16* Descent of Forest Ranger
"Kenapa?" Kala menatapku bingung. Pasalnya aku tertawa padahal tidak ada yang lucu.
"Tidak, tidak ada. Aku merasa aku habis kena plot twist oleh novel Sherlock Holmes. Astaga, ini benar-benar suatu kekeliruan. Kenapa aku tak sadar sih? Andai aku punya jiwa detektif."
Kala mengernyit. "Detektif itu apa?"
Aku mengulum senyum. Astaga, wajah bingungnya membuatku hampir tertawa lagi. Jarang-jarang lho melihat Kala penasaran. Tentu Kala tidak tahu apa pun. Sejenak aku merasa senang lebih tinggi sedikit darinya.
"Itu semacam profesi, Kala. Sepertiku peri, sepertimu penyihir. Tugas detektif adalah mencari kebenaran dari teka-teki misteri atau menemukan pelaku pembunuhan. Selain itu, detektif juga menangani kasus kejahatan."
Kala mengerjap. "Pembunuhan? Bumi tidak seaman yang kukira rupanya," gumamnya. Jangan bilang dia pikir bumi dunia yang indah.
"Orang jahat akan selalu ada di mana pun kau berada, Kal. Pembicaraan ini mengingatkanku pada idolaku. Watson Dan, detektif remaja ganteng yang genius." Mataku bling-bling (diri ini lemah terhadap makhluk tampan).
"Aku lebih genius," kata Kala menghentikan kegiatan fangirling-ku, berdecak datar.
Aigoo, lihat dia. Kepintaran kalian tuh beda jalur tahu. Watson Dan idolaku hebat dalam pengetahuan, sementara Kala apa? Sihir?
"Aku? Bagaimana denganku?"
Huh? Apanya? Kalau yang dia maksud konteks kepribadian, jelas Watson Dan lebih baik. Meski dingin, laki-laki itu masih bisa berekspresi manusia normal. Kala sih tidak tertolong. Kalau yang dia maksud konteks ketampanan, Hmmm... Aku memandangi Kala. Memonten.
Tiba-tiba saja pelataran di belakang Kala berubah shining shimmering splendid. Akh! Silaunya! "Iya, iya! Kau juga tampan kok!"
Kala tidak menjawab. Bersedekap tangan. Dasar labil! Rupanya nih anak masih ada sifat bocahnya. Aku menegakkan sayapku.
Dia memegang lenganku. "Mau ke mana?"
Aku tersenyum setan. "Ke perpustakaan."
*
"Hei, apa kau mau main tebak-tebakan? Ada seorang peri pustaka, bersikap palinggg rongseng sedunia pada Klan Penyihir, namun justru dia yang palinggg dekat dengan sang penyihir tersebut. Fufufu, siapakah dia?"
"Anu..." Rinvi tersenyum simpul, menggaruk tengkuk. "A-aku tahu kau marah, Verdandi... Jadi jangan sindir-menyindir begitu... Mari kita bicarakan masalah ini dengan baik-baik."
Aku tersenyum lebar. "Iya, ya." Tanganku menumbuhkan pentungan kaktus. "Mari kita selesaikan dengan cara santai dan isekai."
"Sungguh, Dandi, aku tak berniat menipumu. Kukira kau belum tahu siapa Kala dan Kala juga belum memberiku konfirmasi apa pun. Aku bersikap tegas untuk melindunginya."
"Perkataanmu bisa bikin salah paham lho."
Haaa, aku tidak menyangka ada orang lain yang memegang rahasia Kala. Yah, bukan berarti aku berharap hanya aku satu-satunya yang tahu. Itu hak Kala mau mempercayai siapa.
Dia memberitahuku bahwa Rinvi juga bukan peri tulen. Dia salah satu warga Klan Druid, bangsa penjaga hutan. Ketika berkelana dengan sapu terbangnya, Kala menemukan Rinvi diserang oleh kawanan monster. Dia menyelamatkannya dan saat itulah mereka berteman, menyusup bareng ke Fairyda.
"Jadi, nama asli Kala adalah Kala-La dan kau Rinviri? Apakah setiap region memiliki ciri khas dalam perihal nama?" Sepertinya Rinvi tidak tahu aku bukan penduduk dari dunia ini.
"Aku sedikit beruntung mewariskan gen keturunan, yaitu kemampuan menyembuhkan dan menyegel. Kekuatan yang menjadi simbol di Klan Druid," ujar Rinvi tersenyum simpul.
