File 6

Kevin mengurungkan niat untuk menceramahi saingannya itu. Ia hanya bisa memandangi TKP yang sudah diberi garis polisi dari kejauhan. Itu karena beberapa menit setelah Steve mematikan sambungan telepon, Pak Anwar selaku guru BK melintas. Tanpa menunggu lama, laki-laki itu segera menjelaskan apa yang terjadi dengan singkat, padat, serta jelas sekaligus menyerahkan handphone yang ternyata merupakan barang yang ia sita dari teman sekelasnya.

"Bukan aku yang menyita. Mereka hanya memintaku untuk menyerahkannya. Itu karena mereka yakin jika pemilik benda ini tidak akan berani merebut," sanggah laki-laki itu. Aku hanya menelan ludah. Dulu, ketika berhadapan dengannya memang aku selalu merasa takut.

Korban ternyata merupakan siswa kelas XI-IPA 1. Namanya Evan. Aku memang belum pernah melihat dia sebelumnya. Aku tidak tahu bagaimana kepribadiannya. Jadi, aku sama sekali tidak punya ide tentang motif pelaku, seandainya ini merupakan pembunuhan.

"Jadi, bisa kita mulai? Biarkan aku yang menunjukkannya padamu lebih dulu," ujar Kevin dengan nada bangga. Steve tidak berkomentar, kecuali dengan alis yang terangkat. Aku sebenarnya enggan untuk terlibat. Namun, mereka berdua membuatku terjebak dengan alasan ingin menggali informasi dariku. Seperti yang kukatakan sebelumnya, laki-laki memang egois.

"Korban merupakan siswa kelas XI-IPA 1. Menurut teman sekelasnya, korban memang sempat keluar kelas sekitar pergantian pelajaran. Mereka juga berkata jika korban tiba-tiba berubah menjadi pemurung sejak sebulan lalu. Dan seperti yang kita lihat, korban terjatuh dari lantai tiga. Kemudian seseorang menyeret mayatnya menuju tumpukan sampah yang mulai membusuk. Aku berpikir jika itu dilakukan agar baunya tidak terlalu jelas," terang Kevin dengan gayanya yang sama sekali tidak pernah berubah.

"Hanya itu? Aku juga tahu semua informasi yang sebutkan," sahut anak berdarah campuran itu tanpa intonasi. "Tapi kau melupakan beberapa hal. Pertama, korban menjadi pemurung karena tidak terima ayahnya menikah dengan wanita lain. Karena itu korban tidak terlalu menyukai adik tirinya. Itu yang dikatakan Rifky selaku teman sekelas korban.

"Lalu, orang yang menyeret mayat korban ke tumpukan sampah adalah Ervina, adik tirinya. Itu terbukti dengan sidik jadi temuan Polisi yang cocok dengan gadis itu. Aku juga sempat melihatnya pergi menuju kelas korban dua kali, dalam waktu yang berdekatan dengan estimasi kematiannya. Karena itu, bisa dikatakan gadis itu adalah tersangka utama. Yah,kau pasti masih ingat kebiasaanku sejak SMP." Aku sedikit ternganga melihat hasil yang didapat oleh laki-laki berambut coklat itu. Bagaimana mungkin dia bisa mendapat informasi sebanyak itu?

"Yah, kadang orang yang tahu segalanya adalah pelakunya kan?" komentar Kevin dengan nada sinis. Aku tahu, itu hanya alasan yang dia gunakan karena tidak ingin mengakui kemenangan rivalnya. Bagaimanapun, alibi yang diutarakannya pada Polisi benar-benar kuat. Justru kami berdualah yang lebih mencurigakan.

"Maaf, mengganggu kalian. Tapi  kita tidak bisa langsung menuduh gadis itu hanya karena dia tidak memiliki alibi kan?" aku menimpali. Steve mengarahkan sorot matanya yang benar-benar dingin ke arahku. Itu sudah cukup untuk membuatku kehilangan keberanian.

"Aku tahu, kau merasa kasus ini mirip dengan yang kau alami," katanya. Aku kembali menelan ludah. Membahas kasus itu selalu membuatku merasa bersalah karena laki-laki itu harus kehilangan sang kakak. "Tapi, sidik jarimu tidak ada di barang bukti. Kondisi TKP saat itu juga membuat Polisi tidak akan menuduhmu. Tapi yang ini, kau sudah tahu sendiri," lanjutnya dingin.

Aku langsung diam tanpa melontarkan sepatah kata pun setelah itu. Selain karena tidak ingin berhadapan dengan tatapan tajam itu lagi, aku lebih memilih untuk memikirkan kasus ini dengan caraku.

