File 8

Sepulang sekolah, sesuai janjiku, aku segera berganti pakaian kemudian pergi ke rumah Kira. Kebetulan hari ini tidak ada jadwal kursus bahasa Inggris. Jadi sebenarnya, aku bebas pergi kemana pun hari ini. Tetapi, aku hanya memilih untuk pergi ke sana. Selain karena ada yang ingin aku katakan, kesempatan ini sangat jarang mengingat kesibukan gadis itu sebagai wakil ketua tim karate sekolah.

"Jadi, apa yang ingin kau bicarakan?" tanyanya to the point. Aku yang baru saja menghempaskan tubuhku di atas sofa langsung menoleh.

"Yang mana?" aku balik bertanya.

"Tadi bukannya kamu sendiri yang bilang gitu? Kamu ternyata masih muda udah pikun ya?" Kira ringan menimpukku dengan bantal sofa. Aku tidak menghindar. Lagipula, sama sekali tidak sakit.

"Whoa, kamu jangan marah dong. Aku kan cuma nggak inget tadi di sekolah mau bilang apa aja," aku membela diri, balas melempar bantal sofa pada Kira. "Aku cuma mau nanya, sepupu kamu itu nggak pernah nelpon ya?'

"Sepupuku banyak tau," ujarnya dengan nada yang tidak bisa kusebut bersahabat. Aku tahu itu. "Maksud kamu yang mana?" Kira mengernyitkan dahi. Ah, itu benar juga. Kenapa aku ini payah sekali bertanya seperti itu?

"Maksudku yang itu, yang pernah dateng waktu kita lagi selidiki kasus. Cowok yang bantuin kamu ngelawan Galang sama anak buahnya pas lagi terdesak. Aduh ... gimana jelasinnya ya? Itu, yang beda umurnya sama kamu cuma sepuluh jam," jelasku. Kira yang tadinya terlihat malas membicarakan ini langsung terlihat antusias.

"Oh, jadi maksud kamu Kaitou?" tanyanya memastikan dangan mata yang sedikit berbinar. Dia bahkan langsung memegangi bahuku hingga hampir terjatuh. Aku hanya bisa geleng-geleng melihat sikapnya yang seperti anak kecil. "Tapi, kenapa kamu nanyain dia?"

"Ergh ... bukan apa-apa sih. Aku cuma mau nanya apa dia pernah ngasi pertujuk yang keliatan seolah nggak berguna kayak dulu?" tanyaku. Aku tidak berbohong. Memang itulah alasan aku mengorbankan hari bebasku untuk datang kemari.

"Yah, dia agak jarang nelpon sih akhir-akhir ini. Katanya, dia lagi fokus belajar supaya bisa masuk University of Tokyo," jelas Kira. Aku menghela napas panjang, habis sudah harapanku.

"Seharusnya, kita juga mulai fokus belajar saperti dia. Bukannya terlibat dalam kasus seperti ini," komentarku dengan sedikit kekecewaan tergantung di kalimat terakhir.

"Kau benar. Tapi yah, beginilah kita sekarang," balas Kira. Sesaat kemudian wajah yang semula terlihat ceria itu mendadak berubah menjadi lesu. Aku memiringkan kepala, sebenarnya ada apa?

"Ah, tidak apa-apa. Bukan hal penting kok," jawabnya cepat sambil tersenyum. Sangat jelas jika itu adalah senyum yang ia paksakan. Mendadak, akulah yang berubah lesu jika mengingat satu hal.

"Kira, apa menurutmu .... Apa Steve mungkin menjadi orang di balik semua ini?" tanyaku. Seperseribu detik kemudian aku sangat menyesal menanyakan hal semacam itu jika sebenarnya sangat takut mendengar jawaban bernada negatif.

"Everything is possible, Mia. Semua orang juga punya kemungkinan menjadi pelaku kriminal. Meskipun terkadang peluangnya hanya satu banding seribu." Aku tidak tahu apa harus merasa lega atau cemas. Pasalnya, itu sama sekali bukan jawaban positif — untuk tidak bilang jawaban negatif.

