1* Verdandi, The Talkative Girl

Aku menggandeng tas, tidak lupa mengambil kotak bekal yang telah Mama siapkan. Pukul 06.50 pagi. Masih tersisa 15 menit sebelum bel masuk berbunyi. Karena ini hari pertama semester baru, aku rasa takkan ada PBM. Paling cuman pembagian mata pelajaran.

"Dandi, kau sudah menghabiskan susumu?"

Aku menoleh ke cangkir. Asap kepul dari mug sudah tidak ada. Aku memang sengaja menyantap sarapanku lebih dulu agar bisa menghabiskan susuku dalam sekali teguk.

"Sudah, Ma," sahutku seraya mengelap bibir. Aku ini pendek, tidak boleh sampai absen meminumnya kalau mau tumbuh ke atas.

Kulihat Papa terburu-buru turun dari lantai dua, memperbaiki dasi yang sungsang. Menyerah mengaturnya, Papa pun minta tolong ke Mama yang berkacak pinggang. Sudah dewasa masih belum bisa mengenakan dasi dengan benar. Papa menyergah, "Andai saja meeting-nya diundur jam sembilan, Papa takkan tergesa-gesa begini kok, Ma."

Mama hanya manggut-manggut saja, enggan menimpali. Fokus memperbaiki dasi Papa. Sering terjadi itu mah bagi pekerja kantoran.

"Oke, sudah selesai."

"Ayo, Dandi. Papa sudah mau rapat sepuluh menit lagi. Tidak boleh terlambat." Papa duluan keluar dari rumah, melesat ke bagasi.

Aku tidak mengerti kehidupan orang dewasa. Jika waktu rapatnya dimajukan, kenapa harus diberitahu lima menit lalu? Apa orang dewasa cenderung suka mengubah-ngubah jadwal?

Menggelengkan kepala, aku pun salim dengan Mama. "Dandi berangkat dulu, Ma. Sampai nanti!" seruku melambaikan tangan.

"Cari teman yang banyak, ya!" seru Mama.

Aku tersenyum tanggung, mengangguk. Tidak menduga kalau pagi ini adalah pagi terakhirku sarapan bersama dengan Mama dan Papa.

*

Apa kata Mama tadi? Carilah teman yang banyak? Apanya yang berteman! Lihatlah, usai upacara, telah terbentuk saja circle. Tim kutu buku, tim pentolan kelas, tim artis, dan sebagainya. Lalu terakhir, tim 'Anti-Verdandi'.

"Itu bukannya Verdandi? Astaga, dia masuk SMA ini? Kehidupan SMP-ku sudah sangat mengerikan karenanya! Apa dia juga mau menghancurkan masa-masa SMA-ku?"

"Kau tinggal pura-pura tidak kenal."

Aish. Mereka pikir aku tak dengar obrolan mereka apa. Kalau mau bisik-bisik tak sedap, alangkah baiknya melihat ke sekitar dulu. Apa orang yang digosipkan ada atau tidak.

Ini dia, tim Anti-Verdandi. Tiga hari program MOS selesai, sudah banyak murid yang tidak menyukaiku. Apa mereka bilang, aku akan membuat kehidupan SMA mereka hancur?

Aku juga tidak tahu rata-rata alumni SMP-ku masuk ke SMA yang direkomendasikan Mama. Kalau aku tahu, sudah jelas aku akan meminta Mama atau Papa memilih SMA lain.

Toh, aku juga tidak mau bertemu kalian.

Aku telah berjanji pada diriku sendiri agar berubah di SMA ini. Tidak ada lagi Verdandi yang cerewet. Cuman ada Verdandi kalem.

"Ah, dia dipukuli lagi." Seseorang berkata.

"Sejak MOS dibegitukan. Kasihan sekali."

Huh? Aku menoleh ke objek menarik yang mereka bicarakan. Tampak tiga orang tengah memukuli seorang cowok bersurai hitam. Apa ini, baru mulai sekolah sudah ada pembulian? Terlebih, tidak ada yang membantu padahal banyak yang melihat! Tidak bisa dibiarkan.

Cewek-cewek yang berbicara barusan memegang lenganku, menggeleng. "Jangan, berbahaya. Nanti kita kena imbasnya."

"Mereka sedang memukuli seseorang! Bukankah seharusnya kita menolongnya—"

"Kau tidak tahu apa pun," kata temannya, geleng-geleng kepala. "Cowok yang mereka pukuli itu bernama Halca. Murid kelas satu yang sangat dibenci siapa pun. Kami sesekali pernah punya niat untuk membantunya, namun entah kenapa, kami langsung merasa marah dan gondok tanpa sebab padanya."

"Kok bisa begitu? Jengkel tanpa alasan? Apa dia punya dedemit atau khodam yang menakuti semua orang? Ini menarik—" Aku langsung menutup mulut ketika mereka mulai memandangiku dengan tatapan aneh.

Sial, mulai lagi mulut ember ini!

"Pokoknya jangan dekat-dekat dengan Halca. Kecuali kau mau kehidupan SMA-mu kacau sepertinya." Mereka pun beranjak pergi, tidak tertarik lagi pada tontonan di depan sana.

Aku menatap Halca sekali lagi. Tiga orang yang menendangnya berlalu sambil meludah. Dia duduk, meringis memegang perut.

Aku ingin membantunya, tapi mendengar celoteh kakak kelas barusan, membuatku urung niat untuk ikut campur. Ukh, itu pasti menyakitkan. Semoga dia baik-baik saja.