Korban sepertinya memiliki keluarga yang kurang harmonis sepertiku. Ayahnya memilih untuk menikahi wanita lain. Dan aku sangat membenci fakta itu. Bedanya, aku tidak pernah membenci saudara tiriku. Tentu saja itu karena aku tidak tahu apa pun tentang mereka. Tapi, seandainya aku ada di posisi itu, sudah pasti akan merasakan hal yang sama seperti korban.

Tentu saja aku bukan Cinderella yang akan selalu menerima perlakuan dari ibu serta saudara tiri. Aku tidak akan diam saja. Dan seandainya tidak ada pilihan lain, aku mungkin akan segera menyingkirkannya. Tapi untunglah, aku tidak tinggal serumah dengan mereka. Jadi, aku tidak perlu melakukan kejahatan itu.

------x---x------

"'Mirip dengan apa yang kau alami?' Sebenarnya maksud dari yang dikatakan Senior apa?" Sudah kuduga jika Ellion akan menanyakan hal itu setelah ceritaku selesai. "Agatha, kau dengar aku kan?" tanyanya tidak sabar.

Aku berdecak kesal. Apa dia memang benar-benar tidak bisa sabar sebentar? "Dulu waktu aku masih kelas sepuluh, aku pernah jadi saksi mata dari kasus pembunuhan. Waktu itu, kepalaku dipukul dari belakang. Karena aku satu-satunya saksi, yang dituduh jadi pelakunya udah pasti aku. Tapi pukulan itu bikin aku nggak inget apa-apa," terangku.

Ellion mengangguk-angguk dengan kedua lengan terlipat, seolah sedang benar-benar berpikir keras. "Aku mengerti sekarang," katanya. Aku menoleh meminta penjelasan. Apa itu artinya dia sudah bisa menebak akhir dari kasus yang kuceritakan?

"Aku mengerti kenapa kau tidak bisa mengingatku. Ternyata aku salah, kau sama sekali tidak pernah melupakanku. Pasti pukulan itu yang membuat ingatan tentangku hilang. Baiklah, mulai sekarang aku berjanji akan mengembalikan ingatanmu yang hilang, Agatha. Dengan begitu, kita bisa bersama lagi seperti dulu." Aku mendengus sebal sambil mengggeram dalam hati. Sudah kuduga, dia memang laki-laki yang hanya ingin mencari kesempatan.

"Dasar delusional! Kamu harus tau. Walaupun kepalaku nggak pernah dipukulin, aku memang nggak pernah punya ingatan tentang kamu!" bentakku. Seperti biasa, anak itu justru memasang ekspresi innocent setiap kali aku menhardiknya.

"Ternyata kau tidak berubah. Wajahmu terlihat semakin imut ketika marah, Agatha," ungkapnya tanpa dosa. Tidak ingin mencari masalah yang lebih besar, aku segera berjalan mendahuluinya. Namun lagi-lagi, langkahku kalah cepat darinya.

"Kenapa kamu masih ikut-ikutan?! Aku mau pulang!" tegasku. Anak itu segera balik kanan setelah mendengarnya. Namun seolah tidak terjadi apa pun, dia masih bisa tersenyum lebar saat mengatakan jika dia penasaran dengan lanjutan ceirtanya.

"Baiklah, sampai jumpa besok, Agatha," pamitnya. Aku menghela napas lega. Akhirnya aku bisa terbebas dari bayangannya. Paling tidak sampai waktu istirahat besok.

Aku melanjutkan perjalanan pulang dengan langkah yang jauh lebih santai. Sekarang, sudut bibirku bisa terangkat memandangi langit sore. Andai saja aku bisa melakukannya setiap saat tanpa gangguan laki-laki mesum itu. Hari-hariku pasti tidak akan bertambah berat walaupun harus tinggal sekaligus mengurus rumah sendirian.

Aku berhenti tak jauh salah satu rumah kursi yang terletak di depan taman kota. Senyum kembali tercetak di wajahku saat bayangan masa kecilku tergambar di sana. Aku yang terlihat begitu ceria berlarian di atas rumput bersama seorang anak laki-laki yang sampai sekarang tidak kuketahui nama dan lokasinya. Bahkan apakah dia masih hidup atau tidak saja belum kuketahui secara pasti.

Ah, satu yang kuingat. Dia tidak egois seperti laki-laki lain.

*

Kalian pengen tau darimana Steve dapet informasi sebanyak itu? Sudah pasti jawabannya adalah  tau sendirilah, masa kalian nggak peka (cukup Kira saja yang tidak peka *eh 😂).

Iya deh. Ichi kasi clue. Kalian masih inget kan Polisi berpangkat AKP di seri ketiga? Nah, Steve bisa tau dari dia.

Jangan lupa vote dan comment ya 😊.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top