File 4
"Hei, Sisi! Kemarin waktu ulangan matematika kamu dapet berapa?" tanya Mia antusias. Sejak dua hari yang lalu, dia mulai lebih sering melepas kacamatanya. Memang menurutku kacamata tidak menyembuhkan mata minus. Aku pun seandainya tidak terpaksa, pasti sudah melepasnya sejak dulu.
"Erm ... aku dapet delapan puluh, jawabku ragu-ragu." Apa? Kalian bertanya mengapa bicaraku terdengar aneh. Tentu saja ini adalah kejadian saat aku masih kelas dua SMA, ketika aku masih dicap polos.
"Wah, keren! Kita selisih dua puluh," sahut Kira. Reaksinya membuatku mau tak mau penasaran dengan hasil yang didapatkannya dalam mata pelajaran paling ditakuti itu.
"Apa? Kamu dapet nilai sempurna?" tanya Mia tidak percaya. Namun matanya terlihat berbinar seperti melihat sesuatu yang luar biasa.
"Hehe ... sebenarnya bukan. Maksudku senam puluh." Kira menggaruk tengkuk yang sepertinya tidak gatal. Ekspresi takjub Mia seketika berubah menjadi tatapan datar. Benar-benar di luar dugaanku.
"Aku pikir ada yang bisa ngalahin nilai cowok sok-tau itu." Mia mendengus sebal. Aku memiringkan kepala, apa yang dia maksud adalah Kevin? "Yah, maksudku itu. Si ketos sekaligus ketua kelas abadi."
"Kamu ini kenapa sih? Padahal waktu aku baru masuk di sini, kamu sendiri yang ngajak dia buat sama-sama selidiki kasus," balas Kira. Jujur saja, aku juga tidak mengerti dengan hubungan mereka sebagai rival waktu itu. Apa ini karena Kevin sempat mengungkapkan perasaannya di koridor yang tentu saja sedang ramai.
"Udahlah, Kira. Aku males bahas anak itu." Mia melambaikan tangan sebagai tanda jika dia ingin mengubah topik. Kira menghela napas panjang, entah karena apa.
"Ya udah deh, ganti topik. Kalian tau sesuatu nggak tentang ruangan kosong di lantai tiga?" Kira mengambil tempat di salah satu kursi yang masih kosong di hadapanku.
"Ruangan kosong?" Aku juga ikut penasaran. Pasalnya, waktu itu aku tidak pernah mendengar jika di sekolah ini ada ruangan tak terpakai selain laboratorium bahasa yang masih dalam proses renovasi.
"Iya, kemarin waktu latihan karate, aku nggak sengaja liat ada ruangan kosong di sana. Dari jendelanya yang udah kotor banget, aku bisa pastiin kalo ruangan itu nggak pernah dipake," papar Kira.
"Hmm ... aku memang pernah denger dikit sih info tentang ruangan kosong. Mungkin itu bener ruangan yang kamu maksud. Katanya di sana dulu pernah ada ruang kelas. Tapi sejak ada kejadian siswa yang jatuh dari sana — entah didorong atau gimana — ruangan itu tetep dikosongin sampe sekarang. Mungkin mereka nggak mau kejadian sama keulang lagi." Aku dan Kira serempak mengangguk setelah cukup puas dengan penjelasan Mia.
"Tapi walaupun begitu, seharusnya jangan sampe dikosongin kan? Ntar kalo sampe ada hantunya gimana?" aku berpendapat.
"Iya, bakalan lebih parah kalo tempat itu dijadiin TKP pembunuhan," Kira menambahkan. Mungkin gadis oriental itu terlau banyak menonton film detektif sehingga pemikirannya tak pernah terlalu jauh dari para pelaku kriminal.
Mia hanya mengedikkan bahu. Barangkali karena tidak tahu harus berkata apa lagi. Memang menurutku misteri ruangan itu tidak akan terbukti sampai kita yang menyelidikinya sendiri. Namun sepertinya mereka tidak akan tertarik menyelidiki sesuatu yang lebih remeh daripada yang baru saja mereka pecahkan.
