File 7

Dahiku berkerut ketika kunci rumah yang mendadak tidak bisa diputar untuk membuka. Sementara untuk mengunci masih bisa. Tanpa pikir panjang, aku segera menggerakkan gagang pintu. Ternyata memang tidak terkunci. Ah, hampir tidak mungkin aku lupa menguncinya. Tapi ... ah sudahlah.

"Aku pulang," ucapku sambil melangkah memasuki rumah yang tak berpenghuni. Yah maksudku, dia menjadi tidak berpenghuni selama aku pergi. Bukan berarti benar-benar kosong. Walaupun aku sendiri di sini, tetap saja mengucapkan kalimat itu seolah menjadi kebiasaan yang sulit dihilangkan.

Aku meletakkan sepatu, tidak peduli dengan rak yang hanya berisi sebuah sepatu yang tak lagi asing. Tidak ada sahutan dari dalam. Justru itulah yang  bagus. Jika ada suara lain yang menyambut, maka aku pasti akan berteriak sambil berlari keluar rumah. Aku menghela napas panjang. Hari ini benar-benar melelahkan. Semua jelas karena bocah mesum yang mengaku sebagai cinta pertamaku itu.

Langkahku seketika terhenti melihat punggung seorang wanita yang entah sejak kapan berada di dapur. Cara menguncir rambut panjangnya membuatku sedikit familier. Pakaian yang dia kenakan juga. "Ah, Agatha. Kamu sudah pulang? Sepertinya kamu lupa memberi garam di sayur ini."

Aku terpaku selama cukup lama ketika mendengar suara wanita itu. Tanpa sadar, tas ransel yang ada dalam genggamanku terjatuh begitu saja saat ia menoleh. Jantungku seakan berpacu lebih cepat. Membuat perasaan haru dengan cepat menyebar ke seluruh tubuhku. "Agatha, kamu baik-baik saja?" tanyanya cemas seraya berjalan mendekat.

Kupejamkan mata yang mulai terasa panas demi mencegah jatuhnya air yang sudah cukup lama tertampung di sana. Tidak ingin membuang lebih banyak waktu, aku segera menghambur ke pelukan wanita itu seperti anak kecil. "Ibu ...," lirihku. Usahaku untuk menahan tangis tak berhasil begitu tangannya mengelus kepalaku kemudian mengecupnya.

"Maaf, Ibu terlalu sibuk akhir-akhir ini. Jadi tidak sempat mengunjungimu," bisiknya. Aku menggeleng, meskipun masih dalam dekapan. Bagaimanapun, pertemuan yang tak pernah direncanakan ini sudah cukup untuk membuatku melupakan segalanya. Bahkan, aku tidak ingat jika sempat iri pada keluarga Ishida saat Kira mengundangku makan malam.

Waktu itu, Kira mengajakku untuk memberi kejutan pada ayahnya yang baru pulang dari kantor dengan menembakkan kertas warna-warni. Usaha kami tidak gagal. Ayah Kira terlihat kebingungan dengan suasana rumah yang lain dari biasanya. Namun, yang membuatku iri adalah responsnya saat Ibu Kira membawakan kue ulang tahunnya.

Aku merasa seperti orang asing yang seharusnya tak pantas berada di sana menyaksikan momen itu. Momen yang seharusnya hanya dinikmati hanya oleh anggota keluarga. Saat ketika ayah Kira memotong kue itu dengan senyuman mengembang. Seakan mereka adalah keluarga yang paling bahagia.

Walaupun akhirnya mereka memperlakukanku seolah merupakan bagian dalam keluarga mereka, tetap saja. Aku sangat iri. Aku juga ingin merasakan hal yang sama. Aku ingin memiliki keluarga seperti mereka. Andai saja ....

"Hei, bukankah Ibu sering melarangmu melamun?" Aku tersentak ketika mendengar suara lembut milik Ibu yang berbisik sembari mengelus rambutku hingga ke punggung. Segera kuusap air mata yang berhasil membasahi pipi, tentu saja setelah melepas pelukan eratku sejak semenit yang lalu.

Aku tertawa kecil mengelap kacamata yang sedikit basah dengan ujung baju seragam. Entah mengapa, aku justru merasa malu karena bersikap sedikit kekanakan. Padahal, Ibu sama sekali tidak pernah mempermasalahkan hal itu. "Maaf, tadi aku sedikit buru-buru. Jadi, aku lupa jika belum menaruh garam," aku terkekeh.

"Kamu terburu-buru sampai tidak peduli dengan sayur yang hambar?" Aku kembali tertawa kecil. Malu jika mengingat kejadian tadi pagi. "Astaga, anak Ibu terlihat lebih kurus sekarang. Apa jangan-jangan itu karena kamu terlalu sering makan sayur tanpa garam?" ucapnya sambil memegangi kedua pipiku.

"Sudahlah, Ibu. Jangan bahas itu lagi. Aku malu." Ibu hanya tertawa lepas mendengarnya kemudian memelukku lagi. "Oh ya, Ibu akan segera pergi kan setelah ini?" tanyaku memastikan.

Ibu segera melepas pelukannya kemudian memandangku dengan ekspresi heran. "Ada apa? Kamu tidak suka kalau Ibu di sini?" Aku menggeleng cepat. Memangnya siapa yang akan membenci kehadiran orang yang paling dirindukan setelah lama tidak bertemu.

"Ya, mungkin Ibu akan sedikit lebih lama. Ibu akan mengunjungimu lagi akhir pekan. Doakan saja semoga Ibu tidak ada jadwal." Aku mengangguk mantap. Meskipun itu bisa membuatku mendapat lebih sedikit uang belanja, tidak masalah asalkan aku bisa bertemu lebih sering.

