13* War Rehearsal (II)
"Hah?! Kau dapat lawan Fasty?! Astaga! Dia peri yang terbangnya cepat bagai komet! Dia sudah sangat sering bertempur melawan Blackfuror. Kekuatannya itu berbahaya tahu, tak ada yang bisa mengikuti laju terbangnya. Uh, Dandi, kau benar-benar tidak beruntung."
Aku meremukkan kertas itu menjadi bola. Tanda jengkel tercetak di kening, leher, sekujur wajahku. Aku benar-benar jelek soal keberuntungan. Meminta lawan mudah, malah dikasih lawan sulit! Teganya kau, Sang Dewa! Aku berdoa sungguh-sungguh padahal!
Sina mendapat giliran pertama. Aku tidak begitu memperhatikan karena pikiranku berkecamuk memikirkan strategi bagaimana cara aku menghadapi Fasty nanti. Aku mendapat nomor urut antrian 13. Masih jauh.
Sina tidak hanya bisa membuat penjara gelembung. Kekuatannya tumbuh hebat, membentuk berbagai macam bangun datar dalam jumlah banyak hingga lawannya kesusahan terbang sambil menghindar, dan selamat! Sina menang! Dia hanya butuh waktu dua menit untuk mengurung lawannya.
Sial! Bikin iri saja! Dia memodifikasi kekuatannya menjadi teknik yang kreatif.
Dan saat tiba giliran Rissa...
"Aku menyerah," kata Rissa, mengangkat tangan, pada detik ketiga pertarungannya melawan Houri dimulai... Tunggu, apa?! Lawan Rissa adalah Houri? Cowok itu kelas Adept?! Apakah aku melupakan informasi satu ini?
Keluar dari panggung arena, aku dan Sina segera mengintrogasi Rissa. Apa dia sengaja kalah dari orang yang dia taksir? Atau Houri memang terlalu kuat untuk jadi lawannya?
"Apa-apaan itu barusan, Ris? Kau mengalah pada Houri?" Sina duluan yang bertanya.
Rissa menggeleng, tersenyum. Wajahnya pucat. "Houri bikin ngeri tahu. Aku baru mendekatinya semeter, bakatnya langsung aktif. Aku merasa ketakutan seolah aku akan mati kalau aku meneruskan pertarungan."
Sehebat itukah kemampuan Houri?
"Selanjutnya, Linda melawan Alia!"
Kami berhenti mengobrol. Seruan Master Wodah dari benda berbentuk toa di bumi sukses membuat para penonton menahan napas. Sina pun ikut memperhatikan dengan kedua mata terbuka lebar. Sina takkan melewatkan kesempatan melihat aksi Linda.
"Ini akan jadi ronde yang seru!" kata Rissa menarik tanganku. Kami menonton di ruang tunggu—karena Sina berhasil menang, dia terbang menuju kursinya di luar sana.
Pertarungan dimulai. Linda membuat tombak yang sama saat menyerangku. Benda itu melenting ke arah Alia, namun dibelokkan ke tanah begitu hanya lewat lambaian tangan.
Para penonton berseru riuh. Apa-apaan?!
Aku menelan ludah. "K-kekuatan mereka apa?" tanyaku menyaksikan dengan tegang.
"Yang satu Infinite Weapons. Linda bisa membuat senjata apa pun tanpa batas. Satu lagi, Alia, Controller. Kau tahu telekinesis, kan? Itulah kemampuan Alia. Makanya tadi Sina bilang ini akan jadi ronde menegangkan!"
Belasan tombak memenuhi permukaan arena. Alia memutar mata malas. "Kau tidak bosan menyerangku dengan senjata lemah seperti itu? Aku sudah berekspetasi tinggi padamu. Kalau tidak begini saja. Aku akan mengalah dan membiarkanmu menyerangku supaya aku terluka kemudian disembuhkan oleh Rinvi."
Urat-urat di leher Linda bertimbulan. Dia tersenyum jengkel pada Alia. "Maaf?"
"Maksudku, siapa yang tak mau disembuhkan oleh Rinvi? Aku ingin memanfaatkan acara ini untuk mendekatinya—" Alia menghindari anak panah yang melesat. Linda tidak lagi membuat tombak, melainkan busur. "Sialan!"
"Takkan kubiarkan kau seenaknya!" teriak Linda dilandasi rasa jengkel, terbang menujah Alia. Kali ini dia menggunakan pedang.
Aku dan Rissa memanyunkan bibir. Tiba-tiba saja serangan mereka menjadi lebih brutal setelah bercakap-cakap. Mereka mengobrol tentang apa sih sampai mengganas begitu.
Waktu habis. Tak ada satu pun dari mereka berdua yang berhasil membuat lawan mengatakan 'Aku Menyerah'. Dengan kata lain, Linda dan Alia imbang. Hasil gelut mereka seri.
