File 23
“Ellion … jauhi aku,” ucapku lirih. Dadaku sudah terlalu sesak untuk membayangkan apa yang akan terjadi kalau andai aku tak mengucapkan selamat tinggal … hari ini. Ya, walaupun itu sulit setidaknya itu akan memperbaiki jalan takdir yang pasti akan berakhir lebih buruk karena kehadiranku. Yah, walaupun ini sakit … setidaknya aku tidak perlu merasa bersalah karena menuruti ego.
“Kenapa, Agatha?” tanya laki-laki itu dengan suara yang sedikit bergetar. Meskipun air kembali menggenang di pelupuk mata, terus kucoba untuk menatap lurus manik coklat muda yang dulu hanya ada di dalam halusinasi. Dan kini, mau tidak mau aku harus melepasnya pergi hingga perlahan memudar dalam mimpi itu.
Aku tidak peduli. Hanya ini yang bisa kulakukan sebagai ‘teman’. Jika hanya akan menghancurkan hidupnya, lebih baik aku terhapus dari ingatan anak itu, atau bahkan semua orang. Karena aku hanyalah seorang pembunuh mimpi orang lain yang bersembunyi sebagai seorang kutu buku dengan kacamata tipis.
“Kamu nggak ngerti? Aku mau kamu menjauh. Kalo kamu memang pernah suka, lupain aja seolah kamu nggak pernah kenal sama aku,” balasku. Pemuda itu tampak tercengung. Apa ia tidak mengerti? Setelah semua yang kulakukan, dia masih ingin menyerahkan mimpinya untuk kuhancurkan seperti yang lain.
“Kamu belum ngerti?! Jauhi aku, pergi sejauh mungkin. Pergi … sebelum aku membunuhmu … seperti yang lain,” lirihku di antara tangis yang mulai menjadi-jadi. Sakit sekali jika mengingat kalimat yang terakhir. Namun, tak ada pilihan lain untuk menjelaskan semuanya pada Ellion yang tak kunjung mengerti.
“Agatha, kau tidak perlu memakai hiperbol untuk mengatakan kau tidak suka padaku. Karena aku tahu kau bukan pembunuh yang tak punya rasa bersalah,” katanya sambil menggenggam erat kedua tanganku. Aku tetap mematung meskipun dengan napas menderu cepat. Aku sudah berjanji untuk mengubur semua ingatan itu. Tapi aku tak punya cara lain.
“Aku tahu jika mereka sudah membuat masa kecilmu menjadi tidak menyenangkan untuk dibicarakan. Tapi aku tahu itu tak mungkin membuatmu menjadi berkepribadian ganda,” kata Ellion lagi. Aku menunduk dalam-dalam. Masalah yang kubuat lebih besar walaupun aku tidak memiliki kepribadian ganda. Masa kecilku hancur … karena diriku sendiri. Akulah yang menyebabkan semuanya. Termasuk kecelakaan itu. Tapi terlalu sulit untuk mengatakannya.
“Aku tidak akan mengingkari janji kita dulu, Agatha. Kalaupun memang itu yang terjadi padamu, aku akan bertahan. Walaupun aku harus mati, setidaknya aku tidak mati sebagai pengecut yang meninggalkan temannya. Aku tidak akan pergi,” ujarnya sembari melepas genggaman hingga kedua tanganku bernapas lega.
“Bodoh!” umpatku seraya melayangkan tanganku ke arah wajah anak itu. Berjanji menjadi teman, bagiku sama artinya berjanji tidak akan menyakiti. Aku melanggarnya. Iya, artinya sekarang dia boleh pergi kemana pun ia mau. Pergi tanpa harus takut menjadi seorang pengecut. Pergi … sebelum aku membunuhnya.
“Agatha … kau ….” Laki-laki itu memegangi pipi kanannya yang memerah. Tak kusangka yang aku lakukan itu membuatnya kehilangan kata-kata. Kupejamkan mata, sembari berharap dia akan meninggalkanku di tempat ini sendirian. Anehnya ia tetap bergeming saat kuputuskan untuk membuka mata.
“Apa tamparan itu belum cukup? Apa kamu belum cukup benci sama aku?!” tanyaku setengah berteriak sambil menahan sesak. Jujur saja, aku tak tega melakukannya. Tapi, jelas itu masih lebih baik daripada harus membunuhnya seperti yang lain. “Apa kamu belum mau pergi? Cepet pergi … sebelum kamu mati karena aku.” Suaraku berubah menjadi sebuah bisikan yang sedikit bergetar.
Di saat air mataku semakin deras, kurasakan dengan jelas tangan yang mengusap kedua bahu. Hembusan napas hangat di telingaku turut menambah rasa sesak. Terlebih ketika kedua lengannya melingkar di punggungku. Aku menghela napas panjang. “Apa kamu udah bosan hidup, Ellion? Apa kamu mau mati?” bisikku.