"Kau mengatakan itu bukan karena kau benci padanya kan?" tanyaku hati-hati. Dalam hati berharap semoga Kira bersedia mengonfirmasi jawabannya. Lebih berharap lagi jika dia memilih untuk percaya pada laki-laki itu.

"Oh, Mia. Apa yang kau pikirkan? Tentu saja aku tidak pernah membencinya. Dia adalah salah satu alasan bagiku untuk tetap aktif latihan karate meskipun beberapa bulan lagi ujian kelulusan," paparnya. Aku menghela napas lega. "Aku hanya ingin mengatakan jika tidak ada yang tidak mungkin," lanjutnya. Semua kelegaan itu menguap, cepat sekali.

"Begitu ya? Aku hanya merasa akhir-akhir ini aku tidak bisa berpikir objektif walaupun semua bukti mengarah padanya. Oh, maksudku bukan semua. Hanya alibi saja yang tidak ia punya. Tapi itu sudah cukup untuk menjadikannya tersangka. Aku tidak ingin jatuh cinta pada seorang kriminal," ujarku. "Aku hanya tidak ingin  dia menjadi seorang kriminal."

"Aku tahu itu, Mia. Bagaimana pun, dia adalah teman kita. Aku juga sadar jika ada banyak hal dari masa lalunya yang ia sembunyikan dari kita. Aku juga ingin seseorang menyadarkannya jika membunuh tak akan pernah menyelesaikan apa pun," balas Kira sambil menarikku hingga jatuh dalam pelukannya. Aku menggigit ujung bibirku, hampir saja air mataku jatuh.

Tunggu sebentar! 'Banyak hal dari masa lalu yang ia sembunyikan'? Apa artinya semua itu? Apa itu artinya Kira tahu lebih banyak tentang dia daripada aku? Iya, aku tahu aku memang bukan apa-apa bagi laki-laki itu. Tapi, apa memang ada beberapa hal dari masa lalunya yang memungkinkan ia untuk membunuh orang lain, menjadi psikopat?

"Oh, ya. Daripada hanya berspekulasi, kenapa kau tidak bertanya langsung padanya?" tanya Kira. Aku menatapnya lamat-lamat. "Itu pasti akan membuktikan semuanya."

"Tapi, apa kau yakin jika dia akan jujur padaku?" tanyaku dengan nada ragu.

"Astaga, Mia. Aku saja tidak bisa berbohong jika di depanmu," katanya meyakinkan. Aku mendongak, mencegah Kira melihat mataku yang berkaca-kaca. "Aku tahu kau pasti bisa," lanjutnya. Entah itu hanya gurauan atau apa, aku tidak tahu pasti. Yang aku tahu, dia pasti sedang menghiburku.

"Baiklah. Jika begitu, aku akan bertanya langsung padanya," ucapku yakin.

"Good luck."

------x---x------

Malamnya, pukul 20:30, aku sedang berada di kamarku sendirian. Handphoneku tergenggam di kedua tanganku. Keringat dingin mengalir deras di seluruh wajahku. Oh, kenapa menyentuh ikon call di nomor kontak laki-laki itu sudah membuatku seperti orang yang demam panggung? Aku terlalu takut untuk mendengar respons darinya. Padahal jika responsnya negatif bukan berarti dunia akan segera berakhir, kan?

"Baiklah, Mia. Tarik napas, kemudian hembuskan perlahan. Sentuh ikon call, lalu tunggu telepon tersambung. Itu sangat mudah, kau pasti bisa."

Nada tunggu terdengar selama beberapa detik, hampir satu menit malah. Keringatku semakin deras. Argh, kenapa lama sekali?! Tak lama kemudian, suara operator menggantikan nada tunggu yang berdengung lama. Aku belum menyerah. Aku harus bisa melakukannya. Sekarang atau tidak selamanya.

Nada tunggu kembali terdengar. Apa jangan-jangan memang ada sesuatu yang ia sembunyikan dari kami. Hampir satu menit hanya nada tunggu yang terdengar. Aku mulai putus asa sebelum akhirnya, telepon tersambung. Akhirnya!