Tanpa terasa, bel masuk kelas berbunyi. Pelajaran seni budaya akan segera dimulai. Minggu lalu, Bu Widya menjelaskan jika hari ini kelas akan melakukan praktik vokal grup. Dan nampaknya beliau masih mengingat ucapannya seminggu lalu. Buktinya, sekarang siswa di kelas sudah dibagi menadi berpasangan, laki-laki dan perempuan.
Banyak dari mereka yang tidak terima dan meminta bertukar pasangan. Namun Bu Widya dengan santai membalas, "Jika kalian berkata begitu, terlihat jelas jika kalian memiliki rasa pada pasangan kalian." Menurutku itu benar sekali, jika tidak ada apa-apa, mengapa mereka harus risih di dekat partner.
Akhirnya, diam-diam ada yang berbisik padaku. katanya mereka ingin bertukar partner denganku. Aku tidak heran jika melihat laki-laki yang berada di dekatku adalah si ketua kelas abadi. Aku juga tidak keberatan bertukar partner seandainya tidak mengingat ancaman Bu Widya bagi siapa pun yang berani melakukannya.
"Jadi, bisa kita mulai latihannya?" tanya Kevin setelah mendapat instruksi dari guru seni sekaligus pembina paduan suara sekolah itu. Aku hanya mengangguk sebagai jawaban. Kapanpun aku siap.
Kami berhitung sampai tiga secara serempak lalu memulai latihan dengan lagu yang sudah dipilihkan oleh Bu Widya. Anehnya, baru saja sampai di bait pertama, aku mendengar sebuah suara sumbang. Setiap kelompok menyanyikan lagu yang berbeda. Tidak mungkin aku yang salah nada. Aku hafal benar lagu ini.
"Tunggu, Kevin. Coba kau nyanyi sendiri dulu," saranku. Pemuda itu tidak berkomentar kemudian melakukan apa yang kuminta. Aku menyimak dengan segenap perhatian. Ternyata dugaanku tentang suara sumbang itu benar.
"Kenapa?" tanya Kevin heran katika aku memintanya untuk berhenti.
"Kamu buta nada ya?" tanyaku sedikit curiga. Ia hanya mengedikkan bahu sebagai jawaban. Aku menepuk dahi. Benar-benar tidak kusangka. "Astaga, sayang sekali kalau kau buta nada. Padahal suaramu itu cocok untuk nada tinggi, aku berkomentar."
"Yah, kau juga. Sayang sekali perhitunganmu sedikit lambat. Padahal kacamata itu menunjukkan jika kau adalah kutu buku yang biasanya genius," sahutnya. Aku mendelik. Darimana asal tuduhan tak berdasar itu? "Kalo hitunganmu nggak lambat, kenapa nilai kamu pas ulangan jelek," lanjutnya.
Apa katanya? Nilai delapan puluh itu termasuk B, masih baik. Setidaknya nilaiku masih berada di atas KKM. Huh dasar sombong. Mentang-mentang dapat nilai sempurna. Aku tidak heran mengapa Mia sebal karenanya sekarang.
"Hei, nilaiku masih bagus tau!" sergahku tidak mau kalah. Baru saja Kevin hendak membalas, sebuah bayangan muncul di samping kami, menghalangi nisar matahari yang menerangi kelas. Kami berdua ragu-ragu menoleh hingga menemukan Bu Widya tengah berdiri dengan tatapan tajam.
"Kalian berdua ...."
Aku menghela napas panjang. Seraya mengelap kaca jendela, aku membayangkan wajah galak Bu Widya yang muncul akinat sedikit perbuatan jahil si ketua OSIS. Sedikit informasi, guru seni budaya berusia empat puluh tahun itu memerintahkan kami berdua membersihkan kelas XII yang lama — ruangan yang dimaksud Kira — sebagai hukuman.
