File 1
"Yah, waktu itu, aku belum terlau mengenal kalian. Tapi sekarang rasanya sayang sekali kalo nggak membantu." Ellion, murid pindahan sekaligus anak angkat dari pimpinan Polisi yang baru saja pergi bersama kedua bawahannya tadi beralasan. Aku menatapnya curiga. Bisa saja dia malah menimbulkan masalah setelah ini. Intinya, aku tidak akan percaya padanya semudah itu.
"Selain itu, sepertinya aku sudah mendapatkan apa yang aku cari," lanjutnya. Aku menaikkan posisi kacamata yang sedikit turun. Apa yang dia cari? Itu sedikit membuatku merasa curiga. Bagaimana tidak, ada kemungkinan dia akan membalas dendam pada kami setelah apa yang terjadi sore ini.
"Maksud kamu apaan sih?" tanyaku. Mia dan Kira yang berdiri di sampingku serempak mengangguk. Artinya, mereka berdua juga sama penasarannya. Yang ditanyai menoleh ke arahku. Senyuman licik tercetak di bibirnya saat berjalan mendekatiku.
"Kau sendiri, Agatha," jawabnya. Mia yang mendengar jawaban itu berdeham keras, Kira ikut-ikutan melakukannya. Aku tersentak. Agatha itu nama belakangku. Bagaimana mungkin dia tahu? Aku kan tidak pernah memberitahu nama lengkap. Ah, aku lupa. Dia kan hacker seperti cowok kutub itu. Pasti mudah mendapat info lengkap dengan cara seperti itu.
Ah, sial. Kenapa aku malah deg-degan? Tidak, Sisi. Kamu tidak boleh kalah dari dia. Ini sudah termasuk kejahatan. "K-kalian ini a-apaan sih. Namaku itu ...."
"Sisilia Agatha, aku sudah tahu itu. Aku sudah tahu segalanya tentangmu. Dan tentu saja itu karena kau adalah cinta pertamaku yang sudah lama hilang," potongnya. Aku hampir saja tersedak liur sendiri. Cinta pertama? Aku tidak pernah mengenal anak baru yang aneh ini sebelumnya. Mana mungkin dia cinta pertamaku.
"Kamu ngomong apaan, sih?! Maaf ya. Aku nggak pernah kenal sama kamu sebelumnya!" bentakku. Alih-alih menyerah, Ellion malah semakin mendekat. Membuat pipiku terasa seperti terbakar.
"Udahlah, Sisi. Nggak usah jual mahal jadi cewek. Lagian, siapa tau dia memang jodoh kamu," ucap Mia santai. Aku mendelik. Aku tidak akan menyerakan diriku pada cowok delusional seperti dia.
"Iya bener. Kamu harus terbuka, Sisi. Bukannya dia ganteng juga?" sambung Kira. Aku menggeleng kuat-kuat. Aku tidak akan mudah tertipu oleh tampang sok-keren seperti itu.
"Agatha, tak kusangka kau akan melupakanku. Padahal dulu, aku masih ingat sebelum aku pergi, kita pernah bergandengan tangan di bawah satu payung. Berjanji untuk tidak saling melupakan, apa pun yang terjadi," ucapnya.
"Oh my God!" Mia berseru heboh. Hatiku seakan ingin berteriak. Bukan karena kata-kata puitisnya. Tetapi karena jarak hanya beberapa senti dariku. Bahkan, tangan kanannya sudah bisa menyentuh daguku kemudian sedikit mengangkatnya. Sial! Kenapa harus ada adegan seperti ini.
"Lepasin! Jangan pernah sentuh aku lagi!" teriakku seraya menepis tangan laki-laki itu sekuat tenaga. Bisa kulihat dengan jelas, dia menggigit bibir bawah seperti saat Komisaris Polisi itu membentaknya. Napasku menderu cepat. Keringat dingin memenuhi wajah serta telapak tanganku.
