File 11
"Hei, kau mau cerita atau tidak?" Ellion kembali membuyarkan lamunan itu dengan cara persis seperti yang dilakukan Kira. Aku mengerjap-ngerjap. Ternyata kami berdua masih saja berdiri di depan gerbang sekolah. Kalau kau tidak mau pulang, tidak masalah. Aku akan temani kau di sini.
Aku berdecak kemudian berjalan mendahului. Dia selalu saja mencoba untuk mencari-cari kesempatan. "Sebenernya, tujuan kamu ngikutin aku itu apa?" tanyaku ketus.
"Aku kan sudah bilang. Aku ingin mengembalikan ingatanmu, sekaligus mendengar ceritamu sampai selesai," terangnya tanpa beban. Aku mendengus sebal. Dia masih belum mau jujur rupanya.
"Tidak usah bohong. Aku tahu, kau punya tujuan lain. Pasti ada udang di balik bakwan," ujarku dengan nada mengintimidasi. Namun, Ellion hanya terkekeh.
"Siapa bilang selalu ada udang di balik bakwan? Aku pernah menemukan bakwan yang tidak ada udangnya, tapi tetap enak kok. Kau mau mencicipinya? Kebetulan sekali ibu angkatku pandai membuat itu," sahutnya tanpa rasa bersalah. Aku mengepalkan jemari geram di depan wajahnya, seolah ingin meremasnya seperti squishy. Mengapa dia tiba-tiba mengalihkan perumpamaan itu menjadi topik tentang bakwan.
"Kalau kau mau, mampir saja ke rumahku sebentar. Atau kalau tidak, nanti kuantarkan ke rumahmu. Bagaimana?" tawar anak itu lagi. Aku semakin geram. Bisa-bisanya dia malah out of topic di saat aku sedang ingin segera berpisah dengannya seperti ini.
"Aku tidak suka," dengusku. "Lagipula siapa yang membicarakan makanan itu? Aku hanya ingin berkata jika kau pasti memiliki tujuan lain. Aku berkata tanpa jeda." Ellion hanya tertawa kecil, seperti biasa.
"Ya sudah. Sambil jalan, kau bisa ceritakan lanjutan kasus itu kan?" Aku menghela napas panjang. Ini satu-satunya cara agar dia segera pergi meninggalkanku. Jika tidak, dia pasti akan mengekor sampai rumah.
------x---x------
Aku menjadi satu-satunya orang yang tidak keluar dari kelas setelah bel istirahat berbunyi. Hari ini, entah mengapa kursi tempat dudukku menjadi sangat nyaman hingga aku enggan bergeser. Lagipula, aku ingin menenangkan diri setelah dipaksa ikut penyelidikan yang dilakukan oleh dua laki-laki dengan perangai seperti api dan es. Jika aku keluar, mereka akan menemukanku lalu memaksa ikut aksi gila selanjutnya.
Suasana kelasku begitu sunyi untuk beberapa saat, hanya ada suara dari koridor. Sebelum sebuah langkah terdengar mendekat, tapi aku tidak terlalu mengindahkannya. Karena aku tahu, paling-paling itu hanya teman sekelas yang tidak ada urusan penting denganku.
"Ikut kami." Aku terlonjak oleh sebuah gebrakan di mejaku yang terletak di paling pojok. Tanpa pikir panjang, aku sedikit mendongak demi memastikan orang yang melakukannya. Ternyata dugaanku mengenai ketua kelas abadi itu benar, dialah yang tadi mengagetkanku.
Aku menghela napas panjang saat dia kembali menarik lenganku pergi. Melawan cengkeraman itu sama saja seperti mencari kutu dalam ijuk. Tenagaku tidak sebanding dengannya. Lebih baik aku ikut saja. Padahal menurut logika, mereka sama sekali tidak membutuhkan bantuan jika mengandalkan kemampuan otak yang jauh di atasku.
Kevin terus menarik lenganku sampai di ruangan lantai tiga yang kini sudah lebih bersih karena kami. Eh, salah. Maksudku karena aku yang membersihkannya sendirian. Mataku menangkap seseorang bersandar di depan pintu. Aku tidak bisa menyimpulkan apa maksud dari raut wajahnya yang selalu tampak misterius.
"Jadi, kau sudah menemukan sesuatu?" tanya Kevin.
"Mengapa kau tidak tanyakan itu pada dirimu sendiri yang sedikit lambat itu?" balas sang rival tanpa intonasi. Namun itu saja sudah cukup membuat Kevin tersinggung. Dia tampak geram, hingga mengeratkan cengkeramannya.
