File 18

Sepulang sekolah, Kevin menghadang di depan kelas dengan wajah garang. Aku menelan ludah. Sulit sekali melewati tubuh laki-laki yang bergeming di bawah bingkai pintu. Sehingga yang bisa kulakukan hanya menghela napas panjang. Dia menunggu hingga kelas suasana kelas benar-benar sepi, hanya agar bisa bebas menyeretku entah kemana kali ini.

Aku tidak memberontak. Satu hal yang kupelajari darinya. Menentang keinginan Kevin berarti menyakiti diri sendiri, dalam makna yang sesungguhnya. Selain itu, Kira pasti akan pulang dengan orang lain. Jadi, tidak perlu memikirkannya. Lagipula tidak akan ada yang khawatir jika aku pulang terlambat.

Tampaknya dia berniat membawaku menuju ruangan kosong lantai tiga. Ah, dia pasti masih memikirkan ucapan Steve saat waktu istirahat. Kemungkinannya ada dua. Kevin tidak terima jika penyelidikan ini ditutup sebelum pelakunya tertangkap. Atau, pemuda itu hanya tidak terima jika dianggap payah oleh sang rival.

Apa pun itu, setidaknya masih ada kemungkinan baik yang bisa kuharapkan. Aku masih bisa berharap Ervina bebas dari tuduhan dan tidak menjadi "diriku yang dulu". Dan yang terpenting, masih ada kemungkinan bagiku untuk menemukan kebenaran dalam waktu dekat, walaupun mungkin semuanya berbeda jauh dari dugaanku.

Kevin melepaskan cengkeraman lalu mulai menyusuri koridor. Kerutan di dahi itu menunjukkan keseriusannya berpikir. Berjalan bolak-balik sembari. Beberapa kali kulihat bibirnya seakan sedang berkomat-kamit seperti dukun. Sudah kuduga. Keberadaanku tidak akan terlalu berguna di sini. Karena pada akhirnya, dia akan melakukan semuanya sendiri.

Baiklah, kalau begitu. Daripada hanya membuang waktu dengan bergeming di sini, aku juga akan memikirkan kasus ini sendiri. Walaupun kapasitas otakku mungkin tidak setara dengan mereka berdua, asalkan aku bisa ikut serta dalam mengungkapkan kebenaran dan menemukan pelakunya.

Sekilas, semua tersangka memiliki motif. Rifky bisa saja membunuh teman sekelasnya karena menurut pengakuan Lilis, dia menyukai gadis itu sejak masih duduk di bangku SMP. Jadi bisa saja dia membunuh korban agar bisa merebut Lilis. Dia sendiri juga mengaku sempat keluar kelas setelah Ervina pergi. Laki-laki itu juga tidak pernah menjelaskan alasan mengapa ia keluar.

Lilis, dia mengaku putus hubungan beberapa hari sebelum kematian Evan. Menurut pengakuannya, ia sangat ingin korban mati dengan cara yang lebih mengerikan. Caranya menjawab pertanyaan Kevin sangat mencurigakan. Gadis itu juga sempat meminta izin untuk keluar sebelum aku dan Kevin dihukum membersihkan ruangan itu.

Baiklah, sekarang Ervina. Aku harus berpikir objektif jika ingin menemukan pelakunya. Itulah yang kutahu. Walaupun mungkin sekilas kejadian ini mirip dengan kasus yang membuatku terlibat menjadi satu-satunya saksi, aku tidak boleh lengah. Bisa saja dia memanfaatkan keadaan untuk play victim. Oke, Sisi. Kau pasti bisa melakukan ini, bahkan lebih cepat dari Kevin.

Lagipula, yang kutahu dari Ervina sangat sedikit. Dia adalah adik tiri yang sangat dibenci oleh Evan karena dianggap menjadi penyebab keluarganya hancur. Namun, ia mengaku tidak pernah membenci kakak tirinya. Tidak peduli sekasar apa ia diperlakukan di rumah, di sekolah, atau dimana pun.

Lalu, sidik jarinya ditemukan di lengan kakaknya sehingga bisa disimpulkan dialah yang menyeret korban ke tumpukan sampah. Dia sendiri mengakui bahwa sempat datang ke TKP karena permintaan dari kakak tiri, meskipun akhirnya gadis itu hanya mendapat makian. Ia juga mengaku segera pergi sesuai perintah Evan, lalu kembali menengok ke ujung koridor untuk memeriksa kembali.

Seharusnya semua informasi yang kudapatkan sekarang bisa mengantarkanku pada satu kesimpulan mengenai benang merah kasus ini. Tapi mengapa aku seakan menemui jalan buntu? Aku sama sekali tidak menemukan titik terang. Informasi baru yang kudapat justru menambah rumit keadaan.

