24* Decision From The Trial
Wakil Siofra dan Parnox yang memimpin sidang. Tugas guru-guru lain adalah mengutarakan konklusi, saran, dan pemasukan. Ya ampun. Ini benar-benar mirip dengan sidang hukum.
"Kalian berdua, bertekuk lutut."
Kala dan Rinvi mau tak mau harus mengikuti perintah Parnox. Lagi pula status mereka di sana adalah penyusup dari negara asing. Syukur diberi kesempatan untuk memberi penjelasan dari tindakan infiltrasi mereka.
"Baiklah, kita mulai dari Rinviri. Ceritakan semua masalahmu tanpa kebohongan. Kau tahu apa yang terjadi jika tidak jujur. Bangsa Druid menjunjung tinggi kejujuran, bukan?" Sepertinya Parnox ada dendam pada Rinvi.
"Panggil aku Rinvi saja, Ketua."
Aku dan Sina menyimak sidang dengan serius. Begitupun Linda serta Gee—kedua peri itu duduk di banjar depan. Sekarang akan terungkap alasan mengapa mereka di sini.
Rinvi mengembuskan napas berat. "Pendeta Hutan telah menerapkan aturan konyol. Dia memberi mantra anti-kebohongan ke seluruh Bangsa Druid. Barangsiapa yang berbohong, maka mereka akan menghilang alias mati."
DEG! Semua penonton sidang membulatkan mata, termasuk Wakil Siofra dan para guru, juga Parnox. Mereka menutup mulut kaget.
Aku meneguk kasar air ludah, berkeringat dingin. Apa-apaan? Mati karena berbohong? Rinvi tinggal di negara menyeramkan itu? Bukankah katanya Klan Druid adalah bangsa yang mencintai kehidupan? Kenapa bisa...?
"Peraturan itu benar-benar tidak masuk akal. Semua keluargaku tewas karena tak sengaja berbohong dalam skala kecil. Aku tidak tahan lagi dan memilih meninggalkan Klan Druid. Ketika berkelana tak tahu arah, aku diserang oleh monster liar. Saat itulah aku bertemu Kala. Dia menolongku dari kejaran monster."
"Astaga..." Madam Shayla menyeka wajah.
Aku melihat Linda terisak pelan. Peri tidak memiliki orangtua. Mereka tidak tahu definisi keluarga. Tapi mendengar penjelasan Rinvi, mereka langsung tahu bahwa itu... sangat menyakitkan. Dan lebih menyakitkan karena Rinvi menceritakannya dengan tenang.
Rinvi kehilangan orangtuanya begitu saja hanya karena mereka sedikit berbohong. Aku tidak bisa membayangkan betapa sakitnya hati Rinvi dengan fakta mengenaskan itu.
"Baiklah, sudah cukup, Rinvi. Giliranmu Kala." Parnox bersikap tegas. Tatapannya pindah ke Kala yang memejamkan mata dari tadi.
Aku menatap lurus ke Kala. Aku ingin tahu...
"Kurang lebih sama ceritanya."
"Kala, kau pikir untuk apa sidang ini dibuat? Bersikap sportif lah jika kau ingin menetap bersama kami." Parnox bersedekap, tidak puas dengan jawaban Kala yang pendek.
"Aku hanya ..." Dari kejauhan aku bisa merasakan kalau Kala sangat tidak nyaman. Cowok itu mengalihkan pandangan dari Parnox. "Aku tidak mau menceritakannya—"
"Dia ingin menyelamatkan seseorang."
Kala tersentak tidak percaya, menoleh ke sapunya alias Sinyi yang mengubah diri. Barusan dia mengkhianati pemiliknya sendiri?
"Wahai Ketua Parnox, kau sudah dengar kata Kahina kan kalau Kala memiliki murid. Namanya Ascal, Kala memanggilnya Ash. Bocah itu manusia biasa yang maniak sihir. Karena berutang budi, Kala pun sukarela mengajari hal yang sangat Ash sukai. Ash itu warga biasa, tak punya banyak uang untuk mendaftar ke akademi sihir. Makanya dia sangat senang Kala mau menjadi gurunya."
"Sinyi, tutup mulutmu."
Peduli amat. Toh, Kala sering mengabaikan perintahnya. Sinyi pun mengeluarkan buku novel khas kerajaan bertajuk 'Lady Joy' yang pernah kulihat di bengkel sihirnya. "Ash suka menulis. Dia menyukai buku. Benda ini, dia lah yang mengarangnya di waktu luang."
Seperkian detik, ekspresi Sinyi berubah sedih. "Setiap penyihir harus memiliki spesialisasi, termasuk Ash sekali pun. Tapi bocah itu punya kemampuan langka yang tidak pernah ada."
