Side Story: Dearest Nephew

Chapter ini saya buat untuk menjelaskan masa lalu Pak Erwin. Alasan kenapa dia sampe jadi pembunuh. Jadi, buat yang males baca udah skip aja.

Happy reading 😊.

*

Brakk!!

Tubuh kecil anak laki-laki itu hanya bisa terpaku melihat adegan di depan matanya yang bagaikan video diputar lambat. Sebuah mobil melaju kencang tanpa ada tanda-tanda akan berhenti setelah menabrak wanita yang menjadi malaikat dalam hidup anak laki-laki tadi.

Ini bukan pertama kalinya. Beberapa tahun yang lalu, ia juga sempat melihat adegan yang seharusnya belum pantas dilihat anak seusianya. Saat itu, dia hanya bisa meringkuk ketakutan di kolong meja melihat sang ayah meregang nyawa setelah berusaha mengusir perampok yang masuk ke dalam rumah.

"Ayah! Ibu!" teriaknya frustasi. Kehilangan kedua orang tua di usia dua belas tahun — yang masih tergolong belia — telah melenyapkan separuh dari semangat hidupnya. Ditambah lagi dengan fakta bahwa "pembunuhnya" tidak pernah mendapatkan hukuman yang setimpal, sudah membuatnya merasa lebih baik mati daripada tinggal di dunia yang kejam ini.
.
.
.
.
.
"Sudahlah, Erwin. Aku tahu kau masih teringat pada kejadian itu. Tapi, kau bukan anak kecil lagi, kan?" ucap seorang pria pada pemuda yang hanya bisa memandangi bangunan-bangunan di kota dengan mata sendu melalui balkon rumah.

"Maaf." Laki-laki bernama Erwin itu mendongak, mencegah air yang sudah terkumpul di pelupuk mata mengalir. Kisah hidupnya selalu menyedihkan untuk diingat. Dia masih terlalu muda untuk mengalami depresi. Terlalu kecil untuk melihat sang ibu menjadi korban tabrak lari, serta sang ayah yang jelas-jelas dibunuh perampok.

"Ini sudah sore. Bisa tolong jemput Niko dari tempat les? Ada sedikit pekerjaan yang belum kuselesaikan," pinta pria yang tak lain adalah kakak sepupu Erwin. Pemuda itu hanya mengangguk patuh. Dia memang tidak pernah keberatan jika harus menjemput keponakannya.

"Paman tidak lupa hari ini hari apa, kan?" tanya Niko dengan polosnya. "Hari ini kan ulang tahunku yang kesepuluh," ujar anak itu riang, bahkan sebelum Erwin menjawab.

"Apa Paman sudah menyiapkan hadiah untukku?" tanya anak laki-laki itu lagi penasaran.

"Iya, sudah," jawab Erwin singkat. Niko kembali berseru senang, sama sekali tidak sadar jika dirinya adalah salah satu alasan bagi Erwin untuk bertahan hidup.

"Papa pasti sudah menyiapkan hadiah juga kan?" Niko sepertinya belum puas dengan kabar baik itu, masih menunggu yang lain. Erwin hanya mengiyakan seraya mengurangi laju mobilnya saat hendak berbelok.

Namun anehnya, mobil itu justru berhenti saat melihat sebuah kemacetan di jalur menuju rumah kakak sepupunya. Niko yang tidak sabar melihat hadiah pemberian ayah dan ibunya berdecak kesal. "Kenapa harus macet di saat seperti ini?" Mungkin itu yang sedang dipikirkannya.

Erwin yang mendengar sebuah suara sirine merasa ada hal yang tidak beres. Dia segera mengajak sang keponakan untuk keluar dari mobil, menerobos kerumunan. Hatinya waswas. Sangat janggal jika terjadi kemacetan parah di lingkungan perumahan itu. Sesaat kemudian, netra pemuda itu membelalak. Firasatnya tidak salah.