"Baiklah, Agatha. Akan kuingat kata-katamu itu," lirihnya lalu pergi begitu saja. Kira yang baru saja kembali dari depan gerbang bersama Steve yang entah kapan memisahkan diri hanya bisa memandang heran.
"Kamu tega banget, Sisi. Dia mungkin beneran cinta pertama kamu. Aku udah liat, tatapannya nunjukin kalo dia jujur," kata Mia. Aku tidak peduli. Dia pasti hanya seorang delusional. Tentu saja dia jujur berdasarkan apa yang dia lihat dalam delusinya.
Aku tidak akan pernah percaya dnegan mudah. Pertama, karena aku belum pernah melihat anak itu sebelumnya. Bagaimana mungkin seseorang bisa jatuh cinta jika sama sekali tidak pernah saling mengenal sebelumnya?
Kedua, karena aku tidak pernah sama sekali jatuh cinta, juga tidak ada yang pernah jatuh cinta padaku. Penggemar rahasia? Aku tidak tahu. Kemungkinan besar tidak ada. Tapi, memang bukan berarti tidak mungkin ada.
Tetapi, dia bilang jika aku dan dia pernah berjalan bergandengan tangan, di bawah satu payung, dan berjanji untuk tidak saling melupakan. Itu seperti adegan dalam film romance yang sering diputar di setiap stasiun televisi di akhir tahun. Tantu saja sangat tidak mungkin. Aku tidak pernah dekat dengan laki-laki. Kecuali jika hanya sebagai teman.
Baiklah, Sisi. Jangan terlalu berpikir negatif tentang orang baru. Anggap saja jika dia salah orang. Dia lupa dengan nama cinta pertamanya lalu mencari daftar nama siswa di sekolah ini. kemudian dia menemukan namaku. Karena yang dia ingat hanya 'Agatha', itu mungkin saja terjadi kan?
"Jadi, gimana soal anak baru itu?" tanya Kira setelah hanya tinggal kami berdua yang masih bersama. Aku mendelik ke arahnya. Memintanya berhenti, tetapi percuma.
"Kamu sendiri. Gimana soal cowok kutub itu?" aku bertanya balik mengalihkan topik pembicaraan. Sudah kuduga, ini berhasil. Kira tampak blushing karena tahu siapa yang kumaksud. "Kalo nggak salah, tadi kamu pernah berduaan di depan gerbang. Sebelum dia pergi juga kamu sempet ngobrol. Masa kamu masih di friendzone," ucapku lagi.
"Sisi, kamu nggak ngerti. Dia itu penderita PTSD, Post-Traumatic Stress Disorder. Aku ke sana biar dia nggak teringat sama masa lalu dia lagi!" jelasnya sambil mencoba menutupi pipinya yang memerah. Padahal perubahan warna itu akan sangat jelas terlihat di kulit putih pucatnya.
"Iya, iya, aku tau. Itu artinya kamu peduli sama dia kan? Kamu bahkan sampe lupa kalo sahabat kamu sendiri lagi dideketin sama cowok delusional. Artinya kamu memang lebih suka dia daripada aku, kan?" sahutku dengan nada mengintimidasi. Kira menangkupkan kedua tangannya di pipi, kemudian berlari menuju rumahnya yang belum terlau jauh.
Aku hanya menggeleng samar melihat aksinya itu. Seratus persen aku yakin jika dia sedang kasmaran. Aku masih ingat dia pernah diselamatkan dari ledakan bom oleh pemuda bermata biru itu. Selang beberapa hari, dia kembali berhutang budi karena laki-laki itu mendorongnya hingga jatuh terduduk saat sebuah peluru nyaris mengenainya.
Mereka berdua memang aneh. Padahal aku yakin mereka berdua sebenarnya saling menyukai satu sama lain. Cowok keturunan Eropa itu berubah drastis setelah mengenal Kira. Sorot matanya mulai tampak bersahabat walaupun masih saja tajam. Aku bahkan melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Steve yang dikenal sebagai siswa paling dingin itu tersenyum saat gadis oriental mencoba mengompres pipinya yang lebam.