Aha! Jadi itu kartu as yang Rinvi gunakan pada Parnox saat duel 1V1 di perpustakaan tempo lalu dan menang. Rinvi bukan Double Power, tapi menyegel memang kemampuan aslinya.
"Banyak sekali penyusup di Fairyda," kataku keceplosan, tak bercermin, tak sadar diri. Setidaknya mereka warga setempat, bukan sepertiku, pendatang asing dari planet Bumi.
Rinvi cengengesan canggung menanggapi cetusanku, menghela napas. "Kami punya alasan, Verdandi. Untuk bertahan hidup."
Aduh, gestur wajahnya berubah. Dasar mulut comberan ini! Aku berdeham mengusir suasana yang awkward. "K-kalau begitu, sayap di punggungmu itu apa? Sapu kayak punya Kala? Eh, apa bangsa Druid bisa terbang?"
"Tidak, kami tidak. Sayap ini Kala yang memberikannya. Dia yang membuatnya."
"Dia bisa membuat sayap?! B-bagaimana?"
Rinvi tertawa sejenak, berdiri hendak melanjutkan tugas menyusun buku-buku. "Verdandi, tampaknya kau belum diberitahu oleh Kala, ya? Mungkin lebih baik dia saja yang kasih tahu, dia penyihir spesialis apa."
Brak!! Pintu perpustakaan terbuka. Aku dan Rinvi tersentak, mengira yang datang adalah Parnox, tetapi rupanya Gee. Dia masuk tergesa-gesa, terbang menghampiri kami.
"Ada apa, Gee?" tanyaku prihatin. Maksudku, siapa yang tidak khawatir dengan seseorang berwajah pucat pasi mendatangimu.
"Blackfuror menyerang! Ada satu peri dari kelas Supreme yang terkena serangan telak. Master Syochi meminta Kak Rinvi agar datang ke Kamar Kesehatan sekarang juga. Kak Mamoru dan Kak Magara sedang absen."
"Siapa korbannya?" Aku bertanya sambil berhitung cemas dalam hati. Semoga bukan—
"Itu... Kak Linda..." Gee berkata pelan.
*
Aku dan Rinvi terbang secepat mungkin ke Divisi Kesehatan. Setibanya, aku langsung memeluk Sina yang terisak menangis, menatap Linda yang meringis di ranjang, sontak menutup mulut. Berbinar-binar sedih.
Keadaan Linda benar-benar parah. Kedua kulit tangan dan kakinya melepuh. Siapa... Sebenarnya siapa yang Linda lawan?
"K-kami berdua sedang mengawasi hewan-hewan sekolah... Lalu Blackfuror muncul tanpa peringatan, ingin mencuri kekuatanku. Linda pun melawan... Awalnya pertarungan itu berat sebelah oleh Linda, sebelum peri berkekuatan api datang..."
Api? Aku beralih menatap Master Syochi, penanggung jawab Divisi Kesehatan. Kulihat rahang beliau mengeras. Apakah kekuatan orang itu benar-benar hebat sampai mampu mengimbangi Linda yang luar biasa?
"Blaze Wearer, ya?" Rahang Rinvi mengeras, menggulung lengan seragamnya. "Kupikir dia menghilang ke mana, ternyata berpihak pada Blackfuror, huh? Dasar pengkhianat."
Jeda dua detik sebelum kedua telapak tangan Rinvi bercahaya hijau. Dia memejamkan mata, konsentrasi menyembuhkan Linda.
"Siapa peri berkemampuan api itu, Master Syochi?" ucapku memberanikan diri bertanya.
Lancang sekali dia menyakiti Linda. Meski first impression kami jelek, Linda adalah gadis manis yang sebenarnya lembut. Dan tega banget dia membakar kulit Linda? Sialan!
"Namanya adalah Flamex. Dia merupakan eks murid akademi, dia pernah menjadi bagian dari kita dulu. Tapi, merasa tidak puas dengan kekuatan yang diberikan Blessing Statue, Flamex mengamuk lantas menghilang entah ke mana. Setelah berbulan-bulan ternyata dia bergabung dengan pasukan Blackfuror."
Apa?! Hanya karena tidak puas?! Tanganku terkepal kuat, tak bisa menerima fakta.
