kukira Melusina akan membawaku ke salah satu ruangan di akademi, nyatanya tidak. Dia menuntunku ke luar bangunan akademi.
"E-eh, kita mau ke mana? Kita terlewat."
"Asrama di akademi diperuntukkan bagi peri yang bakatnya sudah bangkit. Untuk peri seperti kita tinggal di Lembah Koilos."
"Jadi benar peri memiliki kekuatan—"
"Ssstt! Kita sudah sampai. Jangan berisik."
Melusina terbang, menatapku yang masih diam letoy di tanah. "Ayo cepat, Verdandi."
"Aku tidak bisa terbang, Sina. Aku capek." Sekarang rasa letihku sudah pindah ke kaki.
"Oh, benar juga. Aku lupa. Kalau begitu..." Melusina berputar, melakukan gerakan menyambut seperti seorang pemandu kawakan. "Selamat datang di Lembah Koilos!"
Aku merangkak lemas ke tebing, terkesima dengan pemandangan unreal di bawahnya. Seketika rasa lelahku menguap begitu saja.
Sebuah kanyon luas yang indah, asri, disiram cahaya sunset membuat tempat itu terlihat memesona. Aku tidak punya kata-kata untuk menjabarkan kecantikan tempat ini. Banyak peri saling bertegur sapa. Di antaranya keluar dari kuncup bunga raksasa nan segar yang mereka modifikasi layak ditinggali. Astaga.
Aku akan tinggal di sini? Ini keren sekali!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top