*

Seperti yang kuharapkan. Kebiasaanku dalam banyak tanya tak bisa raib begitu saja. Lihat, aku tak punya teman di kelas. Mungkin dihasut dan diasung oleh kenalanku di SMP.

Apes banget nasibku. Kami sekelas.

Cih, apa yang salah dari hobi suka bertanya? Bukankah itu sesuatu yang bagus? Guru justru suka aku antusias dalam pelajaran.

Tetapi...! Aku menggeram. Anak-anak malah mengataiku sok pintar, sok paling juara. Aku tidak mengerti di mana letak kesalahanku.

Bruk! Kulempar kantong sampah yang kujinjing ke dalam bak besar, menepuk kedua telapak tangan. Fiuh! Akhirnya selesai juga bagian piketku. Berat isi kantongnya.

Tadinya aku hendak protes mengapa aku disuruh buang sampah—itu kan kerja murid cowok—namun, cecunguk-cecunguk itu menganggapku angin lalu dan pulang.

"Kerang laut. Belum ada apa-apa kehidupan SMA-ku sudah jelek saja. Bagaimana cara aku bertahan untuk tiga tahun ke depan? Lalu, apa cowok bernama Halca tadi tak apa-apa? Duh, aku merasa bersalah mengabaikannya."

Tidak bisa begini. Aku mesti ubah watakku. Aku harus bisa jadi Verdandi yang kalem. Aku harus bisa jadi Verdandi yang bertanya ala kadarnya. Aku pasti bisa jadi Verdandi yang—

Kling! Sebuah sinar menyilaukan mata.

Daebak! Cahaya ilahi apa itu barusan? Aku menoleh lantas menyipitkan mata. Asal sinar kecil bagai titik lampu dari kejauhan 300 meter itu berasal dari hutan belakang sekolah.

Apakah pecahan kaca yang kena pantulan cahaya matahari? Eh, sekarang kan menjelang malam alias sudah senja. Setengah matahari tenggelam... Tapi, bisa saja, kan? Yang penting ada lapisan deflektor atau apa lah.

Atau jangan-jangan sebuah senter yang mati-hidup nyaris kehabisan baterai? Aih, kenapa pula ada benda seperti senter di hutan konon dikatakan angker? Y-yah, mungkin saja sih kalau ada yang lagi berkemah di sana dan tidak sengaja menjatuhkan alat penerang.

Kutepuk pipiku. Wahai! Aku melakukannya lagi! Kebiasaan ini tidak mau hilang-hilang.

Baiklah. Kuucapkan selamat karena berhasil mengait rasa penasaranku. Tanpa pikir panjang, aku pun berjalan memutar karena tak mungkin aku berenang di sungai kotor.

Suara nyamuk mendengung di telingaku. Belum lagi rerumputan mengenai kulitku yang tidak tertutup seragam sekolah terasa gatal. Aku harus cepat-cepat menemukan lampu senter itu dan keluar dari hutan ini—ANJIR?!

Aku jatuh terjengkang, beringsut mundur. Sengaja kusibak kasar semak-semak setinggi badan yang mengganggu jarak pandang. Mana kusangka aku sudah sampai di sumber cahaya yang kulihat di seberang sungai.

Itu bukan sinar senter atau kaca. I-itu cahaya dari lingkaran aneh yang... mengapung?!

Kutampar pipiku sendiri. Sakit, jadi bukan mimpi. Aku menelan ludah. L-lubang apa ini?! Kenapa bisa mengambang? Gila banget!

Aku beranjak bangun, mengitari lubang seukuran manusia itu. Hmm, benar-benar menarik. Apakah ini semacam portal ajaib yang sering kulihat di film superhero? Dan, apa artinya setangkai bunga dandelion ini?

Aku jongkok memungutnya, bergumam dalam hati. Dandelion itu sudah tak berputik.

Hahaha! Aku terkekeh receh. Oh ayolah, Verdandi. Kita hidup di zaman modern dimana teknologi bisa menipu apa dan siapa pun. Paling ini layar tiga dimensi, hologram, atau apa kek gitu, yang bisa hilang kalau disentuh.

Dengan sombongnya aku menyentuh permukaan lubang portal tersebut. Alhasil, tubuhku pun tersedot ke dalamnya.

"UWAAAA!!!" Aku terpekik histeris. A-apa ini?! Aku seperti berada di rollercoaster yang bergerak dalam kecepatan tinggi. Mana badanku diputar-putar seperti jarum jam.

"Mama! Tolong aku!" Mulutku komat-kamit menyerukan Mama sembari membaca semua doa yang kuingat. Aku telah berdosa! Aku telah menyepelekan portal itu! Tuhan, tolong jangan biarkan aku mati di sini! Aku berdosa!

Ujung dari portal sialan ini pun terbuka. Aku dilempar keluar seperti muntahan. Saat kepalaku mendongak, lubang itu menghilang.

"Tunggu! Tunggu!" Aku cepat-cepat duduk, menatap udara yang lengang. "Kau tak bisa melakukan ini padaku, Lubang Ajaib! Kau tak bisa meninggalkanku begitu... saja..."

Kalimatku menguap karena baru sadar panorama di sekelilingku berubah. Aku melongo. Bukankah hari sudah senja, mau malam? Kenapa di sini masih lah terang? Bukannya aku lagi berada di hutan, kenapa tahu-tahu aku berada di tengah padang luas? Lalu, kenapa punggungku terasa geli?

"Hei, bisakah kau enyah dariku?"

Aku tersentak, menoleh ke asal suara. Aku mendarat dan menimpa seorang laki-laki. 





Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top