“Jika itu resiko menjadi temanmu … tidak masalah,” ucapnya sambil melepas pelukan eratnya. Aku menghela napas panjang. Dia pasti sudah gila. “Agatha, lihat aku,” katanya sambil mengangkat sedikit wajahku. Walaupun begitu, kuusahakan untuk menatap ke arah lain. Aku sudah tidak kuat.
“Pasti banyak yang terjadi selama aku pergi yang membuatmu menjadi begini, Agatha. Bisa kau jelaskan semuanya,” pinta pemuda itu sambil tersenyum.
“Kamu belum ngerti juga? Aku sendiri yang bikin masa kecilku hancur. Aku juga yang bikin harapan orang lain hancur. Seandainya aku nggak pernah lahir … semuanya pasti bakalan lebih baik.” Segera kusingkirkan tangan Ellion dari wajahku. Isakan itu semakin parah ketika kalimat yang kuucapkan berakhir.
“Aku tau kalo aku ini pembawa sial, Ellion. Semua orang di sekitar aku – cepet atau lambat – bakalan dapet masalah besar. Wali kelas kita meninggal karena kecelakaan tepat di hari pembagian raport, dan aku yang jadi peringkat pertama. Ketua OSIS di SMP sekaligus temen deketku meninggal karena kanker darah,” jelasku. Ellion hanya mendengar tanpa komentar.
“Bukan cuma itu. Adik kelas yang katanya suka sama aku juga kecelakaan tepat di hari dimana dia ngungkapin perasaannya. Kamu juga ngalamin masalah kayak yang lain. Walaupun kamu selamat dari kecelakaan itu, tetep aja orang tua kamu jadi korban. Sekarang, mumpung kamu belum sial kayak mereka, cepet pergi jauhi aku,” terangku panjang lebar. Ellion tetap diam.
“Kalo kamu belum mau percaya. Kamu harus tau kalo semua cowok yang aku suka dapet masalah. Itu kenapa aku memutuskan untuk nggak pernah jatuh cinta lagi. Aku juga mau bilang sama kamu. Aku adalah salah satu dari lima orang yang selamat dari kecelakaan bus pas lagi study tour waktu aku kelas lima SD. Aneh, kenapa pembunuhnya nggak mati sekalian?” Aku terdiam sejenak untuk tersenyum sinis meskipun air mataku tetap mengalir.
“Kamu mau bilang kebetulan? Nggak mungkin sebanyak itu namanya kebetulan. Orang tuaku mulai berantem, sampe akhirnya cerai setelah ngerayain ulang tahunku yang kedelapan. Apa itu juga kebetulan? Kamu belum percaya kalo aku ini pembawa sial?” Aku melepas kacamata agar lebih leluasa menyeka air mata yang mulai membuat pipiku seperti sungai.
“Ya, aku akan berkata jika itu hanya kebetulan. Aku tidak akan percaya pada sesuatu apa pun yang membawa kesialan. Sadarlah. Itu hanya bualan orang-orang yang tidak percaya takdir, Agatha,” tegas laki-laki itu. Aku mendesah. Sesulit itukah membuat orang lain percaya? Jika ya, maka menyelamatkan mereka adalah hal mustahil.
“Baiklah, masih banyak orang yang menderita karena aku. Kak Agnes, violinis kebanggan sekolah … dibunuh tepat di depan mataku sendiri. Kamu mau tau? Dia minta aku main piano jadi pengiring di acara akhir tahun seminggu sebelumnya. Apa itu juga kebetulan?” Entah sudah berapa kali aku bertanya seperti itu. Tetapi aku tidak pernah mendapat jawaban yang membuatku puas.
“Kamu belum puas denger cerita orang-orang yang aku bunuh? Oke, kamu pasti masih inget soal anak korban pembunuhan yang kamu maksud di depan ayah angkat kamu. Sedikit info, aku sempet ketemu sama anak itu di halte bus pas pulang sekolah sebelum dia dibunuh,” jelasku lagi. Anehnya, Ellion yang sudah lama sekai terdiam mengangkat sudut bibir hingga membentuk sebuah senyuman.
“Sekarang kamu udah puas, kan. Jadi cepat … jauhi aku.”
*
Jeng jeng jeng! Terungkaplah fakta di balik “Scarlet Case” dan alasan Sisi nggak pernah mau tertarik sama cowok.
Maap ya, kemarin nggak update. Nggak tau kenapa mata rasanya berat banget tiap mau buka microsoft word. Jadi, karena takut nggak dapet feel, Ichi nggak lanjutin deh.
Susah memang kalo mau nulis bagian yang agak nge-drama kayak gini. Harus nunggu mood seratus persen full supaya bisa gampang merasakan apa yang tokoh rasakan. Hehe …. 😁
Jangan lupa vote dan comment ya 😊.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top