"Ternyata kalian benar-benar melakukan apa yang kukatakan?" Kami berdua menoleh ke arah tangga dimana suara berat itu berasal. Kevin memicingkan mata. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. Ah, lagi-lagi. Kenapa aku harus terjebak dalam pertarungan mereka?

"Kupikir kau akan langsung menolak ideku mentah-mentah," katanya sinis sambil berjalan sampai di depan jendela ruangan yang kami bersihkan beberapa hari yang lalu. Saat istirahat tadi, sebelum kami kembali ke kelas dia memang sempat berkata, "Sebaiknya selidiki saja sepulang sekolah."

Kupikir Kevin akan menganggap saran itu sebagai ungkapan sarkas seperti biasa. Karena menurut pemahamanku, Steve ingin berkata jika rivalnya cukup lambat dalam menemukan kesimpulan hingga perlu diberikan waktu yang lebih panjang untuk investigasi. Tapi baguslah, akhirnya si ketua kelas abadi itu berhasil mengambil sisi positif dari sindiran yang ditujukan padanya.

Kevin berjalan mendekat. "Kenapa kau belum pulang?" Ia ikut-ikutan menghilangkan intonasi dalam perkataannya.

"Membantumu," jawab Steve singkat. Tetapi aku bisa merasakan keberadaan kalimat sindiran dalam satu kata itu. Ya, aku seakan merasa anak itu sedang meremehkan teman sekelasku itu, menganggapnya tidak bisa melakukan apa pun jika tidak dibantu.

"Tidak usah repot-repot. Aku hampir berhasil," Kevin menyahut. Ia menghela napas panjang lalu memandang ke arah tumpukan sampah yang kini sudah dibersihkan.

Tentu saja siapa pun bisa menyimpulkan kebingungan yang mengganggu pemuda itu dari gerak-geriknya setengah menit terakhir. Termasuk Steve yang mulai menampakkan senyum sinis. Mungkin itu adalah satu-satunya ekspresi yang bisa ia tunjukkan sampai sekarang ini dengan cara alami.

"Sudah kukatakan. Itu tidak ada gunanya. Pelaku pasti sudah mendapat balasan yang setimpal atas perbuatannya." Laki-laki itu kembali mengulangi kalimat terakhirnya sebelum bel berbunyi. Kevin kembali menghela napas pelan memandang punggung saingannya yang berbalik menuju tangga lalu berhenti.

"Kuncinya hanya satu. Kebencian … yang menghancurkan segalanya," ujar Steve. Tanpa menunggu lebih lama, dia perlahan menuruni tangga. Bahkan menurutku langkahnya sangat pelan.

Kevin melipat kedua lengan di depan dada. Pandangannya tampak kosong. Hanya dalam hitingan detik, raut wajah pemuda itu kembali cerah. Matanya melebar seolah merasakan kehadiran cahaya dari depan sana. Dia segera menoleh ke arah sang rival yang baru sampai di anak tangga ketiga saking lambatnya.

"Aku mengerti. Terima kasih, Steve!" serunya. Aku mengernyit. Apa dia lupa kalau sejak beberapa hari yang lalu sampai cowok bermanik biru itu menuruni tangga, dia terlibat pertarungan dengan rivalnya itu? Sekarang dia tampak seperti seorang sekutu, bukan kompetitor.

"Akhirnya kau mengerti," balas Steve lalu melanjutkan langkahnya menuruni tangga. Tentu saja kali ini dengan kecepatan yang meningkat drastis, hingga menghilang dari pandangan dalam hitungan detik.

Aku mengernyit. Jadi maksud dari langkah siput tadi adalah menunggu Kevin mengerti ucapannya? Atau mungkin, menguji apa sang rival memiliki kemampuan untuk memahami kode dengan cepat. Dan jika tidak, ia akan melontarkan kalimat sindiran lagi.

"Kau sudah tahu siapa pelakunya?" tanyaku penasaran. Yang ditanyai hanya tersenyum miring. Seolah enggan menjelaskannya sampai aku mengutarakan teori yang kupikirkan tentang kasus ini.

Namun ternyata dugaanku salah. Ia berjalan mendekat lalu berkata, "Tentu saja, pelakunya adalah ...."

*

Yo! Ichi balik lagi.

Nggak kerasa kita udah sampai di bagian ini ya 😀. Menurut kalian siapa pelakunya?

Jangn lupa tinggalkan vote dan comment ya kalo kalian mau Ichi cepet update 😁. Wkwk ... bercanda kok, Ichi nggak maksa.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top