The Last File

Aku mengerjap-ngerjap ketika sebuah cahaya menyilaukan menembus masuk ke dalam lensa mataku. Aku berada di sebuah ruangan yang hampir semuanya putih. Hanya aku sendirian di sini. Tidak ada siapa pun. Yah, beberapa kali aku memang sempat merasakan sakit. Tetapi, apa sekarang aku sudah mati?

Tiba-tiba, terdengar suara seperti pintu yang terbuka. Seseorang melangkah mendekat. Senyuman terlihat mengembang di wajahnya yang mulai menampakkan kantung mata. Aku memadangnya lamat-lamat. "Kau sudah sadar, Sayang?" tanyanya. Aku terdiam, bukan bermaksud mengabaikan. Tetapi karena lidahku benar-benar terasa kelu.

"Kata Dokter, hanya keajaiban yang bisa membuatmu bertahan dalam kondisi seperti itu. Dan ternyata, keajaiban itu benar-benar ada. Gadis itu datang seperti pahlawan," ucapnya. Aku tertegun. Aku masih hidup? Kenapa? Bukankah terakhir kali aku bisa dengan jelas merasakan jiwaku ditarik?

"Sebentar ya. Ibu panggilkan Dokter." Ibu keluar dari ruangan yang didominasi oleh warna putih itu. Meninggalkanku yang mulai bisa mencium sebuah aroma yang juga sangat familier selain darah, desinfektan. Ini pasti rumah sakit.

Seorang pria berpakaian serba putih membuka pintu lalu masuk bersama Ibu. Dia menanyakan keadaanku lalu melakukan sedikit pemeriksaan, kemudian berbicara dengan Ibu. Berkata jika kondisiku sudah mulai membaik.

Aku mengalihkan pandangan ke arah selang di punngung tangan kananku. Darah bergolongan AB negatif. Siapa yang mendonorkannya padaku? Tidak mungkin Dokter mengizinkan Ibu untuk mendonorkan darahnya dengan kesehatan yang tidak bisa disebut baik. Jika bukan dia, siapa yang melakukannya? Ergh ... kalau tidak salah Ibu berkata 'gadis itu datang seperti pahlawan'. Jadi, siapa dia?

"Mungkin Ibu harus percaya pada kata-kata Erick. 'Dunia selalu adil. Takdir tidak pernah salah. Hanya saja, kita yang terkadang terlalu bodoh untuk memahaminya'," kata Ibu setelah Dokter keluar dari ruangan.

Aku menghela napas panjang. Kenapa Ibu harus menyebut nama itu? Lagipula, kata-kata itu menurutku tidak benar. Jika dunia ini adil, mengapa aku harus menjadi satu-satunya anggota keluarga Edward yang paling dibenci, bahkan oleh keluarganya sendiri? Jika takdir tidak pernah salah, mengapa semua kejadian di hidupku justru membuat sisi lainku bangkit?

Suara pintu yang terbuka membuyarkan lamunanku. Seorang gadis mengintip dengan ekspresi malu-malu. Hari ini dia sedikit aneh. Kemana syal merah yang selalu melingkar di lehernya saat udara dingin seperti ini?

"Ayo masuk. Tidak usah sungkan." Ibu segera menarik lengan gadis itu agar segera masuk. "Erm ... baiklah, Bibi pergi saja ya. Sepertinya kalian butuh ruang untuk bicara."

"T-tunggu, Nyonya. Tidak per-...." Suara pintu tertutup kembali terdengar. Membuat gadis itu tidak jadi melanjutkan kalimatnya. Oh, Ibu. Mengapa engkau harus membuatku terjebak dalam suasana canggung seperti ini?

"Steve, kau tidak apa-apa?" tanyanya. Aku hanya mengangguk samar. "Syukurlah, kuharap kau tidak seperti ... Mitsuki nii-chan."

"Hm?" Aku sedikit tidak mengerti dengan apa yang dia ucapkan di akhir kalimat. Jika aku boleh tahu, itu bahasa apa ya?

"Tidak, bukan apa-apa," sahutnya cepat. Ergh ... ini sama anehnya dengan bisikannya waktu itu. Oh iya, bisikan.

"Kira, jika aku boleh tahu, apa yang kau biskkan padaku malam itu?" tanyaku penasaran. Kira tersentak kaget. Dia menunduk untuk menutupi ekspresinya yang sama sekali tidak bisa kutebak.

"Kau ... pasti hanya salah dengar," jawabnya. Ya sudahlah, mungkin memang benar aku hanya salah dengar.