"Mama!" jerit Niko kalap hendak berlari menuju rumahnya yang diselimuti kobaran api. Erwin tidak tinggal diam, dia segera mendekap tubuh Niko meskipun terus meronta. "Mama ... pasti masih di sana .... Aku ingin  menyelamatkan Mama ...," lirih Niko di sela isak tangisnya.

Erwin hanya terdiam, mengusap lembut puncak kepala keponakannya. Mencoba membuat anak itu tenang. Meskipun dirinya sendiri sama sekali tidak menemukan ketenangan. Yang ada di hati kecilnya hanyalah secuil kebahagiaan yang mulai terbakar habis menjadi abu. Menyisakan asap pekat yang semakin mengungkung.
.
.
.
.
.
"Kau sudah pulang, Niko?" tanya Erwin pada keponakannya yang kini sudah beranjak remaja. Anak itu sekarang diterima di sebuah SMA tempat Erwin bekerja sebagai seorang guru pendidikan jasmani.

"Cepat ganti seragammu. Paman sudah siapkan makan malam," ucap pria itu ketika mendapati Niko enggan sekali mengeluarkan suaranya.

Niko hanya mengangguk lemah, berjalan gontai menuju kamarnya di lantai dua. Beberapa menit kemudian duduk di kursi ruang makan, masih dengan wajah murung. "Paman," ucapnya lirih sembari mengaduk jatah makan malamnya. "Kenapa aku masih hidup? Kenapa ... aku tidak mati saja ... seperti Mama?"

"Niko!" sergah Erwin seraya menggebrak meja. "Paman tahu semua ini membuatmu muak. Tapi, Paman tidak suka mendengar itu seolah kau sudah bosan hidup!" Niko takut mengangkat wajah, menatap langsung ke arah mata Erwin yang memperlihatkan kemarahan.

"Sadarlah, Niko. Setiap orang punya masa depan yang cerah. Tidak perlu terus melihat ke belakang. Karena bagaimanapun, ia akan terus menjauhi kita," ucap pria itu dengan nada yang turun satu oktaf.

"Sebentar lagi pelantikan pengurus OSIS baru. Kau tidak boleh sakit." Erwin mengusap puncak kepala keponakannya seperti hari itu. Meninggalkan Niko demi melakukan berbagai pekerjaan yang selalu dilakukannya sendiri setiap hari.

Niko menghela napas berat. Beranjak pergi meskipun piringnya masih terisi. Menaiki tangga menuju kamarnya dengan langkah berat. Meraih pulpen dan selembar kertas yang masih kosong. Entah apa yang dituliskannya.

Sementara itu, Erwin yang baru saja selesai membersihkan rumah kembali lagi ke ruang makan. Meregangkan ototnya yang sudah tidak sekuat ketika dirinya masih sesusia keponakannya. Sesaat kemudian, menghela napas begitu mendapati makanan yang tersisa lebih dari setengah di piring Niko.

Sang keponakan memang selalu seperti itu. Hampir setiap hari seolah ada beban berat di pundaknya. Berkali-kali Erwin manyarankan untuk berkonsultasi pada psikolog, berkali-kali juga Niko berkata "aku tidak sakit". Padahal, depresi jelas-jelas merupakan penyakit yang paling sulit diobati.

Erwin terperanjat ketika mendengar seperti suara benda terjatuh dari lantai atas. "Niko?!" panggilnya. Tanpa pikir panjang berjalan cepat menuju kamar pemuda itu. "Niko! Buka pintunya!!" seru Erwin seraya menggedor pintu kamar yang terkunci.

"Niko, biarkan Paman masuk!" Erwin semakin khawatir. Dia terus berusaha membuka pintu yang tetap bergeming. Dia tidak punya pilihan lain. Dengan tenaga maksimal, dia mendobrak pintu kamar Niko hingga terbuka lebar, memperlihatkan pemandangan yang tak pernah disangka-sangka.

Ia hanya bisa menatap tidak percaya pada apa yang dilihatnya di dalam kamar itu. Suara aneh tadi ternyata berasal dari kursi kayu yang jatuh. Namun, yang membuatnya shock tak lain adalah tubuh sang keponakan yang tergantung di atasnya dan mulai kehilangan suhu. "Niko ...," lirihnya.

