File 9
"Maaf, Kak. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Ervina, gadis yang dimaksud laki-laki bermata biru itu sebagai tersangka utama. Melihat tatapan tajam yang diarahkan kedua cowok seangkatanku yang mendadak menjadi detektif amatir sudah cukup membuatku iba pada gadis itu.
Lihat saja. Tidak mungkin seseorang dengan wajah polos seperti itu tega melakukan sebuah pembunuhan. Sekalipun tidak menutup kemungkinan bagi dia untuk mendorong kakak tirinya dari lantai tiga, tetap saja bagiku itu hanya ada dalam film. Dari sorot matanya saja, aku yakin gadis itu merupakan tipe seseorang yang tidak tega membunuh walaupun hanya seekor nyamuk.
"Yang bisa kau bantu? Jelas ada banyak sekali yang bisa kau bantu," ujar Kevin yang berhasil mencegatnya di depan gerbang. Aku semakin geram melihat sorot mata yang tampak tidak berperikemanusiaan ke arah lawan bicaranya.
"Kau pasti sudah tahu soal Evan kan?" Gadis itu mengangguk lemah mendengar pertanyaan pertama yang diajukan ketua OSIS buta nada itu. "Dan kau sadar jika kau adalah tersangka utama, sekaligus satu-satunya orang yang tidak memiliki alibi, kan?" tanyanya lagi. Ervina kembali mengangguk, padahal aku ragu jika dia mengerti apa itu alibi.
"Kau terlalu membuang waktu," desis sang rival seraya meminta Kevin untuk menyingkir dari hadapan gadis itu. "Kita tidak perlu berbasa-basi. Ceritakan pada kami, bagaimana hubunganmu dengan Evan sebelum dia tewas," kata Steve to the point.
Nada bicaranya memang lebih bersahabat. Namun aura yang dia miliki terasa jauh lebih menyeramkan daripada Kevin. Ervina menelan ludah. Dengan pandangan tertunduk serta suara yang terdengan bergetar, dia mulai bercerita. Kurasa itu ia lakukan agar bisa segera terbebas dari mereka.
"Kak Evan tidak terlalu menyukai saya. Seolah saya ini adalah pembawa sial. Saat Ayah dan Ibu tidak ada di rumah, Kak Evan selalu memarahi saya. Dia berkata, saya adalah penyebab orang tuanya bercerai. Tapi walaupun begitu, saya tidak pernah membenci Kak Evan. Saya yakin, dia pasti akan berubah suatu saat," jelas Ervina.
Bukankan sekarang sudah jelas? Gadis ini tidak pernah membenci kakak tirinya. Dia benar-benar seperti Cinderella. Jadi, pengakuan itu tidak bisa dijadikan bukti jika dia memiliki motif untuk membunuh korban. Mereka memang terlalu berlebihan menuduh anak ini memiliki sifat kejam layaknya seorang psikopat yang pandai memanipulasi.
"Dia membencimu?" tanya cowok itu lagi. Ervina mengngguk patah-patah. "Sekarang beritahu aku. Mengapa kau mendatangi kelas korban dua kali, dan dalam waktu yang berdekatan dengan estimasi kematiannya?" Ervina tampak berpikir cukup lama.
Menurutku, dia tidak sedang memikirkan alasan. Tetapi mencoba mencerna maksud dari istilah 'estimasi' yang mungkin terdengar asing. Lagipula, itu kan salah Steve sendiri yang tidak mencari kata yang bermakna sama. Apa dia berpikir semua penduduk bumi memiliki IQ yang setara dengannya?
"Itu .... Kak Evan yang menyuruh saya untuk datang ke kelasnya. Jadi, saya meminta izin untuk pergi sebentar. Saat saya sampai, dia tidak ada di kelas. Teman kelasnya berkata, Kak Evan pergi ke lantai tiga. Jadi, saya langsung pergi ke sana. Tapi, Kak Evan langsung memarahi saya seperti biasa ketika sampai.
"Saya hanya diam sampai dia berhenti. Tapi, dia justru menyuruh saya pergi setelah selesai bicara. Saya menurut karena tidak mau membuat Kak Evan semakin marah. Setelah sampai di ujung tangga, saya kembali untuk melihat Kak Evan. Tapi, dia sudah tidak ada di sana. Jadi, saya pergi ke kelasnya lagi untuk memastikan apa dia sudah sampai di sana? Tapi, dia juga tidak ada di sana." Ervina menjelaskan kronologi kejadiannya dengan runtut.
"Sidik jarimu ditemukan di mayat korban. Bagaimana mungkin itu terjadi?" Steve kembali bertanya.
"Maaf, Kak. Saya tidak mengerti," ucap Ervina samar. Sudah kuduga. Gadis itu tidak mengerti apa pun tentang dunia kriminal. Bahkan tentang sidik jari saja dia tidak mengerti. Aku benar-benar ragu jika dialah pelaku sebenarnya.
Aku yang sudah tidak bisa menahan emosi yang meluap-luap karena aksi gila mereka segera berjalan mendekati gadis itu lalu mendekapnya. "Maaf, interupsi. Apa kalian tidak mengerti perasaannya?! Dia tidak pernah membenci korban. Lalu kenapa kalian menatapnya seperti seorang pembunuh?"
Kevin tampak sedikit sebal karena apa yang kulakukan. "Sisi, kau tidak menger- ...."
"Diam, biarkan dia. Setidaknya dia bisa berguna dalam penyelidikan ini," sahut Steve sembari menghalangi Kevin yang hanya bisa menghela napas panjang dengan lengan kanannya. Sial, semua laki-laki memang keterlaluan. Buktinya, dia hanya membela agar bisa memanfaatkanku.