Kami menahan napas. Menunggu lanjutan.
"Ash adalah penyihir dongeng, dimana dia bisa menjadikan nyata dari apa yang dia tulis. Tapi karena dia tak bisa mengendalikannya..." Sinyi mengangkat novel Lady Joy tersebut. "Dirinya justru terjebak di dunia buatannya sendiri sampai sekarang. Anak yang malang."
Semua orang di sana diam, mematung ngeri. Bahkan aku sudah mandi keringat. A-apa itu? Dia masuk ke dalam novel karangannya? Seperti di manhwa-manhwa? Menyeramkan...
"Makanya Kala memutuskan koneksi dari akademi dan memulai perjalanannya demi mengeluarkan Ash dari novel laknat ini."
Parnox menatap Kala yang datar-datar saja. Laki-laki itu pandai sekali memasang muka tembok. Merasa tugasnya menginterogasi para penyusup sudah selesai, Parnox pun berlalu pergi dari platform dengan pikiran kusut.
Wakil Siofra segera mengambil alih. "Kala sudah berjasa besar kepada kaum kita, begitu juga dengan Rinvi. Tanpa adanya mereka berdua, kita takkan bertahan dan Swift Growers akan ditangkap oleh Blackfuror."
Semua orang menoleh kepadaku yang menunduk malu. Ahhh, jangan lihat aku!!
"Ternyata kau sudah pulang, Dandi." Madam Allura tersenyum padaku. "Aku senang kau baik-baik saja dan terlihat sehat."
Aku malu-malu membalas senyuman beliau.
"Mereka sudah melepas identitas klan, bertarung bersama kita, melindungi kita. Bukankah tidak adil jika kita memulangkan Rinvi dan Kala ke negara yang menyesakkan hati mereka? Aku tidak bisa menerimanya. Dua orang ini sudah membuktikan bahwa keberadaan mereka di sini tidak berbahaya bagi kaum peri sama sekali." Pertama kalinya kulihat wajah Wakil Siofra seserius itu. Beliau mengangkat tangan. "Aku tolak pemulangan Rinviri dan Kala-La. Mereka berhak di sini."
"Yeah." Master Wodah mengangkat tangan. "Lagi pula kita diuntungkan ada Kala."
Master Syochi tersenyum kecil—beliau baru datang ke sidang, juga mengangkat tangan. "Tanpa Rinvi, divisi kesehatan kekurangan tenaga. Aku menolak pemulangan mereka."
Semua guru perlahan mengangkat tangan.
Linda langsung mengangkat kedua lengan, padahal satu saja cukup. Gee juga. Peri-peri yang menonton sidang satu suara: menolak pengembalian Kala dan Rinvi ke klan asal.
Cleon awalnya berdecak kesal, sebelum tangannya ikut berdiri. Lalu, Parnox menghela napas, ogah-ogahan angkat tangan. Terakhir, Sina dan aku sama-sama melempar senyum. Kami serempak mengangkat tangan. Mana mungkin kami biarkan mereka pulang setelah kontribusi yang mereka berikan ke Fairyda.
Duh. Dari sekian banyaknya orang di sini, Kala justru menatap ke arahku. Aku melambaikan tangan, tersenyum canggung. "H-hai."
Kala mendengus, membuang muka.
Huh? Tanda jengkel muncul di keningku. Susah payah kubuang gengsiku! Beraninya dia bersikap tak sopan begitu?! Suatu hari nanti aku akan meninjunya. Lihat saja kau, Kala!
"Opps, sepertinya aku duduk di tempat yang salah!" celetuk orang di sebelahku. Houri rupanya. "Kukira Rissa duduk di baris empat, ternyata dia di baris kedua. Permisi, Dandi."
Hah?! Kalau begitu Kala barusan...?
Sina tersenyum puas. "Nah, aku bilang juga apa. Kala sepertinya menyukaimu."
*
"Bagaimana hasil sidangnya? Astaga! Niatnya aku pergi mengambil selimut karena malam ini dingin, tetapi aku malah ketiduran!" Sebille menyerbu kami dengan pertanyaan.
"Tidak apa, Sebille. Mereka tak dipulangkan."
"Oh, iya?! Bukankah itu kabar bagus untukmu, Dandi? Kala tidak diusir kembali ke klannya. Kau beruntung dia masih di sini."
Uhuk! Aku yang sedang minum, tersedak. Memukul-mukul dada. Kulayangkan tatapan ketus pada Sebille yang sudah berlindung di balik Sina. Dia pasti sengaja melakukannya!
"Setengah peri Fairyda tahu kalau Kala memperlakukanmu berbeda dari yang lain, Dandi. Kau harusnya bersyukur," ledek Rissa.