"Huh, menyebalkam. Ini semua gara-gara kamu," gerutuku seraya memeras lap yang ada di tanganku sejak sepuluh menit yang lalu.
"Yah, sebenernya aku mau berterima kasih. Berkat kamu, aku bisa keluar dari kelas membosankan itu," balas Kevin. Aku segera menoleh. Bukannya membantuku membersihkan kaca, dia justru memandangi bangunan sekolah lewat ujung koridor.
Aku menghela napas panjang. Aku sudah menyapu, mengepel lantai, mengelap kaca sendirian. Sedangkan dia hanya diam saja dengan alasaan tidak bisa melakukan pekerjaan bersih-bersih dengan baik. Coba saja aku menuruti perkataan salah satu dari mereka untuk bertukar partner, ini tidak akan terjadi.
"Hei, kamu liatin apa sih?! Bantu aku dong," seruku. Laki-laki itu tidak menjawab. Dia tetap melihat ke arah semak-semak di belakang sekolah. Aku tidak bisa menahan rasa penasaranku, kemudian berjalan mendekatinya. 'Kamu liat apaan sih?" Sesaat setelah pertanyaan itu terlontar, mataku menangkap sesuatu yang aneh di antara tumpukan sampah.
"Ya, aku melihat itu sejak tadi," sahut Kevin datar. Aku hanya bergeming. Ternyata apa yang dikhawatirkan Kira benar-benar terjadi hari ini. Satu hal yang muncul di benakku akan menda aneh itu. Mayat.
------x---x------
"Lalu, bagaimana kelanjutannya? Siapa yang membunuh anak itu?" Siswa pindahan delusional itu bertanya tidak sabaran. Aku berdecak kesal. Apa dia belum puas setelah mereka — termasuk para guru — yang kebetulan berada di lorong memandangku dengan aneh hingga aku menjadi sedikit malu karenanya?
Bahkan, aku sempat berpapasan dengan Bu Riska yang kemudian berkata, "Wah, Ibu tidak menyangka akhirnya kamu tertarik pada laki-laki, Sisi." Saat itu, Ellion hanya bisa tertawa kecil, tanpa peduli denganku yang mati-matian meyakinkan wali kelas XII-IPA 2 itu jika semua ini bukan seperti yang terlihat.
Menyebalkan sekali. Lagipula, tidakkah dia mendengar bel masuk kelas? Sekarang, jika aku terlambat masuk, aku bisa dihukum membersihkan ruangan itu untuk kedua kalinya. Yah, mungkin jika aku melakukannya sendiri tidak terlalu buruk. Justru akan menjadi masalah jika aku melakukannya dengan anak ini.
"Ngapain kamu masih ikutin aku?! Nggak denger apa kalo bel udah bunyi?! Cepet masuk kelas sana," sergahku yang sudah bosan diikuti. Ellion hanya memasang tampang innocent seperti biasa meskipun dia sudah membuntuti hingga koridor kelasku. Jika begini, Mia dan Kira pasti akan mengejekku lagi.
"Oh, gitu ya. Baiklah, artinya kita akan bertemu lagi besok kan?" anak itu bertanya memastikan. "Oke, aku pergi dulu ya. sampai jumpa, Agatha-chan," pamitnya lalu berjalan menuju ke kelas sebelas yang berada arah yang berlawanan.
Dengan alasan penasaran kelanjutan kasus lantai tiga, anak itu akan memiliki alibi untuk mengekoriku sekarang. Dengan begitu, aku tidak akan bebas darinya. Ah, menyebalkan. Apa yang sebenarnya dia inginkan? Tidakkah dia sadar jika aku bukan cinta pertamanya?
Ah, Sisi. Kau pasti sudah gila.
*
Yei!! Ichi update lagi.
Jangan lupa vote dan comment ya 😊.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top