Seharusnya Kira bersyukur karena seorang anak dari CEO jatuh cinta padanya. Bukan terus menafikan perasaan. Sampai kapan pun, aku yakin dia tidak akan pernah berhasil. Aku yakin, tetanggaku itu pasti diam-diam menyimpan perasaan pada orang yang baru saja menuntaskan kasus ini.
Aku berjalan santai menuju halaman rumah yang terlihat tenang disiram matahari sore. Hahh ... sekarang aku akan pergi ke balkon untuk menghabiskan waktu senja, sambil menikmati secangkir teh hangat, atau melihat bunga mawar yang mekar. Itu pasti akan menyenangkan seperti bia ....
"Eh!" Aku mengerjap-ngerjap saat mendapati bayangan bocah delusional yang mengaku sebagai cinta pertamaku berdiri di depan pintu. Dia hanya bergeming di sana selama beberapa detik sebelum akhirnya menyadari keberadaanku.
"Oh, hai Agatha! Aku tidak menyangka kau masih tinggal di sini," ucapnya santai, tanpa beban. Aku seperti merasa seperti peluru dari senapan Riyan tiba-tiba mendarat di punggung, bahkan di kepala bagian belakangku. Headshot, mungkin itu namanya. Tapi sangat tidak mungkin jik sungguhan Riyan yang melakukannya. Ini pasti hanya ilusi.
"Ngapain kamu di sini?!" sergahku tanpa basa-basi. Lagipula untuk apa? Ini masih tergolong halus daripada mengusirnya tanpa bentakan. Ellion hanya menyeringai dengan tampang innocent.
"Aku masih ingat kata-katamu. Kau hanya bilang, 'Jangan pernah sentuh aku lagi,'" katanya mengikuti gaya bicaraku. Aku mengepalkan jemari geram. Aku memang tidak bisa karate. Tapi untuk mengusir tamu tak diundang ini, akan kulakukan semampuku. Kalau bisa, akan kupanggil Kira kemari untuk menghajarnya.
"Berarti, aku masih boleh datang ke sini selama nggak nyentuh, kan?" ucapnya tanpa rasa bersalah. Aku mendengus sebal. Bersiap-siap berlari ke rumah nomor 41 untuk memanggil the Queen of Karate itu.
"Oke, oke, aku tau kamu mungkin mau santai di balkon sambil liatin bunga-bunga mawar. Jadi, aku pulang dulu ya. Sampai besok, Agatha-chan," ujarnya lalu melangkah pergi. Aku hanya menghela napas tipis. 'Agatha-chan'? Jangan-jangan anak itu penggemar anime juga ya.
"Kurasa lebih baik kita tidak bertemu lagi," desisku.
*
Hahh .... Akhirnya. Setelah sebel seharian gegara PicsArt yang error, jadilah cover seadanya yang Ichi buat pake IbisPaintX. Menurut kalian gimana? Apa udah bagus?
Intinya sih. Thank you so much buat developernya. Aplikasi ini bener-bener membantu 😃.
Hai, Minna. Gimana perasaan kalian pas baca chapter ini? Mungkin di sini akan lebih banyak scene bercanda daripada seri sebelumnya. Yah, tau sendiriah kalo Steve itu nggak punya selera humor.
BTW, siapa kemarin yang di awal seri ketiga minta bagiannya Sisi karena pengen liat dia ngerasain romance? Sekarang juga Ichi turutin permintaan kalian. Jadi, nggak perlu nunggu spin-off yang mau dipublish entah kapan 😅.
Hmm ... mungkin updatenya cerita ini nggak bisa secepat seri ketiga karena Ichi harus garap bareng sama We Will See the Sunshine Tomorrow. Itu fiksi ilmiah yang temanya cukup dark. Yah, akibat kelamaan lockdown pemikiran Ichi juga jadi agak dark gitu. Tapi Ichi akan usahakan update secepatnya. Jangan lupa mampir ke sana juga 😄.
Oke, jangan lupa vote dan comment ya 😊.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top