"Steve, mengapa malam itu ... kau tiba-tiba jadi aneh?" tanyanya setelah keheningan cukup lama menguasai ruangan ini. Aku menatapnya heran. Apa yang dia maksud aneh?

"Waktu itu, kau hampir saja membunuh Pak Erwin. Begitu juga dengan Ade. Aku tahu, kau membencinya. Aku juga sama. Tapi  kurasa tidak perlu sampai membunuh," paparnya. Mataku membelalak tidak percaya. Tidak mungkin sampai sejauh itu. Ini pasti salah.

"Tidak, Kira! Itu bukan aku," tegasku. "Aku tahu ini sulit dipercaya. Tapi saat itu ... aku benar-benar tidak sadar. Tubuhku seperti sedang diambil alih. Percayalah padaku, aku tidak akan melakukannya sampai sejauh itu." Aku menggenggam pergelangan tangannya erat-erat. Kira mengangguk samar.

"Ya, aku percaya. Justru, aku ingin berterima kasih. Setidaknya, aku tidak perlu melawan mereka berdua sendiri," ucapnya samar. Tunggu! Apa, sendiri?

"Kau sudah berhasil melumpuhkan Pak Erwin, sampai akhirnya Ade melukai lenganmu hingga pingsan. Saat aku hampir terdesak, Riyan membantuku dengan menembakkan peluru kosong untuk memecah konsentrasi Ade. Akhirnya — aku tidak tahu apa itu benar atau hanya hiperbol — aku membuat tulang rusuknya sedikit patah," jelasnya. Jadi begitu kejadiannya.

Tapi, mengapa harus Riyan? Ah, mengapa aku membenci anak itu? Mengapa ... aku ingin dia lebih baik tidak ada?

"Ngomong-ngomong, aku bingung, kenapa luka kecil saja bisa membuatmu sampai harus mendapat donor darah?" tanya Kira lagi. Pertanyaan itu ... mungkin sebaiknya aku jawab saja.

"Sebenarnya ...." Baiklah, ini seharusnya tidak sulit. Mungkin aku memang harus mengatakan ini, kelemahan terbesarku. "... aku menderita *hemofilia sejak lahir."

------x---x------

Beberapa hari berikutnya, aku kembali menelusuri lorong rumah sakit. Tujuanku tak lain hanya untuk melihat kondisi Kevin yang — menurut informasi yang aku dengar — sudah sadar dari koma setelah operasi untuk mengeluarkan peluru di tubuhnya sukses.

"Hai," sapanya seraya mengulas senyum seolah tidak ada apa pun yang terjadi. Dia hanya sendirian di ruang rawatnya. Aku sedikit heran, mengapa tidak ada yang menjenguk?

"Kau ini ... untung saja masih ada keajaiban," balasku. Kevin tertawa kecil, mencurigakan sekali.

"Yah, sepertinya kau juga dapat keajaiban," ujarnya. Aku menatap bingung, tidak mengerti dengan apa yang dibicarakannya. Baik, sudahlah. Biarkan saja dia yang bicara. Aku tidak tahu topik pembicaraan yang pas.

"Aku ada sedikit permintaan. Tolong jelaskan alasanmu membenci Riyan, melarang Kira membuka paksa pintu gudang, nekad menjinakkan bom, dan lebih memilih untuk memotong kabel berwarna kuning," ucapnya panjang lebar.

"Kevin, jujur saja, lebih baik kau memintaku untuk menjelaskan teori relativitas khusus daripada semua itu," responsku.

"Aku sudah paham tentang teori fisika modern itu, Kawan. Jawaban dari pertanyaan ini jauh lebih mudah," terangnya. Aku tidak berkomentar. "Jawabannya ... kau sedang jatuh cinta. Iya, kan?"

"Entahlah, aku tidak mengerti," jawabku. Jatuh? Apa itu semacam ada gaya gravitasi yang bekerja pada sebuah benda, membuatnya tertarik ke pusat bumi? Lalu, cinta itu apa?

"Akan kujelaskan. Pertama, kau membenci Riyan ... karena dia mendapat lebih banyak perhatian dari Kira. Sangat wajar jika orang yang sedang jatuh cinta ingin mendapat perhatian lebih dari orang yang dicintainya lebih dari siapa pun.

"Kedua, kau melarang Kira membuka paksa pintu gudang, karena seseorang cenderung overprotektif terhadap orang yang dicintainya. Meskipun kau tahu Kira sama sekali tidak awam dalam dunia bela diri, kau tidak ingin dia terluka walau sedikit. Itu juga yang membuatmu nekad menjinakkan bom tanpa keahlian.