"Hei, lepaskan aku dulu," lirihku. Untunglah ketos buta nada itu segera melepaskan lenganku yang tampak memerah karenanya tanpa menunggu lebih lama.
"Mayat korban ditemukan di antara tumpukan sampah. Seperti yang kita simpulkan, korban jatuh tepat di atas semak belukar yang ada di bawah. Jadi, tidak salah lagi korban terjatuh dari ujung sana," Steve menjelaskan analisisnya seraya menunjuk ke tempat dimana Kevin diam selama beberapa saat karena melihat hal aneh kemarin.
"Kita belum bisa memastikan ucapan adik tiri korban benar atau tidak. Hanya ada satu tangga yang menghubungkan tempat ini dengan lantai di bawahnya. Karena itu, sangat mustahil bagi orang lain untuk menyelinap ke tempat ini jika mengacu pada kesaksiannya. Maka satu-satunya yang paling berpotensi menjadi pembunuhnya, adalah Ervina sendiri," paparnya lagi.
"Kan sudah kubilang. Dialah yang paling mencurigakan. Lagipula, bukankah jelas jika caranya menjawab pertanyaanmu itu aneh. Dia pasti mencoba membohongimu. Jika kau perhatikan, tidak mungkin seseorang tiba-tiba menghilang tanpa melewati tangga ini," sambung Kevin.
Aku mengepalkan tangan geram. Ternyata semua orang selalu berpikiran sama. Dulu, mereka menuduhku karena aku satu-satunya orang yang ditemukan di TKP. Orang-orang berpikir jika tidak ada siapa pun yang bisa melakukan pembunuhan itu kecuali aku. Sekarang ini, kasusnya benar-benar mirip. Aku tidak boleh diam saja. Aku yakin gadis itu pasti bukan pelakunya.
"Everything is possible. Walaupun dunia ini tidak sama dengan film science fiction - teleportasi terkesan mustashil - pasti ada alternatif lain yang menjadi jawabannya. Masalahnya jika benar adik tirinya yang melakukan ini, mengapa sidik jari anak itu hanya ditemukan di lengan korban?" Kevin yang terlihat tertegun karena fakta itu menggaruk tengkuk.
"Yah, bisa saja kan. Seandainya gadis itu memakai sarung tangan, maka tidak akan ada sidik jari yang tertinggal kan?" laki-laki itu berargumen.
"Lalu jika memang begitu, mengapa masih ada sidik jari di lengannya. Mengapa dia tidak menggunakan sarung tangan untuk menyeret mayat korban, sekaligus menghilangkan bukti? Andai aku adalah pelakunya, aku pasti akan menggunakan benda itu hingga tidak ada bukti yang mengarah padaku," balas Steve.
Aku sedikit terpaku dengan kalimat, 'Andai aku adalah pelakunya.' Ternyata dia benar-benar memposisikan diri sebagai pembunuh. Tapi yang jauh lebih membuatku terpegun adalah kata-kata yang mengiringinya. Entah mengapa aku merasa seolah dia sudah terbiasa melakukan tindak kriminal itu.
Kevin tertawa hambar setelahnya. Dia tampak berpikir keras agar bisa mengalahkan argumen rivalnya itu. "Y-yah, lalu menurutmu bagaimana?"
"Pasti ada sesuatu yang kita abaikan. Benang merahnya pasti ada di salah satu informasi yang kita dapat," sahut Steve sembari berjalan menuju ujung koridor. Tempat itu cukup strategis untuk melihat sampai ke TKP yang sekarang sudah dibersihkan.
"Ya, aku tahu. Jadi, bisa kita menginterogasi gadis itu lagi?" tanya Kevin memastikan. Tidak masalah. Aku sudah menyiapkan diri untuk protes jika cara yang dia lakukan masih sama seperti kemarin.
"Kurasa informasi itu sudah cukup untukku. Jadi, lakukan saja sendiri jika masih perlu." Cowok kutub selatan itu menjawab tanpa menoleh sedikit pun.
"Baiklah, akan kulakukan." Lagi-lagi, pemuda itu mencengkeram lenganku. Entah untuk yang ke berapa kali. Tanpa pikir panjang, dia segera menarikku menjauhi Steve yang entah mengapa memasang senyuman miring ke arah kami dari ujung koridor. Aku tidak mempedulikannya. Yang lebih penting sekarang adalah berharap Kevin segera melepaskanku.
*
Jadi, chapternya Ichi potong lagi ya. Tersangka berikutnya bakalan muncul di file 12 ya. Bersabarlah menunggu sambil memikirkan keanehan tadi, hehe .... 😁
Jangan lupa tinggalkan vote dan comment ya 😊.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top