Berikutnya adalah Iris. Aku ditampar oleh pikiranku sendiri. Bisa-bisanya aku mengira Iris akan kalah mengingat musuhnya punya kekuatan yang bisa membuat pingsan.
Iris terbang setinggi 100 meter, membuat pelangi, menyerang musuhnya dengan warna kuning. Alhasil lawan tertawa keras, tak bisa berhenti, terbahak-bahak. A-aku tak boleh sampai kena oleh warna kuning pelangi Iris.
"A-aku menyerah... Aku menyerah. Hentikan kekuatanmu... Aku tak kuat lagi... Tolong..."
Iris berkedip centil. "Aku menang. Yey!"
"Selanjutnya, Verdandi melawan Fasty."
Hah?! Sudah giliranku saja?! Sial! Aku terlalu terbuai dengan alur pertandingan peri-peri yang kukenal dan lupa menghitung duel peri yang tak kukenal. Sial, sial, sial. Jasmaniah dan mentalku belum siap sepenuhnya.
Magara menyentuh lenganku. "Damage yang diterima akan dikurangi 90%. Sisanya seperti rasa pedih teriris pisau." Dia menyodorkan sebuah nampan. Terdapat bermacam-macam biji di atasnya. "Pilihlah salah satu, Dandi."
"Eh, ini apa? Item dukungan? A-apa ini bukan kecurangan?" Aku takut aku akan dipinalti.
Magara mendesah. "Swift Grower seperti jamur. Tanpa miselium, ia takkan tumbuh. Tanpa bunga kekuatanmu tidak berguna. Dan kau lihat sendiri, tidak ada apa pun di arena yang bisa kau pakai untuk bertarung. Kau belum meningkatkan level kekuatanmu, kan? Ini dipersiapkan khusus hanya buatmu saja."
Dingin sekali cewek ini, mengingatkanku pada Kala. Kuambil salah satu biji dan terbang ke medan tarung. Tidak apa kalah sekali pun. Yang penting jangan kalah tanpa menyerang.
*
Di ruang tunggu, Rinvi dengan sengaja menyenggol bahu Kala yang memperhatikan arena. "Kenapa? Khawatir pada Verdandi?"
"Tutup mulutmu sebelum kuubah jadi kodok."
"Ampun, Kakak. Aku akan diam." Rinvi berkata datar, tak serius dengan kalimatnya.
Lupakan tentang mereka berdua yang tidak jelas. Lampu sorot berputar ke arahku. Ukh, tubuhku gemetaran. Kukira Fasty itu laki-laki, ternyata dia perempuan. Apakah aku bisa menghadapi peri ini? Mama, Papa, aku takut!
Lihat dia! Lihat dia! Fasty tersenyum remeh melihatku, seakan aku tidak ada nilainya. Jujur, tatapannya membuatku agak kesal.
"Kalian siap? Duel dimulai—"
Ouch! Baru juga bendera dikibarkan, pipiku sudah tergores saja. Aku meringis pelan, mengusap darah yang menetes. Apa-apaan? Aku tidak melihat kapan Fasty menyerangku.
Fasty terbang sepuluh meter di depanku. "Kalau aku membawa pedang, rasanya akan lebih sakit," ucapnya memercikkan darahku yang mengotori belatinya. Jadi dia menggores pipiku menggunakan benda itu? Aish shibal.
Wahai, ucapan Sina benar. Keberuntunganku jelek. Jangankan melawan, mataku sama sekali tak bisa mengikuti laju terbangnya. Fasty sangat cepat menyerang. Sekujur tubuhku dipenuhi luka baret dalam semenit.
"Ada apa, Swift Growers? Kalau kau tidak berniat bertarung, kau tinggal mengatakan kata-kata sakralnya. Hahaha, sejak awal aku tahu kekuatanmu itu sampah. Lalu kau dengan genitnya mencuri perhatian Kala."
Tatapan Fasty tertuju pada Kala yang berdiri di ruang tunggu bersama Rinvi. Aku tergelak tak percaya. Oh, begitu toh. Oh, begitu rupanya. Dia salah satu penggemar Kala ternyata. Oh, dia mau merendahkanku di depan cowok itu.
Sombong sekali gadis ini, tsk. Kau pikir aku akan membiarkanmu mempermalukanku?
Baiklah, sudah waktunya revenge. Aku terbang ke dekat salah satu kursi penonton. Magara, kau salah. Masih ada sesuatu yang bisa kugunakan dalam arena pertandingan. Kursi itu terbuat dari kayu. Saat aku sentuh, kayu tersebut tumbuh dengan kilat. Aku mengarahkannya ke arena, membuat kubah agar Fasty tidak terbang ke mana-mana.
"Heh! Apa kau pikir menghambat jarak pandangku bisa mengalahkan mobilitasku?"
"Siapa bilang tujuanku untuk itu?" Aku melempar tiga biji bunga Poppies yang kupilih sebelum ke arena, kemudian menumbuhkan mereka. "Coba halangi serbuknya kalau kau bisa, Fasty. Tapi aku yakin kau tidak."