"Ketiga, alasan memilih untuk memotong kabel berwarna kuning saat menjinakkan bom yang merupakan usulan dari Kira. Padahal kita tahu jika dalam film, kabel yang seharusnya dipotong adalah warna merah. Itu karena, kau lebih percaya padanya dibanding siapa pun," jelas Kevin. Aku menghela napas. Walaupun sudah sepanjang itu, kurasa masih belum cukup jelas.

"Tapi, ada satu hal yang perlu kau ketahui. Walaupun dia lebih memperhatikan Riyan, dia sebenarnya sangat peduli padamu. Kira adalah anak tunggal. Karenanya, dia menganggapmu sebagai seorang kakak yang selalu melindunginya," jelas Kevin lagi. Kakak?

"Kakak! Tadi Kakak dipanggil Papa, lho." Seorang anak perempuan berambut sebahu terbayang sedang bergelayut di tangan kananku, terus menariknya sekuat tenaga. Aku hanya tersenyum tipis, memandangnya sayu. Alenna? Mengapa membayangkan dirimu saja rasanya begitu sakit?

"Hei, kau dengar aku?" ujar Kevin setengah berteriak membuat bayangan anak perempuan dengan mata seperti kacang almond itu lenyap. "Aku memang tidak melihatnya. Tetapi, membayangkan bagaimana dia menggunakan syal merahnya untuk menutupi lukamu sementara, dan kemarahannya saat Ade membuatmu pingsan, sudah cukup untuk menjelaskan semuanya, Steve."

"Apa menurutmu begitu?" tanyaku lirih seraya menggenggam erat syal merah yang melingkar di leherku.

"Begitulah. Seandainya aku yang ada di posisimu, tentu saja aku harus menjadi pasangannya juga. Aku tidak mau jika hanya dianggap sebagai kakak," jawabnya dengan manakankan kata 'hanya'.

"Aku tidak pernah berpikir sejauh itu, Kevin," komentarku.

"Tapi kau harus memikirkannya. Jika tidak, bisa saja Riyan atau siapa pun yang justru mendapatkan hatinya. Apa kau rela jika mereka merebut 'adik'-mu?" Aku tetap terdiam. Jika menuruti kata hatiku, jelas aku akan berteriak 'aku tidak rela'. Tapi ....

"Aku akan selalu mendukungmu, Steve," ucap Kevin sambil tersenyum. "Kau jauh lebih pantas daripada siapa pun yang aku kenal di kota ini." Aku masih tetap diam. Bagaimanapun, aku masih belum mengerti.

Jatuh cinta? Hmph, kurasa akan sedikit konyol jika aku mengerti sedang kata cinta saja aku tidak tahu. Jatuh yang selama ini kupahami sebagai salah satu bukti hukum fisika di sekitar, mengapa harus disandingkan dengan kata yang sama sekali tidak ada di kamus otakku?

Selain itu, mengapa semua ini menyakitkan? Jika dunia selalu adil, mengapa dia harus membuatku sesakit ini?

*

Konnichiwa, Minnasan!

Yeayy ...! Kevin selamat, dia nggak jadi mati. Artinya, side story yang kalian tunggu sedang Ichi usahakan agar up secepatnya.

Jadi Ichi mau jelasin dikit nih. *Hemofilia adalah sebuah kelainan yang menyebabkan darah penderita sulit membeku jika terjadi pendarahan. Bisa diakibatkan oleh kekurangan vitamin K atau faktor genetik. Hemofilia ini hampir semuanya diderita oleh laki-laki. Jadi, Steve bisa kena hemofilia karena ibunya itu hemofilia carrier (pembawa hemofilia). Dan seandainya dia punya saudara cewek, hampir nggak mungkin menderita hemofilia.

BTW, sampe sini ada yang paham nggak dimana clue buat masa lalunya Steve. Yah, kalo kalian nggak sadar sama clue di chapter ini, keliatan jelas kalo kalian nggak peka. Wkwk ..., bercanda doang kok.

Nb: bagi kalian yang sama bingungnya sama Steve tentang siap orang yang namanya Mitsuki, silahkan baca "Tsuki no Ko" work baru Ichi yang mash on going.

Oke, side story up setelah epilog ya. Yang terakhir, jangan lupa vote dan comment-nya (dasar kebiasaan! 😂)

*

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top