"Guys, berhenti menggodaku."
Mereka tertawa geli. "Baiklah, baiklah. Harusnya kalian fokus ke Sina tuh. Mungkin hanya dia yang belum suka siapa pun." Bagus, bagus. Target godaan berpindah ke Sina.
"Aduh, aku tidak tertarik dengan romansa." Sina menggaruk rambutnya—dia tidak berniat memotongnya. Panjang rambut hitam Sina sudah melebihi punggung. Dia makin manis.
"Eh, memangnya Rissa sudah menyukai seseorang?" Aku tertarik dalam satu detik.
"Bukankah tadi kau melihatnya sendiri, Ver? Houri mencari Rissa. Aku berani bertaruh, telah terjadi sesuatu di antara mereka. Pasca perang Houri sangat panik Rissa tidak ditemukan padahal Sina mengurungnya di tempat aman. Poinnya adalah reaksi Houri yang berlebihan. Bukan begitu, kawan?"
"Betul tuh betul." Mereka pindah target lagi ke Rissa. Muka gadis itu menghangat. "Ciah! Wajahnya merah! Malu dan senang pasti."
"Apa sih kalian. Berhenti dong."
Aku tersenyum senang, namun seperkian detik senyumku berubah jadi senyuman miris. Kami mirip gadis remaja normal yang sedang bergosip membicarakan Sang Crush. Tapi sayangnya, hanya aku manusia normal di sini.
*
"Mini? Mini! Kau di mana, Mini?"
Ada banyak tenda-tenda darurat berbentuk setengah oval berdiri di sekelilingku. Satu tenda dihuni tiga peri, ada juga yang empat. Bagaimana cara menemukan Mini di khayalak pengungsian? Bodohnya aku lupa sesaat tentang Mini. Pikiranku seketika terbelah begitu berjumpa teman-teman.
Beban pikiranku bertambah dengan cerita tentang Ash. Aku bersimpati pada Kala, tidak menduga ada cerita di balik novel Lady Joy.
"Verdandi."
Ya gusti! Aku hampir mengalami sport jantung saat namaku dipanggil Madam Veela. Beliau bersama Master Wodah menghampiriku. Matilah! Aku tak mau berhenti mengumpat dalam hati. Mini di mana sih woi?! Aku harus bilang apa jika mereka tahu Blessing Status artefak berharga Fairyda, menghilang?
Persetanlah! Aku menundukkan kepala sedalam mungkin, menyembunyikan kedua telapak tangan yang basah karena kegugupan setengah mati.
"Kau baik-baik saja kan, Nak?"
"B-baik, Madam Veela, Master Wodah."
Mereka tersenyum. "Syukurlah. Kami sangat panik saat Adair melakukan sesuatu padamu dengan Gelembung Gnosia-nya. Benda itulah yang menyedot kekuatan dan sayap peri. Kau beruntung gelembung itu tak berkutik."
Itu karena Swift Growers bukan pemberian Mini, tetapi calon pemimpin Klan Peri!
"Kala berkata kau pergi membawa Blessing Statue—itu ide yang bagus. Kami tak tahu Adair memanfaatkan seorang penyihir dan dua peri berkekuatan merepotkan berpihak ke Blackfuror. Jujur saja, jika Kala tidak mengirimmu dan Blessing Statue pergi, sudah jelas Subklan Fairyda kalah telak."
"Di mana patung itu, Nak?"
Bagus sekali. Aku harus jawab apa sekarang? Menghilangkannya? Mini pergi karena aku tak memperhatikan? Mungkin di sekitar sini? Tidak ada jawaban yang menguntungkan! Mini kampret! Seharusnya dia tetap bersamaku.
"Wah! Lihat ke sana!" Seseorang berseru.
Patung Sang Dewa dengan tangan terjulur memegang bulan sabit sudah berdiri di depan Pohon Neraida yang terbakar. Ukurannya besar. Kami seperti melihat raksasa batu.
Diam-diam aku menghela napas lega. Syukurlah Mini inisiatif menjadi patung lagi. Aku selamat.
"Ah, Kala, kebetulan sekali kau datang."
Aku terperanjat, tak berani menoleh. A-ada Kala di belakangku? Mak oi! Wajahku memerah tanpa sebab mengingat godaan Sina dan yang lain. Berhenti berpikir yang tidak-tidak, Dandi! Kala yang itu tak mungkin.
Kemudian... Aku menahan jantungku supaya tetap diam di tempat. Kan tidak lucu jantungku terlepas dan copot terjatuh karena Kala masih berwujud shota. Kapan dia kembali ke mode remaja sih? Ini ujian berat untuk shotacon sepertiku.