Karena celah di kubahku cuman dua milimeter saja, Fasty tak bisa keluar. Bunga Poppies-ku mekar, meledakkan serbuk pink, membuat siapa yang menghirupnya akan mengantuk.
Fasty sempat keras kepala, berusaha berkelit menghindari taburan serbuk sari, namun akhirnya kena juga. Sebelum jatuh tertidur, dia berseru mmengumpatiku: 'terkutuklah kau, Swift Growers!' kemudian tepar. Pingsan.
"Pemenangnya adalah... Verdandi!"
Yes! Aku tidak menunjukkan kesenangan hatiku, hanya membungkuk anteng. Ingatlah aku sedang diperhatikan oleh kumpulan peri di Fairyda. Image-ku yang nirmala akan ternodai jika mereka tahu aku aslinya bobrok.
"Kau berhasil, Dandi!" Rissa berseru senang.
Sesaat ingin terbang ke sebelah bangku Sina yang sengaja dia jaga, aku berhenti melaju demi mendengar siapa pertandingan berikut.
"Kala melawan Cleon!"
Suasana di amfiteater tiga kali lipat lebih ricuh dan bising dibandingkan pertarungan sebelum-sebelumnya. Aku berkeringat dingin. Kala akan melawan Cleon, pria kasar waktu di alang-alang? Dia pasti meminta Master Wodah agar menempatkannya melawan Kala.
Lain dari yang lain, saat lawannya terbang ke arena, Kala justru berjalan kaki. Sayap di punggungnya itu hanya sayap tempelan yang sebenarnya adalah sapu terbangnya.
"Kau pikir kau bisa mengalahkanku jika kau tidak terbang, Kala?" Cleon menatap kesal.
"Sepertinya?" sahut Kala dingin.
"Baiklah, jika itu maumu. Kau sudah berada di Supreme, kan? Maka aku takkan menahan diri." Cleon pun turun ke bawah. Tangannya memegang permukaan tanah. Menyeringai. "Hari ini aku akan menghancurkanmu, Kala!"
Bum! Debu mengepul beriringan dengan bergetarnya amfiteater. Dua raksasa batu terbentuk dari tanah, perlahan berdiri. Tingginya mencapai tribune tempat Master Wodah berdiri. Sial! Kekuatan macam apa itu?
"Cleon, Geographic Land. Dia mampu memanipulasi tanah sesuka hati. Ini pertama kali aku melihat golem!" Sina menjelaskan.
Sedetik pertarungan dimulai, dia langsung mengeluarkan serangan besar. Si Cleon punya masalah apa sih dengan Kala. Apa karena gadis bernama Tanny siapa lah itu?
Dua raksasa batu melangkah ke tempat Kala berdiri. Setiap langkahnya membuat arena bergetar, gempa bumi. Ini buruk bagi Kala! Apakah dia punya mantra atau apalah yang bisa melawan golem-golem mengerikan itu?
"Bagaimana, Kala? Apa angin sepoi-sepoimu bisa mengalahkan monsterku?" seringainya.
"Kau punya kemampuan yang merepotkan."
Wahai, kenapa laki-laki satu itu masih diam dan justru meremehkan lawannya? Maksudku, dua golem hendak menginjaknya lho! Apa Kala tidak mau mengantisipasi? Lalu, hei, kenapa aku begitu panik? Lagipula Kala takkan kenapa-kenapa karena jimat Magara.
Sekitar lima langkah sebelum mereka mendekati Kala—aku sudah mandi keringat bertanya-tanya apa yang akan terjadi—Kala memejamkan mata. Tubuhnya pun 'melebur', berubah menjadi angin topan. Lebih besar dan lebih kuat. Aku memicingkan mata. Apa hanya aku yang melihatnya? Cahaya berwarna aqua menyala samar. Persis seperti waktu itu.
Semua penonton termasuk Sina berseru tertahan, berbinar syok. Apa-apaan itu?!
"Apa ini?! K-kau bisa merubah tubuhmu menjadi wujud kekuatan?! Ini tak sepadan!" Soalnya tak ada materi seperti itu di buku.
Dengan mudahnya topan Kala melunyah golem Cleon, mendekat ingin 'memakan' penciptanya. Selain besar, ukuran topan itu semakin luas hendak mengisap Cleon jika dia tidak buru mengatakan 'Aku Menyerah'.
"Oke! Oke! Aku kalah, kau puas?!"
Puting beliung lenyap dari arena pertarungan, menyisakan Kala yang menghela napas panjang, merapikan rambut yang berantakan usai melepaskan teknik. Peri-peri di bangku penonton berteriak histeris kepadanya. Bagaimana tidak? Barusan dia menang telak.
Semenjak acara Gladi Perang, fans Kala bertambah banyak. Semenjak hari itu juga, aku tak berjumpa dengan Kala selama 20 hari.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top