File 15

"Aku jadi kasihan. Apa kau tidak marah padaku?" tanya seorang gadis kecil yang mengenakan baju terusan oranye. Anak laki-laki di sampingnya hanya tertawa walaupun pipi kirinya sedikit lebam karena terjatuh.

"Kenapa aku harus marah, Agatha?" dia balik bertanya. Tangan kecilnya menyeka keringat yang mengalir deras karena cuaca yang cukup panas hari itu. Namun seringai tipis di wajah tak berdosa itu sama sekali tidak memudar.

"Kau sekarang sudah tidak punya teman. Harusnya kau tidak membelaku tadi," ucap gadis kecil itu sambil menjilati es krim yang mulai meleleh begitu disapa terik matahari. Wajah bulatnya tampak muram.

"Kau kan temanku juga, Agatha," ujar anak laki-laki itu. Gadis yang dipanggil Agatha itu memandang teman sekelas sekaligus tetangganya itu penuh tanda tanya. "Di sekolah, Bu guru kan sudah bilang. Kita harus berteman dengan siapa saja. Jadi, aku boleh berteman denganmu juga kan?"

Anak perempuan berambut panjang itu terpegun. Kalimat itu terdengar seperti hal biasa yang tidak aneh untuk diucapkan anak kelas satu Sekolah Dasar. Namun, dia terkesima karena baru pertama kali seseorang mengatakan kata 'temanku' dengan tulus padanya. Ia tak pernah menyangka akan ada yang mau berteman dengan dirinya yang dikenal sangat tertutup.

"Kenapa? Apa aku tidak boleh  menjadi temanmu?" gadis itu terkejut. Dia tampak seperti sangat gelisah. Seolah mendengar suara petir yang sangat dibencinya membuyarkan lamunan singkat itu. "Boleh kan?" pinta anak laki-laki itu sembari menggenggam telapak tangan kiri gadis di sampingnya dengan wajah penuh harap.

Anak perempuan bernama Agatha itu tampak gugup. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Dia hanya tahu satu hal. Kalau dia berteman dengan salah satu siswa terpintar di kelasnya itu, maka yang lain akan ikut membenci anak laki-laki itu. Agatha amat takut seandainya tetangganya akan ikut dibenci anak-anak lain. Namun di sisi lain, dia sangat ingin memiliki teman.

"Tapi aku tidak bisa bermain permainan laki-laki," dalih anak perempuan yang dipanggil Agatha. Anak laki-laki itu tertawa kecil sehingga deretan gigi susunya terlihat dengan jelas.

"Ya sudah, kita bermain permainan perempuan saja. Tidak apa-apa. Aku bisa menjadi pelayan toko, atau apa pun. Asalkan aku bisa jadi temanmu," sahutnya.

Gadis itu tertegun. Ia menunduk dalam-dalam. Matanya mulai berkaca-kaca, hingga tetesan kecil air mulai mengalir sekuat apa pun dia berusaha menahan. Ia menangis terisak dengan kedua lengan yang mencoba menyeka air mata. Pegangannya pada stik es krim sudah terlepas sejak tadi.

"Agatha, kau marah padaku? Maaf, aku hanya ingin jadi temanmu. Itu saja. Kalau kau tidak mau, tidak apa-apa," sesal anak laki-laki itu setelah gagal menenangkan gadis yang tinggal tepat di depan rumahnya. Ia menghela napas kecewa. Dia berpikir Agatha sedih karena permohonannya yang terlalu memaksa.

Namun sebaliknya, penyebab anak perempuan itu menangis karena sangat senang akhirnya ada yang mau menjadi teman, dengan tulus. Ia masih ingat dengan jelas bagaimana anak laki-laki itu mencoba menjadi pahlawan kesiangan yang menyelamatkannya dari mereka yang suka mengganggu, meskipun berakhir dengan sebuah lebam di pipi setelah terjatuh karena menginjak tali sepatu sendiri.

"Aku mau jadi temanmu, ...."

------x---x------

Kepala bagian belakangku tiba-tiba saja berdenyut keras sekali. Persis seperti ketika aku dulu mencoba mengingat kembali kasus pembunuhan yang membuatku menjadi tersangka yang terlupakan. Aku merintih seraya memeganginya. Rasa sakit itulah yang akhirnya membuatku sadar jika beberapa menit terakhir aku hampir terlelap.

"Sisi, kamu kenapa?" Kira melepas pulpen kemudian menyentuh pundak kananku. Aku mengernyit, menatap gadis oriental yang rela meninggalkan tugasnya karena khawatir pada keadaanku. Aku hanya bisa meringis, seolah rasa sakit itu tidak mengizinkanku untuk menjelaskan ini pada Kira.

"Excuse me, Mom. I think Sisi wasn't fine," ungkap Kira. Semua pasang mata tertuju padanya. Ah ya, aku baru ingat jika saat ini adalah jam pelajaran bahasa Inggris. Lalu, kami semua diberikan tugas sesaat setelah pekerjaan rumah yang membuatku begadang itu diperiksa.