"Hari ini udaranya sangat dingin. Banyak peri yang mulai flu. Bisakah kau mengatasinya?"
"Itulah rencana saya kemari."
Suaranya bahkan jadi anak-anak! Dan kenapa aku baru menotisnya sekarang?! Rasanya jantungku betulan akan copot, tapi aku berusaha mengunci rapat-rapat mulut dan mataku.
"Maaf merepotkanmu, Kala." Madam Veela tidak enak. Apa bedanya mereka dengan Adair? Sama-sama memanfaatkan penyihir.
"Tidak apa, Madam Veela, Master Wodah."
Mereka berdua pun berlalu.
Glek! Aku menelan ludah, baru ngeh aku ditinggal bersama Kala berduaan. Harusnya aku mencari alasan sebelum Madam Veela dan Master Wodah pergi! Aku harus bagaimana untuk memutus keheningan yang dingin?!
"Tidak terbiasa dengan anak-anak?"
Apa? Aku menatap Kala—separuh kaget tidak mengira lelaki dingin itu yang memulai obrolan. Sebagai jawaban, aku menggeleng. "Tidak kok, tidak. Kalau menuruti kata hati, aku ingin mengelus rambutmu sekarang juga. Sepertinya itu terlihat sangat halus—"
ASTAGA! Aku menutup mulut, merutuki diri dalam hati. Apa yang baru saja kukatakan?! Apa aku mau belok dari profesi peri menjadi seorang pedofil? Lagi pula itu Kala, hei! Yang hanya lagi mengecil. Dasar mulut comberan.
"Kau ini kenapa?" Kala bingung akan lawan bicaranya yang tidak mau memandanginya.
"M-menyelamatkan jantungku," gumamku payah.
"Kau sakit? Mau aku sembuhkan—"
"TIDAK! Aku baik-baik saja..." Tidak sengaja aku menatap Kala demi menyanggah kalimatnya. Aku seketika bersimpuh, menautkan kedua tangan. "Di mana pun Dewa Asfalis berada sekarang, terima kasih sudah menciptakan mahakarya sebaik ini." Jiwa shotacon-ku meronta-ronta.
Kala yakin wajahnya dipenuhi tanda tanya. "Ngomong-ngomong bagaimana kabarmu?" Dia berbaik hati mengganti topik pembicaraan.
"Aku sehat. Berkatmu... Terima kasih, Kala. Etto, kau sendiri bagaimana?" Maksudku kondisi mentalmu. Aman tidak? lanjutku dalam hati.
"Jika kau mengusut pembicaraan tadi, lebih baik kau urungkan saja. Aku tidak niat menceritakannya." Sudah kuduga, dia sensitif.
Kala dingin-dingin tapi penyayang. Ah, aku ingin sekali mengelus rambutnya sebelum dia jadi besar lagi dan kembali menyebalkan!
Atensiku direnggut oleh sebuah tongkat aneh yang mengitari Kala. Batangnya terbuat dari kayu, bagian kepala berbentuk bulan sabit dengan empat duri runcing di atasnya, di tengah 'bulan sabit'-nya terdapat bola kristal bintang segi delapan berwarna merah, lalu sebuah bundaran perak melingkar dengan jarak 2 milimeter di bagian pegangan.
"Kenapa? Tidak pernah melihat tongkat sihir sebelumnya?" sindir Kala blakblakan.
Aku berhenti melongo, nyaris kelepasan menumbuhkan daun jelatang yang bisa bikin gatal-gatal. "Kau kan biasanya menyihir tanpa tongkat! Kemampuanmu berkurang?" hardikku balik, tidak terima ditatap dengan sorot mata seolah aku anak kecil 5 tahun.
Sinyi meloloskan diri dari jubah Kala, bersungut-sungut. "Untuk sementara waktu bocah ini akan kesulitan menyihir tanpa tongkat. Benar-benar deh. Kau memakai segenap mana untuk memulangkan Dandi lalu sisanya membangun kubah pelindung ini."
"Biasa saja," tukas Kala datar.
"Hei, Kala, kenapa kau... Err, baik sekali padaku?" tanyaku memberanikan diri. Ini mungkin terkesan aku terlalu percaya diri, namun aku benar-benar penasaran.
Kala berdiri membuatku mau tak mau tengadah. "Jangan geer," katanya dengan dinginnya.
Aku harus bilang pada Sina kalau dia salah.
"SIAPA YANG KAU BILANG GEER, HAH?! Kau mencari ribut denganku? Ayo sini turun!" seruku, menggelembung kesal. Harusnya aku tak termakan godaan teman-teman. Kan jadi malu sendiri. Di manakah letak muka.
Tanpa sepengetahuanku, Kala mengulas senyuman tipis. "Aku hanya ingin melakukannya."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top