"Paman, aku benar-benar minta maaf. Mungkin aku memang tak sekuat yang Paman katakan. Mungkin aku memang ditakdirkan untuk tidak memiliki masa depan. Mungkin, apa yang dikatakan gadis itu — Rosaline — benar, aku tidak pantas bersamanya. Mungkin apa yang dikatakan Juan selama ini juga benar, aku lebih baik mati. Sekali lagi, aku minta maaf. Maaf karena tidak kuat menanggung semua ini. Dan sekarang aku akan menyusul Mama di sana."

Erwin meremas surat yang ditulis sendiri oleh Niko sebelum mengakhiri hidup. Sudah cukup semua kengerian ini. Sudah jelas, semua anggota keluarganya dibunuh. Dia berpikir seperti itu setelah mengetahui jika kebakaran hari itu adalah ulah dari beberapa orang tak bertanggung jawab yang merusak jaringan listrik di rumah tetangga. Sekarang Niko, satu-satunya keluarga Erwin yang tersisa, juga "dibunuh".

"Baiklah, jika aparat penegak hukum tidak mau menghukum pembunuhnya, aku yang akan melakukannya," batin Erwin. Sebuah pisau dapur mengkilat tergenggam di tangannya. "Kalian yang merenggut Niko dariku ... tidak akan kumaafkan."

------x---x------

"Pak Erwin, lama tidak bertemu," sapa Kevin ramah. Yah, pemuda ini memang memiliki sebuah kebiasaan aneh. Yaitu, berkunjung ke tahanan untuk berbicara dengan pelaku dari setiap kasus yang dipecahkannya.

"Apa?! Kenapa kau belum mati?!" tanya Erwin geram. "Kau belum puas melihatku dipenjara seumur hidup?! Kenapa kau tidak mati saja!"

"Tentu saja, karena belum takdirku," jawab Kevin santai.

"Jangan bicara sembarangan. Kau tidak mengerti apa pun soal takdir!" balasnya.

"Pak Erwin, dengarkan ak- ...."

"Pergi!" Kevin hanya mengangguk patuh lalu pergi sesuai perintah gurunya. Meskipun belulm sempat mengatakan apa-apa, dia sadar jika Erwin sama sekali tidak ingin bertatap muka dengannya.

Bayangan seseorang muncul beberapa saat setelah suara langkah Kevin tidak terdengar. Erwin memicingkan mata, menatap pria yang lebih tua dua puluh tahun darinya itu lamat-lamat. "Dunia ini ... memang tidak adil ya?" ucap pria itu.

*

Hai, Minnasan!

Yak, sekarang kalian udah paham kan kenapa Pak Erwin tega bunuh muridnya sendiri? Hmm ... yah, bagi seorang Ichi Hikaru, sebenarnya bagian tersulit dari cerita psikopat itu bukan bagian pembunuhannya (soalnya punya imajinasi yang liar banget 😅). Tapi bagian tersulitnya itu pas nulis backstory, alasan kenapa dia bisa jadi gitu.

Soalnya rata-rata, psikopat itu punya cerita kelam di masa lalunya. Buat yang punya empati tinggi pasti duluan kasian sama mereka.

Dan yah, bukannya mau belain para pembunuh, sih. Tapi menurut Ichi, psikopat itu sebenernya cuma butuh perhatian. Itu aja, sih (Ichi ketularan pemikiran salah satu temen yang udah riset jauh banget tentang mental illness ini 😅).

Yah, pada intinya ya sama aja. Kita sebagai orang normal yang hidup di bumi ini harus saling mengasihi antar sesama manusia (lho, kok malah ceramah? 😂😂).

Oke, buat yang nugguin scene Kevin sama Mia, mohon bersabar. Ichi sedang berusaha menyusun kata-kata yang bisa bikin kalian baper. Soalnya, ini pengalaman pertama nulis romance, wkwk ... 😂. Doakan saja semoga tidak garing.

Nah, itu aja. Makasih buat yang udah baca. Jangan lupa vote dan comment ya 😊.

*

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top