"Kalian semua jangan pernah terlibat dengan Flamex. Dia peri yang sangat mahir memakai kekuatannya, terutama kau, Verdandi. Api adalah musuh alami tanaman. Jangan sampai bertarung dengan Flamex. Jika bertemu dengannya—rambut merahnya sangat mudah dikenali—segera menjauh, kirim sinyal darurat. Jangan nekat melawan pria itu."
"Baik, Master Syochi," kataku lesu. Tanganku yang terkepal perlahan mengendur.
Kalau balas dendam hanya akan membuatku menjadi beban, maka kutunda dulu rasa amarah yang bergejolak di dadaku ini.
*
Kulit Linda yang terbakar sudah pulih. Wajah tidurnya pun mulai terlihat damai, tidak lagi menegang menahan ringisan. Rinvi kerja keras menyembuhkannya sampai malam tiba.
Sina tertidur di sebelahku. Dia kelelahan karena menangis berkepanjangan, merasa bersalah gagal membantu partnernya.
"Aku selesai," kata Rinvi tersengal. Peluh keringat membasahi pakaiannya. Matanya tampak lesu. "Sebentar lagi... dia siuman..." Tubuhnya oleng hendak jatuh. Aku cekatan menumbuhkan daun untuk menahan Rinvi.
"Kau baik-baik saja—" Huh? Mataku melotot mendapati lengan Rinvi dipenuhi urat ungu yang entah kenapa membuatku mual. "A-apa ini? Kau tidak apa-apa kan, Rinvi?!"
"Aku terlalu banyak memakai kekuatan..." ucapnya lemah, kemudian pingsan.
Rinvi! Aku akan berseru panik kalau Kala tidak datang menyuruhku diam. Ada banyak pasien di kamar ini, bukan Linda seorang. Teriakanku bisa membangunkan mereka.
"Dia akan baikan setelah tidur."
Kala membantu Rinvi yang ngos-ngosan, membaringkannya ke atas ranjang, menatap urat-urat ungu di lengan cowok itu. Dia menoleh ke sekitar. Memastikan tak ada yang terjaga kecuali aku. Kala melafalkan mantra.
"Remedium." Kala memulihkan stamina Rinvi yang tandas mengobati Linda sebelum akhirnya menoleh kepadaku. "Kau tak apa?"
Bagaimana aku baik-baik saja melihat salah satu temanku diserang dan terluka parah? Melihat temanku menangis putus asa?
"Linda... Linda diserang Blaze Wearer. Tangan dan kakinya terbakar... Aku... tak bisa diam saja temanku terluka begini." Mataku berair, namun kutahan tangisku agar tidak mengganggu pasien-pasien di sekitarku.
"Kau tak bisa melawannya."
Aku tahu, aku tahu itu. Bahkan tanpa Master Syochi beritahu, aku takkan bisa menghadapi Flamex. Api sangat mudah menghanguskan pepohonan hijau nan asri di gunung. Berita itu sering kudengar saat masih di bumi.
Hmm... Kala memandangi Linda yang terlelap, beralih menatap Rinvi yang kehabisan energi, lalu menoleh ke Sina yang matanya sembab karena menangis sedari tadi, terakhir menatapku yang habis-habisan menahan air mata supaya tidak tumpah membanjiri pipi.
"Tapi aku bisa melawannya," kata Kala menyudahi sihirnya ke Rinvi. Bibir pucatnya kembali memerah. Rinvi sudah mendingan.
Aku berhenti sesegukan dalam diam, memperhatikan Kala yang serius. "Kala...? Tidak, tidak, tidak. Jangan nekat. Kau tidak perlu ikut-ikutan membahayakan diri."
"Bagaimanapun, aku juga bagian Fairyda."
"Master Syochi bilang dia sosok yang hebat. Peri sekelas Linda saja bisa dia kalahkan. Aku tahu kau penyihir berbakat, namun, aku tetap khawatir kau kenapa-kenapa nanti."
Ini Kala benar-benar serius ingin bertarung satu lawan satu dengan Flamex? Tak bisa. Aku takut. Kakiku sudah gemetaran mendengar Linda terluka. Bagaimana kalau Kala juga...?
Grep! Aku memegang jubah Kala yang ingin keluar dari Divisi Kesehatan. "Jangan."
Kala memberiku tatapan datar. "Aku ...." Kalimat berikutnya membuat genggamanku melemah dan terlepas. Pipiku bersemu merah. Kala tersenyum miring, pergi begitu saja.
Aku masih termangu. Bisikan Kala terngiang di kepalaku seperti kaset tua yang rusak.
"...., paling tak suka melihatmu menangis."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top