"Halo," sapaku. Tidak ada respons. Apa dia memang selalu seperti ini? Masalahnya, aku sama sekali tidak pernah melakukan panggilan suara dengan laki-laki itu, apalagi panggilan video.

"Ergh ... apa aku mengganggumu?" tanyaku sedikit salah tingkah.

"Cepat katakan kenapa kau menelponku," balasnya datar. Benar-benar dingin. Seakan suhu kamarku juga ikut turun menjadi sedingin lemari es.

"Oh, maaf. Aku ingin bertanya, apa kau tahu sesuatu tentang ...."

"Tentang pelaku? Maaf, aku tidak bisa," potongnya lalu menutup sambungan telepon. Membuatku samakin berpikiran aneh.

"Eh, Steve tunggu!" seruku. Tapi tidak ada gunanya. Dia sudah telanjur menyentuh ikon end call. Handphone terlepas dari genggamanku tanpa kusadari.

'Aku tidak bisa,' apa maksudnya? Apa benar dia .... AAARGHH !! Ada apa sebenarnya ini?! Apa benar jika dia ... seorang kriminal?

Aku benar-benar tidak punya ide tentang kasus ini. Entah siapa pelaku sebenarnya, aku tidak punya bayangan sama sekali. Pikiranku seakan sudah menemui jalan buntu. Hal itu membuatku hampir terjaga sepenjang malam. Hingga keesokan harinya, aku merasakan sesuatu yang sangat berbeda dari biasanya. Firasat itu lagi.

Oh, kali ini pasti hanya ilusi. Tidak salah lagi. Aku kurang tidur semalam, wajar jika perasaanku sedikit kacau.

Sayangnya, dugaanku salah. Saat melewati kelas X-IPA 1 — kelas Riyan — aku melihat para siswa berkerumun. Memang tidak terlalu ramai karena matahari belum berada di atas cakrawala. Dengan cepat, aku menangkap sebuah bayangan sosok berwajah dingin di ambang pintu. Dia bersandar sambil menyilangkan kedua tangan di depan dada, dengan sorot mata yang fokus ke arahku.

"Steve, ada apa ini?" tanyaku sedikit cemas.

"Kenapa kau baru datang?" Dia justru balik bertanya, membuat rasa penasaranku tumbuh dengan suburnya. Ditambah lagi dengan nada bicara yang terdengar begitu menusuk, itu sudah cukup untuk membuatnya lebih menyeramkan daripada guru BK. Memang bukan Edward Steven namanya jika tidak misterius.

"A-aku ...." Entah mengapa aku tiba-tiba menjadi gugup. Tatapan tajam itu sudah cukup untuk membuat pikiranku semakin kacau hingga tak bisa berpikir rasional.

"Jangan menatapku seperti itu! Sebaiknya cepat katakan saja!" seruku. Jika aku tak bisa mengendalikan emosi, pasti aku sudah menarik kerah bajunya. Tetapi, untungnya tidak jadi. Aku baru ingat jika dia juga bisa karate.

"Kau lihat saja sendiri," ucapnya datar. Tanpa memperhatikan ekspresi dinginnya, aku menyibak tubuh setinggi seratus tujuh puluh enam sentimeter yang menghalangi jalan. Seperseribu detik kemudian ... aku melihat sesuatu yang menjadi sinyal jika korban baru telah muncul. Genangan darah.

Aku terus menyibak tubuh yang berkerumun di tempat yang berpotensi menjadi TKP itu — yang juga membuat beberapa meja bergeser jauh dari barisannya. Hingga akhirnya aku menemukan .... Oh, aku tidak bisa menjelaskan ini.

"Oh, Mia! Kau sudah datang? Syukurlah kau tidak apa-apa," ucap Kevin. Aku hanya bisa memandang kosong.

"Mia, apa kau sakit?" tanyanya sambil mengguncangkan tubuhku yang hampir kehilangan kesadaran.

"K ... Ke-vin," ucapku lirih.

"Iya."

"Bisa kau ... jelaskan padaku?" tanyaku. Aku masih saja memandang kosong. Sudah cukup melihat semua kengerian ini.

"Sebenarnya ...."

*

Jangan lupa vote dan comment ya 😊

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top