"What's the matter?" tanya Bu Riska khawatir sambil berjalan mendekat. Dia menanyakan kondisiku. Namun, sama seperti sebelumnya, aku tidak bisa menjelaskan apa yang kurasakan. Beliau tampaknya sangat khawatir sehingga memerintahkan Kira untuk menemaniku ke ruang UKS.

Tanpa banyak komentar, gadis oriental itu segera memapahku yang entah mengapa tiba-tiba kehilangan kekuatan untuk berdiri. Aku tersenyum tipis. Tidak pernah kusangka kekuatan fisik teman sekelasku itu ternyata sebaik ini. Pantas saja jika guru olahraga kami selalu memujinya.

Dia dengan sigap mencarikan obat untukku di kotak P3K setelah memastikan aku berbaring dengan nyaman di salah satu ranjang, alih-alih menunggu petugas UKS. Aku hanya memandang gadis itu lamat-lamat. Aku juga tidak menyangkan jika dia bisa bertindak secepat ini. Mungkin selama ini, aku terlalu meremehkan kemampuannya.

"Ini ada paracetamol, aspirin, amoxicilin, sama satu lagi ini aku nggak tau kandungannya apa. Kamu cuma sakit kepala ringan kan? Atau gimana, kasi tau aku," katanya sambil menyodorkanku segelas air putih dengan beberapa strip obat yang dia sebutkan. Aku kembali hanya memandangnya lamat-lamat.

"Tapi ... mendingan kamu minum paracetamol aja deh. Aku takut kamu kenapa-napa." Gadis itu dengan cekatan membuka salah satu strip tablet yang dia maksud kemudian menyodorkan padaku bersama air putih yang dia ambil dari dispenser. Tidak ingin membuat Kira semakin khawatir, aku hanya melakukan apa yang dia minta tanpa banyak komentar.

"Kamu tau darimana kandungan semua obat ini? Terus, kok kamu bisa tau mana obat yang aman tanpa resep dokter?" tanyaku lirih setelah menemukan sandaran yang nyaman.

"Yah, aku tau sedikit sih. Kalo cuma obat buat sakit kepala, aku lumayan tau. Aku kan insomnia, jadi sering ngalamin juga. Soal obat mana yang aman dan mana yang harus pake resep dokter, aku cuma liat lingkaran di kemasannya. Kalo hijau berarti obat bebas, nggak masalah walaupun nggak pake resep. Kalo biru, baru harus dengan resep dokter," jelas Kira seraya mengembalikan gelas serta obat yang dia keluarkan.

"Kamu ternyata lumayan cocok jadi apoteker," gurauku. Kira tertawa kecil, kembali mendekat. "Kalo soal obat antidepresan kamu tau nggak?" aku bertanya, sebenarnya tanpa alasan penting.

"Kalo itu harus pake resep dokter. Tapi ... kok kamu malah nanyain antidepresan?" Kira mengerutkan dahi. Mungkin ia merasa jika pertanyaan itu benar-benar janggal. Aku hanya menggeleng lemah. Lagipula benar kan. Aku hanya iseng bertanya soal itu.

"Sisi, aku tau sakit kepala kamu itu bukan karena kurang tidur. Jadi, bisa kan kamu jujur sama aku. Sebenernya kamu kenapa?" tanyanya lirih. Aku kembali hanya menggeleng samar. Dia tidak perlu tahu soal masalah ini. Namun, sesuatu dalam hati kecilku seolah mencegah untuk berkata 'tidak apa-apa'.

Aku menghela napas panjang. Sekuat apa pun aku mencoba, aku tak bisa menghindar lagi. "Kira, kamu pasti tau gimana rasanya ... tersiksa sama ingatan sendiri, kan?"

*

Ichi pengen ngakak aja sih ngebayangin "anak laki-laki itu" yang sok-sokan jadi pahlawan buat Sisi kecil, tapi malah jatuh karena nginjak tali sepatu sendiri 😂. Yah, namanya juga anak kecil kan?😁

Hai, ketemu lagi sama Ichi yang mulai bertekad buat daily update 😉.

//Apa?//

Iya, daily update. Ichi memutuskan buat menggantung "We Will See the Sunshine Tomorrow" sementara yang mulai masuk konflik utama. Karena Ichi kewalahan kalo harus kelarin cerita itu barengan sama seri keempat yang mulai masuk antiklimaks.

Selain itu, Ichi juga lagi ngerencanain outline buat cerita misteri Ichi selanjutnya (judul masih dirahasiakan), sekaligus nyari ide buat seri kelima yang sama sekali belum ada gambaran. Hehe ... kebayang nggak sih gimana jadinya kalo imajinasi Ichi harus terbagi jadi empat dunia 😆.

Doakan saja semoga Ichi bisa update tiap hari 😃.

Oke, jangan lupa tinggalkan vote dan comment ya 😊.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top