"Ervina, itu namamu kan?" tanyaku sembari melepas pelukan. Gadis itu mengangguk samar sambil tersenyum. "Kau tidak usah takut. Kalau kau bukan pelakunya, tidak ada yang akan membahayakanmu," ucapku. Di luar dugaan, dia justru memperlihatkan ekspresi yang tidak kumengerti maksudnya. Anak itu tampak ragu-ragu mengangguk.
"Ervina, kau boleh pergi," putus cowok kutub selatan itu pada akhirnya. Tanpa pikir panjang, gadis itu segera mengagguk patuh lalu berpamitan.
"Sampai jumpa, Kak Sisi," katanya lalu segera berlari menjauh. Aku tersentak. Ternyata gadis itu mengenalku ya? Padahal setahuku, mereka berdua jauh lebih populer. Tapi mengapa dia tidak tahu nama kedua laki-laki itu. Ah, sudahlah.
"Apa kalian bodoh?! Kita belum selesai, kalian malah membiarkannya pergi. Apa kalian pikir mencegat dia itu mudah?" gerutu Kevin sebal sembari mengacak-acak rambutnya sendiri yang sudah rapi. "Lagipula, mengapa kalian semudah itu percaya pada ucapannya yang sedikit janggal? Aku yakin, dia berusaha menyembunyikan sesuatu dari kita?"
"Kau yang bodoh. Terburu-buru justru akan membawa masalah. Aku tahu jika gadis itu sedang shock. Dia merasa bersalah atas kematian korban. Tidak peduli dia bersalah atau tidak, kita perlu menunggunya lebih tenang. Jika kau bertanya mengapa, itu agar lebih mudah mendapatkan informasi, sekaligus mengawasi reaksinya," balas Steve dingin, lalu melangkah pergi tanpa berkata apa-apa lagi.
------x---x-----
"Jadi, Senior memikirkan perasaan gadis itu?" tebak Ellion yang tanpa merasa risih duduk beberapa senti di sampingku. Justru dialah yang terus bergeser agar bisa lebih dekat. Tentu saja aku berusaha menjaga jarak dengan cowok aneh itu sekalipun posisiku tepat berada di ujung bangku.
"Begitulah, tapi cuma untuk kepentingan dia," sahutku singkat. Dalam hati, aku masih berharap agar petugas TU cepat-cepat menekan bel masuk kelas agar aku bisa segera berpisah dengan anak ini.
"Dia dulu memang anti sosial. Egois, nggak peduli selama kemauannya terpenuhi. Dulu, semua orang mikir kalo dia nggak punya perasaan. Termasuk aku. Aku juga bener-bener nggak percaya kalo dia bisa jatuh cinta. Tapi ternyata, dia cuma nggak berani ngungkapin perasaan." Aku terkekeh saat membayangkan bagaimana ekspresi laki-laki itu saat mencoba membohongi perasaan sendiri.
"Mungkin kau juga sama, Agatha," katanya tiba-tiba. Dahiku seketika berkerut mendengar penuturannya. "Kau masih saja membohongi perasaanmu. Sampai kapan?" tanyanya. Aku semakin dibuat heran oleh kalimatnya yang dilebih-lebihkan.
"Hei, dengerin ya! Aku tau kamu mau suruh aku bilang 'I love you' ke kamu kan? Huh, sorry. Bukannya aku mau membohongi perasaan. Tapi karena memang aku nggak suka sama kamu," sanggahku. Ellion hanya tertawa tanpa merasa bersalah.
"Just kidding, Agatha. Mungkin cintaku memang bertepuk sebelah tangan. Tapi aku nggak akan menyerah untuk mengembalikan ingatanmu yang hilang," ujarnya dengan semangat berapi-api yang sukses membuatku sweatdrop.
"Oke, sebentar lagi bel masuk. Aku pergi dulu ya, Agatha. Aku tunggu episode selanjutnya," ucap Ellion sambil menyengih lalu berlari kembali ke kelasnya.
"Hei, tunggu!" seruku. Anak itu segera kembali dengan sorot mata yang tampak kepedean. "Kalo kamu penasaran, kamu tunggu aja aku di sini besok. Nggak usah sampe dateng ke kelas. Malu-maluin tau," terangku. Anak itu hanya mengangguk patuh lalu kembali melanjutkan perjalanannya yang sempat tertunda.
Aku terdiam cukup lama. Ekspresinya setiap kali pergi atau datang menemuiku tak pernah berubah. Sama-sama terlihat kekanakan. Entah mengapa justru mengingatkanku pada anak laki-laki itu. Jika dipikir-pikir, Ellion memang mirip dengannya. Mia bilang, dia terlihat tidak berbohong. Apa jangan-jangan ....
"Ah, itu nggak mungkin. Sisi, kamu harus sadar. Anak laki-laki itu udah mati. Lagipula, nggak mungkin dia tumbuh menjadi laki-laki menyebalkan seperti itu. Nggak, nggak, pasti cuma kebetulan." Aku menggeleng kuat-kuat menepis pikiran absurd tak berdasarku.
*
Buat para reader yang cowok, maaf ya. Jangan tersinggung sama pemikiran Sisi ya. Ichi nggak bermaksud menuduh semua cowok itu egois ya. Ichi yakin, kalian semua hebat ☺. Semoga kalian juga bisa paham kenapa Sisi mikirnya gitu.
Jangan lupa vote dan comment ya 😊.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top