"Tadi, Ibu sempat mengunjungi Bibi Hana. Dia bilang, kamu pernah datang saat dia mengundangmu makan malam. Apa itu benar?" tanya Ibu. Aku mengerutkan kening. Memangnya sejak kapan Ibu kenal dekat dengan Nyonya Ishida sehingga memanggilnya dengan nama depan, serta dengan tambahan kata 'bibi'.

"Dia teman sekelas Ibu saat SMA. Kami hampir tidak pernah bertemu lagi sejak dia kuliah di Jepang. Eh, tahu-tahu dia sudah pindah kemari bersama suami dan anaknya. Reuni yang tidak terduga bukan?" Ibu berbaik hati menjelaskan walaupun aku belum sempat bertanya.

Aku kembali ke dapur setelah mengganti baju seragam. Kesempatan ini sangat jarang ada. Jadi, tentu saja aku akan sangat rugi jika malah memilih untuk menyendiri di balkon seperti kemarin sedangkan Ibu sudah susah payah mengosongkan jadwalnya hari ini hanya untuk melihat kondisi anak satu-satunya ini.

Aku hanya diam memerhatikannya yang tampak sedang menghangatkan sekaligus 'memperbaiki' masakanku yang hambar. Sudah lama aku tidak melihat beliau beraksi dengan sendok sayur lama itu. Ingin rasanya aku kembali ke masa itu. Masa dimana keluargaku masih utuh.

"Kamu sepertinya sudah cukup pandai mengatur waktu, Agatha. Kamu bisa mengurus rumah ini tanpa terganggu waktu belajar. Ayahmu pasti akan menyesal karena meninggalkanmu jika mengetahui ini." Samar-samar aku mendengar Ibu menggumamkan kalimat terakhir dengan nada yang terdengar aneh. Seperti seseorang yang menyimpan kebencian.

Aku menghela napas panjang. Sayangnya dia tidak tahu mengenai hal itu. Walaupun seandainya Ayah tahu, aku yakin hubungan mereka akan kembali seperti dulu hanya karena hal sepele semacam itu. Pria egois mana yang mau menarik kata-katanya? Dia pasti akan menyalahkan Ibu lagi.

Mereka sudah bercerai setahun lalu. Kalau tidak salah, namanya talak tiga ya? Maksudku, mereka tidak bisa kembali kecuali salah satunya menikah lagi. Lagipula, aku yakin wanita independen seperti Ibu tidak akan mau melakukannya. Hidupnya tidak bergantung pada laki-laki. Lagipula, kurasa pekerjaannya sebagai pengacara sudah cukup untuk memenuhi kebutuhannya, dan juga aku.

"Ah ya, tadi Ibu tidak sengaja melihat teman kecilmu. Apa kamu pernah bertemu dengannya?" tanya Ibu mengalihkan pembicaraan yang mulai menjadi kurang menyenangkan. Aku membelalak mendengarnya. Aku tahu dia sedang membicarakan anak laki-laki yang tampak di beberapa foto yang tersimpan dalam album. Itu karena aku tidak pernah memiliki teman kecil selain dia.

"B-benarkah? Ibu melihatnya? Di-dia ... masih hidup?!" tanyaku tidak percaya. Jelas ini merupakan kejutan untuk yang kedua kali. Pasalnya, setelah bertahun-tahun menganggapnya sudah mati, kini Ibu mengaku melihatnya. Tidak, itu pasti bukan hantu yang bergentayangan. Ibuku bukan paranormal atau semacamnya. Hanya wanita yang berkecimpung dalam bidang hukum.

"Hanya sekilas, mungkin Ibu hanya salah lihat. Tapi anak laki-laki yang Ibu lihat tadi pagi mirip sekali dengan temanmu itu. Dia sudah tumbuh besar. Bahkan lebih tinggi daripada Ibu. Entahlah, Ibu juga tidak sempat berbicara dengannya. Tapi ... jika itu benar dia, pasti hanya keajaiban yang membuatnya selamat," jelas Ibu.

Keajaiban. Sesuatu yang sempat tidak kupercaya keberadaannya, apakah benar-benar membuat anak laki-laki itu bisa selamat dari tragedi yang merenggut nyawa ratusan orang? Jika ya, aku ingin bertemu dengannya.

Keajaiban, apakah benar-benar ada?

*

Maap ya. Update kali ini misterinya libur dulu, hehe .... 😂 Nggak papalah, biar kalian paham dikit tentang latar belakang keluarganya Sisi.

Oh ya, dia memang dipanggil 'Agatha' sama keluaga dan temen lamanya. Cuma temen SMA-nya aja yang manggil 'Sisi'. Kenapa? Yaa  sengaja biar ada bedanya mereka yang benar-benar deket sama yang cuma temen.

Itu tadi kalian udah ketemu sama Ibunya Sisi. Salah satu yang masuk "list Mama-Mama Hebat" di cerita ini. Oh ya, lupa kalo semua Ibu di sini masuk dalam list itu 😅.

Yang di peringkat pertama siapa? Udah pasti Ibu kalian masing-masing. Karena itu, sayangilah Ibu kalian. Ingatlah jika ada yang iri pada keadaan kalian (bagi yang masih punya). Karena "surga ada di telapak kaki Ibu."

Lah, kok Ichi mendadak ceramah😅. Hehe ... kesempatan mumpung bulan puasa. Kan bagus kalo kita saling mengingatkan 😊.

Dan tidak lupa, Ichi ingin mengingatkan kalian untuk tidak lupa meninggalkan vote dan comment 😁.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top